Senin, 14 Maret 2016

MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN

Nama     : Rahmiyati
NIM      : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi  Tugas Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA

MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ̍ƒÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ    
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut, kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada para pembaca. Semoga bermanfaat. 
1.         Kitab Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab. Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah, yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi, termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa: “tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat, misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul, darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah, adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang terambil dari kata ( ضرر ) dharar  yang berarti mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas, dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1]. Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[2]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.         Kitab Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala, sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ من ذبح لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala. Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini:
فمنِ اضطُرّغيرباغٍ وّ لا عا دٍ فاِ نّ الله غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.         Kitab Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka, karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi, serta:
وما اُهلّ لغيرِاللهِ بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
                                      فمنِ اضطُرّ
 Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
                              فإنّ الله غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.         Hadits dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ  {فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.' (QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga mengemukakan[4] sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna  الطّيِّبتِ at thayyibaat bisa berarti lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al khabaaits  bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan, ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya. Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi. Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah mempelajari tafsirnya juga.






[1] Shihab M. Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,  Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim, Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada 09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB.Nama     : Rahmiyati
NIM      : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi  Tugas Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA

MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ̍ƒÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ    
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut, kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada para pembaca. Semoga bermanfaat. 
1.         Kitab Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab. Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah, yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi, termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa: “tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat, misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul, darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah, adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang terambil dari kata ( ضرر ) dharar  yang berarti mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas, dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1]. Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[2]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.         Kitab Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala, sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ من ذبح لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala. Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini:
فمنِ اضطُرّغيرباغٍ وّ لا عا دٍ فاِ نّ الله غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.         Kitab Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka, karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi, serta:
وما اُهلّ لغيرِاللهِ بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
                                      فمنِ اضطُرّ
 Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
                              فإنّ الله غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.         Hadits dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ  {فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.' (QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga mengemukakan[4] sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna  الطّيِّبتِ at thayyibaat bisa berarti lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al khabaaits  bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan, ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya. Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi. Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah mempelajari tafsirnya juga.






[1] Shihab M. Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,  Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim, Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada 09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB.Nama     : Rahmiyati
NIM      : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi  Tugas Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA

MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ̍ƒÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ    
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut, kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada para pembaca. Semoga bermanfaat. 
1.         Kitab Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab. Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah, yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi, termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa: “tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat, misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul, darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah, adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang terambil dari kata ( ضرر ) dharar  yang berarti mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas, dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1]. Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[2]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.         Kitab Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala, sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ من ذبح لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala. Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini:
فمنِ اضطُرّغيرباغٍ وّ لا عا دٍ فاِ نّ الله غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.         Kitab Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka, karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi, serta:
وما اُهلّ لغيرِاللهِ بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
                                      فمنِ اضطُرّ
 Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
                              فإنّ الله غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.         Hadits dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ  {فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.' (QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga mengemukakan[4] sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna  الطّيِّبتِ at thayyibaat bisa berarti lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al khabaaits  bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan, ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya. Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi. Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah mempelajari tafsirnya juga.






[1] Shihab M. Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,  Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim, Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada 09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB.Nama     : Rahmiyati
NIM      : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi  Tugas Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA

MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ̍ƒÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ    
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut, kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada para pembaca. Semoga bermanfaat. 
1.         Kitab Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab. Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah, yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi, termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa: “tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat, misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul, darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah, adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang terambil dari kata ( ضرر ) dharar  yang berarti mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas, dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1]. Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[2]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.         Kitab Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala, sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ من ذبح لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala. Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini:
فمنِ اضطُرّغيرباغٍ وّ لا عا دٍ فاِ نّ الله غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.         Kitab Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka, karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi, serta:
وما اُهلّ لغيرِاللهِ بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
                                      فمنِ اضطُرّ
 Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
                              فإنّ الله غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.         Hadits dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ  {فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.' (QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga mengemukakan[4] sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna  الطّيِّبتِ at thayyibaat bisa berarti lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al khabaaits  bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan, ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya. Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi. Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah mempelajari tafsirnya juga.






[1] Shihab M. Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,  Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim, Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada 09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB.v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar