Nama
: Vita Putri Sari
Nim : 1414231121
Smt/Jurusan : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata
Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
كُلُوا
مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya”. (Al-Maidah, 2 : 88)
Penjelasan surah Al-Maidah ayat 88 ini
merupakan ayat lanjutan dari ayat sebelumnya (Al-Maidah, 87) yang membantah
atas pernyataan dari sahabat rasulullah SAW. Maka sebelum kita menafsirkan surah
Al-Maidah ayat 88, kita tengok terlebih dahulu ayat sebelumnya dan beberapa hal
yang menyeabkan ayat ini turun.
Sahabat Raulullah yaitu Utsman bin Mad’un, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Mas’ud, Miqdad bin Aswad, Salim dan Qudamah yang bertanya
kepada Aisyah tentang bagaimana Ibadah yang di jalankan oleh Rasulullah SAW. Maka diceritakanlah bagaimana ibadah
Rasulullah SAW ketika di rumahnya. Setelah mendengar cerita ‘Aisyah tentang
bagaimana ibadah Rasulullah SAW, maka berkatalah sahabat tersebut. Yang
seorang berkata : “Demi Allah, mulai sekarang aku akan shaum (puasa)
sepanjang hari”. Yang seorang lagi berkata : “Demi Allah, aku bersumpah,
aku tidak akan menikah sampai mati”. Yang seorang lagi berkata : “Demi
Allah, aku bersumpah bahwa aku akan melaksanakan sholat malam (Tahajud) setiap
malam”.
Dalam ayat terdahulu Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji
kaum nasrani, bahwa mereka adalah orang-orang yang paling dekat kecintaannya
kepada kaum mu’min. Disebutkan, bahwa salah satu sebabnya karena di antara
mereka terdapat para pendeta dan rahib. Namun kemudian kaum mu’min mengira,
bahawa dalam hal ini terdapat dorongan untuk melakukan Ruhbaniyyah (Kerahiban).
Demikian pula orang-orang yang cenderung meninggalkan segala kesenangan dunia,
mengira bahwa Ruhbaniyyah merupakan suatu kedudukan yang akan
mendekatkan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hal itu tidak
akan tercapai kecuali dengan meninggalkan kesenangan yang berupa makanan,
pakaian dan wanita. Merka telah bersengaja untuk tetap membujang. Mereka
berkeliling ke rumah-rumah, menjauhi kaum wanita, mengenakan pakaian baru dari
bulu, megharamkan yang baik-baik, berupa makanan dan pakaian, kecuali apa yang
biasa di makan dan di pakai oleh orang-orang yang mengadakan perjalanan
peribadatan dari Bani Israil. Baik hal itu di lakukan secara terus-menerus,
seperti para rahib tidak pernah kawin, maupun dalam waktu-waktu tertentu,
seperti berbagai macam puasa yang mereka
ada-adakan.
Apa yang disampaikan oleh para sahabat tersebut adalah
ekstrim (terlalu), walaupun niatnya baik. Karena dengan cara demikian itu
mereka mengabaikan rezki Allah subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menyediakan rezeki yang halal dan baik. Dengan sumpah di atas,
mereka telah mengabaikan kewajiban mereka kepada isteri dan anak-anaknya.
Dengan sumpah seperti itu mereka telah menjadikan agama menjadi sesuatu yang
memberatkan. Padahal agama yang benar adalah agama yang seimbang dan memudakan
umatnya dalam menjalankan kewajibannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikan.
Rasulullah SAW mengutus utusannya kepada mereka, dan beliau
bersabda, yang artinya : “Sesungguhnya dari kalia mempunyai hak, mata
kalian mempunyai hak dan keluarga kalian mempunyai hak. Sebab itu, lakukanlah
shalat, jalanilah shaum dan berbukalah. Sebab, tidaklah termasuk dalam umat
kami orang yang meningalkan sunnah kami dan mengikuti apa yang Engkau turunkan
bersama Rasul..”
Janganlah kalian mengharamkan atas diri kalian sendiri apa
yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan bagi kalian, hal yang
baik-baik, seperti dengan sengaja kalian meninggalkannya dengan maksud
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jangalah pula kalian melampaui batas keseimbangan sampai kepada tingkat
berlebihan yang membahayakan badan, seperti terlalu kenyang, mencurahkan
perhatian di dalam hidup untuk bersenanng-senang dengannya, atau hal yang
membuat kalian lalai terhadap perkara-perkara bermanfaat seperti ilmu dan
amal-amal lain yang berguna bagi diri dan orang lain.
Hikmah yang terdapat dalam larangan ini, bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyukai bila para hamba-Nya menggunakan nikmat-nikmat yang di
limpahkan kepada mereka dalam hal-hal yang untuk itu Ia limpahkan lalu mereka
bersyukur kepada-Nya atas semua itu. Allah tidak menyukai bila mereka menjadi
pengecut terhadap syari’at yang telah di gariskan-Nya bagi mereka, sehingga
mereka melampaui batas dengan mengharamkan apa-apa yang tidak di haramkan-Nya
dan meningalkan apa yang telah di wajibkan-Nya.
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.”
(Al-Maidah ayat 88)
Setelah ayat yang lalu melarang mengharamkan
apa yang halal, di sini di tegaskannya perintah memakan yang halal, dan dengan
demikian melalui ayat ini dan ayat sebelumnya yang menghasilkan makna larangan
dan perintah bolehnya memakan segala yang halal. Dengan peritah ini tercegah
praktek-praktek keberagaman yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang
halal, yakni yang bukan haram lagi baik, lezat, bergizi dan
berdampak positif bagi kesehatan dari apa yang Allah telah rizki kan kepada
kamu, dan bertakwalah kepada Allah dalam segala hal aktivitas kamu yang
kamu terhadap-Nya adalah mu’min, yakni orang-orang yang mantap keimanannya.
Yang dimaksud dengan kata “Makan” dalam ayat
ini, adalah segala aktivitas manusia. Pemilihan kata makan, di samping karena
ia merupakan kebutuhan pokok manusia, juga
karena makan mendukung aktivitas manusia. Tanpa makan manusia lemah dan
tidak dapat melakukan aktivitas.
tidak semua makanan yang halal otomatis baik.
Karena yang dinamai halal terdiri dari empat macam, yaitu : wajib, sunnah,
mubah, dan makruh. Aktivitas pun demikian. Ada aktivitas yang walaupun halal,
namun kmakruh atau sangat tidak di sukai Allah Subhanahu wa Ta’ala,
yaitu pemutusan hubungan. Sellanjutnya, tidak
semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing pribadi. Ada halal
yang baik buat si A karena memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga
yang kurang baik untuknya, walaupun baik buat yang lain. Ada makanan yang
halal, tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang di
perintahkan adalah yang halal lagi baik.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا
فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.” (Al-Baqarah, 168)
Makanlah diantara rezeki yang telah diberikan
oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kalian berupa hala-hal yang halal pada
dirinya, bukan hal-hal yang diharamkan seperti bangkai, darah yang mengalir dan
daging babi; dan hal-hal yang haram dari pencariannya seperti bukan barang
riba, shut (usaha yang haram), bukan pula barang curian. Di samping itu,
rezeki itu hendaknya sedap di makan, dan tidak kotor, baik karena dzatnya
sendiri, karena rusak atau berubah akibat terlalu lama di simpan.
Hendaknya orang mu’min menikmati apa yang mudah
baginya di antara hal-hal yang baik, tanpa merasa berdosa ataupun sulit; dan
hendaknya yakin bahwa dia mengamalkan syari’ah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
menegakkan fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia
menurut fitrah itu, dan selalu bersyukur kepada-Nya atas segala yang telah
diberikan kepada kita semua dengan cara mengakui dan memuji-Nya.
Kemudian hendaknya menyadari bahwa jika
melarang dirinya untuk memakan rezeki yang baik-baik yang telah diberikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, padahal fitrah telah mendorongnya untuk
menikmatinya, berarti dia telah melakuan dosa di dunia yang karena itu dia
berhak menerima siksaan di akhirat. Sebab, dia telah menambahkan ke dalam Agama
Allah SWT cara-cara mendekatkan diri yang tidak di izinkan oleh-Nya, di samping
telah menyia-nyiakan hak Allah SWT dan hak para hamba-Nya (Hak isteri dan hak
keluargnanya).
Penghalalan dan pengharaman adalah tasyri’
yang merupakan salah satu hak Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendidik
para hamba-Nya, hingga baik pendidikan mereka itu.
Allah SWT tidak mencela suatu kaum yang di beri
kelapangan dunia, lalu mereka menikmatinya dan taat kepada-Nya. Dan Allah SWT
tidak akan memberi udzur kepada suatu kaum yang di jauhkan dari dunia, lalu
mereka durhaka kepada-Nya.
Di riwayatkan pula dari padanya, dikatakan
bahwa si Fulan tidak makan faludzaj (manisan terbat dari tepung, air dan
madu), lalu berkata, “saya tidak akan bersyukur kepada-Nya”. Hasa Bashri
bertanya. “Apakah dia minum air dingin?” mereka menjawab “Ya”. Hasan berkata
“Sunguh dia orang jahil. Sesungguhnya nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang di berikan
padanya, yang terdapat pada air dingin itu, lebih banyak daripada nikmat-Nya
yang terdapat pada faludzaj”.
واتقوا الله
الذي انتم به مؤمنون
Bertakwalah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Jangan kalian melanggar batas dalam
hal yang telah Dia halalkan dan haramkan. Sebab, orang yang mencurahkan
perhatiannya lebih besar untuuk memenuhi nafsu perutnya, terrmasuk orang-orang
yang melampaui batas. Demikian pula orang yang memenuhi perutnya sampai terlalu
kenyang. Begitu pula orang yang mengeluarkan nafkah dalam hal itu hinga
melebihi kemampuannya dan membiarkan dirinya hina karena hutang atau memakan
harta orang lain dengan cara yang batil, adalah termasuk orang-orang yang
melampaui batas. Padahal Allah SWT berfirman :
وكلوا واشربوا
ولا تسرفوا إنه لايحب المسرفين
Artinya : “Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesunggunya Allah tidak menykai orang-orang yang
berlebih-lebihan”. (Al-A’raf, 7 : 31).
Ringkasnya, petunjuk al-Quran mengenai perkara
yang baik-baik adalah sesuai dengan fitrah yang lurus dan seimbang. Seperti
menikmatinya sambil memperhatikan keseimbangan dan selalu memilih yang halal.
Keseimbangan adalah jalan lurus yang sedikit sekali orang melakukannya.
Kebanyakan manusia menyimpang dari jalan lurus itu, dan berbelok kepada
berlebihan, sehingga mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat, karena
mereka telah menganiaya dirinya sendiri. sehingga, sebgaian orang bijaksana
mengatakan, “Sesungguhnya kebanyakan manusia menggali kuburnya dengan giginya
sendiri”. sedangkan sebagian kecil dari manusia menyimpang kepada berkekurangan
dan bakhil, baik yang terpaksa karena miskin maupun yang sengaja. Seperti
orang-orang yang berzuhud.
Tatkala islam datang, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengutus Rasul-Nya, Muhammad sebagai penutup para Nabi, dengan membawa
kebahagiaan yang sempurna bagi umat manusia di dunia dan di akhirat, Allah Subhanahu
wa Ta’ala membolehkan bagi umat manusia untuk mengenakan perhiasan dan
memakan yang baik-baik, serta membimbing mereka supaya memberikan hak kepada
badan dan ruh sekaligus. Sebab, manusia tidak lain terdiri dari ruh dan jasad.
Karena itu, harus ada keseimbangan antara keduanya. Dengan demikian umat Islam
menjadi umat pilihan yang menjadi saksi atas perbuatan seluruh umat dan hujjah
atas mereka pada hari kiamat.
Atsar dari Rasulullah SAW Mengenai Penggunaan
Hal yang Baik-baik
Sebagaimana diketahui di sirah Rasulullah
SAW, bahwa beliau memakan apa yang beliau dapati. Kadangkala, beliau memakan
makanan yang paling baik seperti daging
binatang ternak, burung dan ayam. Kadangkala pula memakan makanan yang paling
rendah seperti roti dari gandum dicampur dengan garam, minyak atau cuka.
Kadangkala lapar dan kadangkala kenyang. Rasulullah SAW selalu makan seadanya. Apa yang ada di rumah,
itulah yang beliau makan. Beliau tidak pernah mencari-cari makanan yang tidak
ada di rumah beliau. Apa yang disediakan oleh isterinya, itulah yang
beliau makan.
Rasulullah SAW kadang-kadang juga lapar. Dalam suatu
riwayat Hadits dikatakan bahwa pernah Rasulullah SAW dua hari- dua malam tidak
makan, karena memang tidak punya makanan. Kata ‘Aisyah, pernah ia dan Rasulullah
SAW dua hari- dua malam tidak makan, hanya minum air saja. Dan beliau
tidak mau minta kepada orang lain. Padahal kalau beliau mau, beliau bisa
minta bantuan kepada sahabat yang lain seperti Utsman bin ‘Affan atau
Abdurrahman bin Khauf yang orang kaya pada waktu itu, pasti akan dibantu dan
disediakan berapapun keperluan beliau. Tetapi memang Rasulullah SAW tidak
mau minta bantuan.
Mengapa Rasulullah SAW terkadang kenyang tetapi terkadang
juga lapar? Rasulullah SAW melakukan seperti itu untuk menjadi qudwah
(Panutan atau Contoh) bahwa bagi orang yang hidupnya dalam kemampuan bisa
mencontoh Rasulullah SAW, demikian pula orang yang tidak mampu juga bisa
mencontoh Rasulullah Saw. Beliau terkadang memerankan sebagai orang yang tidak mampu, akan
tetapi terkadang juga beliau memerankan sebgai orang yang mampu, makan dengan
kenyang, dan seterusnya.
Dalam semua itu
terdapat teladan bagi orang yang kaya dan yang susah, beliau tidak mementingkan
perkara makanan yang di pentingkannya adalah masalah minuman. Dalam hadits,
Aisyah r.a mengatakan :
كان احب الشراب الى رسول الله صلى الله عليه وسلم
الحلو لبارد
Artinya : “Minuman
yang di sukai Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang manis dan
dingin”.
Para muhadditsin mengatakan, termasuk dalam
minuman itu ialah air bersih, air yang dicampur dengan madu, dan air kurma atau
anggur.
Dalam Hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda : “Siapa orang yang bangun pagi aman terhadap kejahatan
lingkungannya, sehat badannya, makanan tersedia untuk hari itu, orang
seperti itu bagaikan dilimpahkan dunia beserta isinya”.
Maka bagi kita yang sekarang bangun
pagi merasa aman, badan sehat, makanan selalu ada bahkan selalu terjamin hidupnya
tidak akan kelaparan, maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dan sujud kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena tiga unsur tersebut yaitu aman, sehat
dan tersedia makanan, adalah penopang hidup sejahtera yang Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berikan untuk kita semua. Kalau sudah tercukupi ketiga unsur
tersebut, maka tidak ada alasan bagi kiya untuk tidak mau beribadah kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas semua nikmat yang Ia berikan kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar