Nama : Rahmiyati
NIM : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi Tugas
Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA
MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÌÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan
tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan
menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut
adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut,
kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta
perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut
kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas
dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada
para pembaca. Semoga bermanfaat.
1.
Kitab
Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang
saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab.
Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak
terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan
bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang
berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di
pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat
disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti
ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah,
yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan
hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi,
termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih
dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar
pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa:
“tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat,
misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan
ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya
yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang
diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena
sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan
bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia
bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan
makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor
ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat
beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin
mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul,
darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang
membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ
yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan
yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini
lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan
suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara
membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak
menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata
ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به
لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih
dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud
baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah,
adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian
masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang
terambil dari kata ( ضرر ) dharar yang berarti
mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat
mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi
yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang
diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti
menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak
memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya
memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ‘ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas
menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang
melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa
dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas,
dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun
Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang
mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya
oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah
sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang
diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1].
Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah[2].
tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.
Kitab
Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis
oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang
terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala,
sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang
demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang
menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih
disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti
jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun
yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ
من ذبح
لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak
disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala.
Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al
Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah
menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan
yang diharamkan ini:
فمنِ
اضطُرّغيرباغٍ وّ
لا عا
دٍ فاِ
نّ الله
غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang
diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan
darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak
berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula
melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak
akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni
kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak
menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan
selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah
diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan
kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al
Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan
yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.
Kitab
Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk
menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan
rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut.
Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka,
Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka,
karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik
menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi,
serta:
وما
اُهلّ لغيرِاللهِ
بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan
tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
فمنِ اضطُرّ
Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya
dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
فإنّ الله
غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu
mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan
istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka
mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang
diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.
Hadits
dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang
terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ
شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ
فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ
نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ
لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ {فَإِنَّكُمْ
لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا
فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ
عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik
Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah
mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil
kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah
AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.'
(QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya
maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk
mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat
air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang
terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga
mengemukakan[4]
sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan
bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik
akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang
haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam
memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi
makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna الطّيِّبتِ at
thayyibaat bisa berarti
lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al
khabaaits bisa berarti sesuatu yang menjijikan,
berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan
sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan
di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas
lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai,
darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa
menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang
dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila
sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan
makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai
dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita
masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa
dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan,
ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya.
Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan
masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi.
Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko
ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena
Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih
dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama
dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran
hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh
karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah
mempelajari tafsirnya juga.
[1] Shihab M.
Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga
menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah
tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A
Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,
Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim,
Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada
09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB. Nama : Rahmiyati
NIM : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi Tugas
Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA
MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÌÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan
tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan
menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut
adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut,
kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta
perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut
kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas
dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada
para pembaca. Semoga bermanfaat.
1.
Kitab
Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang
saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab.
Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak
terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan
bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang
berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di
pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat
disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti
ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah,
yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan
hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi,
termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih
dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar
pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa:
“tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat,
misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan
ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya
yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang
diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena
sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan
bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia
bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan
makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor
ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat
beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin
mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul,
darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang
membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ
yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan
yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini
lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan
suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara
membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak
menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata
ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به
لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih
dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud
baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah,
adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian
masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang
terambil dari kata ( ضرر ) dharar yang berarti
mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat
mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi
yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang
diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti
menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak
memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya
memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ‘ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas
menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang
melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa
dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas,
dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun
Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang
mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya
oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah
sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang
diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1].
Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah[2].
tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.
Kitab
Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis
oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang
terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala,
sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang
demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang
menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih
disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti
jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun
yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ
من ذبح
لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak
disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala.
Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al
Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah
menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan
yang diharamkan ini:
فمنِ
اضطُرّغيرباغٍ وّ
لا عا
دٍ فاِ
نّ الله
غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang
diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan
darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak
berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula
melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak
akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni
kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak
menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan
selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah
diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan
kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al
Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan
yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.
Kitab
Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk
menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan
rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut.
Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka,
Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka,
karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik
menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi,
serta:
وما
اُهلّ لغيرِاللهِ
بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan
tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
فمنِ اضطُرّ
Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya
dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
فإنّ الله
غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu
mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan
istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka
mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang
diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.
Hadits
dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang
terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ
شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ
فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ
نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ
لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ {فَإِنَّكُمْ
لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا
فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ
عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik
Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah
mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil
kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah
AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.'
(QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya
maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk
mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat
air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang
terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga
mengemukakan[4]
sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan
bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik
akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang
haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam
memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi
makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna الطّيِّبتِ at
thayyibaat bisa berarti
lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al
khabaaits bisa berarti sesuatu yang menjijikan,
berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan
sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan
di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas
lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai,
darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa
menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang
dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila
sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan
makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai
dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita
masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa
dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan,
ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya.
Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan
masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi.
Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko
ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena
Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih
dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama
dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran
hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh
karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah
mempelajari tafsirnya juga.
[1] Shihab M.
Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga
menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah
tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A
Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,
Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim,
Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada
09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB. Nama : Rahmiyati
NIM : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi Tugas
Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA
MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÌÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan
tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan
menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut
adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut,
kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta
perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut
kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas
dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada
para pembaca. Semoga bermanfaat.
1.
Kitab
Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang
saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab.
Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak
terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan
bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang
berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di
pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat
disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti
ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah,
yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan
hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi,
termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih
dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar
pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa:
“tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat,
misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan
ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya
yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang
diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena
sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan
bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia
bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan
makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor
ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat
beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin
mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul,
darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang
membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ
yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan
yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini
lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan
suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara
membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak
menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata
ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به
لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih
dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud
baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah,
adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian
masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang
terambil dari kata ( ضرر ) dharar yang berarti
mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat
mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi
yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang
diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti
menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak
memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya
memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ‘ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas
menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang
melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa
dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas,
dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun
Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang
mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya
oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah
sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang
diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1].
Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah[2].
tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.
Kitab
Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis
oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang
terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala,
sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang
demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang
menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih
disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti
jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun
yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ
من ذبح
لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak
disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala.
Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al
Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah
menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan
yang diharamkan ini:
فمنِ
اضطُرّغيرباغٍ وّ
لا عا
دٍ فاِ
نّ الله
غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang
diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan
darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak
berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula
melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak
akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni
kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak
menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan
selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah
diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan
kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al
Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan
yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.
Kitab
Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk
menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan
rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut.
Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka,
Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka,
karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik
menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi,
serta:
وما
اُهلّ لغيرِاللهِ
بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan
tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
فمنِ اضطُرّ
Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya
dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
فإنّ الله
غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu
mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan
istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka
mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang
diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.
Hadits
dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang
terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ
شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ
فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ
نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ
لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ {فَإِنَّكُمْ
لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا
فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ
عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik
Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah
mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil
kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah
AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.'
(QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya
maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk
mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat
air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang
terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga
mengemukakan[4]
sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan
bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik
akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang
haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam
memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi
makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna الطّيِّبتِ at
thayyibaat bisa berarti
lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al
khabaaits bisa berarti sesuatu yang menjijikan,
berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan
sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan
di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas
lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai,
darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa
menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang
dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila
sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan
makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai
dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita
masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa
dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan,
ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya.
Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan
masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi.
Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko
ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena
Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih
dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama
dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran
hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh
karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah
mempelajari tafsirnya juga.
[1] Shihab M.
Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga
menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah
tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A
Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,
Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim,
Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada
09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB. Nama : Rahmiyati
NIM : 1414231098
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan Syariah C/ Semester 4
Dibuat guna memenuhi Tugas
Mandiri mata kuliah Tafsit Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu: H. Faqihuddin Abdul Kodir, MA
MAKANAN YANG DIHARAMKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Q.S An Nahl, ayat 115
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÌÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan
tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dari ayat tersebut, kita sebagai orang yang awam maka akan
menganggap bahwa memakan makanan seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut
adalah haram baik dalam situasi apapun. Tetapi untuk memperjelas ayat tersebut,
kita juga perlu melihat penafsiran para ulama yang ada di Indonesia. Serta
perlu juga mengetahui apakah Rasulullah juga pernah mengungkapkan hal tersebut
kepada para sahabat dan juga semua pengikutnya. Untuk itu saya akan mengulas
dari beberapa kitab tafsir dan juga hadits, semoga dapat menjelaskan kepada
para pembaca. Semoga bermanfaat.
1.
Kitab
Tafsir ke-1
Saya akan membahas tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 di atas yang
saya kutip dari buku Tafsir Al-Mishbah yang di tulis oleh M. Quraish Shihab.
Berikut adalah tafsir dari Q.S An Nahl ayat 115 yang terdapat pada buku beliau:
Apa yang di rezekikan kepada manusia sungguh banyak, tidak
terhitung, berbeda dengan yang diharamkanNya. Karena itu, ayat ini melanjutkan
bahwa Allah hanya mengharamkan atas kamu memakan bangkai, yakni binatang yang
berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, di
pukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat
disembelih. Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air seperti
ikan dan sebagainya, begitu pula belalang. Juga yang diharamkan adalah darah,
yakni yang mengalir, bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpah dan
hati, demikian juga haram memakan daging babi yakni seluruh tubuh daging babi,
termasuk tulang, lemak, dan kulitnya dan apa yakni binatang yang disembelih
dengan menyebut guna menggunakan nama selain Allah.
Allah maha mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat mengatar
pada pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka ayat ini melanjutkan bahwa:
“tetapi barang siapa yang terpaksa yakni beraada dalam kondisi darurat,
misalnya karena rasa lapar yang tidak tertahankan lalu ia memakannya sedangkan
ia tidak menginginkannya yakni tanpa mencari-cari alasan untuk bisa memakannya
yakni tidak pula (jika ia tak terpaksa memakannya) melampaui batasyang
diperbolehkan agama, maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena
sesungguhnya Allah maha pengampun mengampuni kesalahan hambaNya yang ia lakukan
bukan karena kehendaknya dan mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia
bertaubat. Allah juga maha penyayang antara lain ketika mencegah manusia makan
makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan ruhani mereka.
Islam mengharamkan bangkai karena binatang yang mati akibat faktor
ketuaan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat
beracun, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia, maka sangat mungkin
mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul,
darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang
membahayakan manusia.
Kata ( ﺃُﻫِﻞّ ) uhilla terambil dari kata ( ﻫﻶ ) hallӑ
yang digunakan sebagai kata seru untuk memberi peringatan. Tentu saja seruan
yang mengandung perintah harus disampaikan dengan suara nyaring. Dari sini
lahir kata ( ﺃﻫﻞ ) ahalla yang berarti mengeraskan
suara atau berteriak. Kata “ahalla bil hajj” maknanya mengeraskan suara
membaca talbiyah sewaktu melaksanakan haji. Kaum musyrikin biasanya berteriak
menyebut nama berhala apabila mereka menyembelih. Atas dasar hal-hal itu, kata
ini kemudian dipahami dalam arti menyembelih.
Firman-Nya: ( به
لغيرالله وماأهلَ ) wa mӑ uhilla lighairi Allӑh bihi/ yang disembelih
dengan menyebut selain nama Allah mengisyaratkan bahwa binatang yang dimaksud
baru haram dimakan apabila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah,
adapun bila tidak disebut namaNya, maka binatang halal yang disembelih demikian
masih ditoleransi untuk dimakan.
Kata ( اضطرّ ) idhthurra asalnya adalah ( اضطرر ) idhtarara yang
terambil dari kata ( ضرر ) dharar yang berarti
mudharat. Kata idhthurra dipahami dalam arti kebutuhan yang sangat
mendesak yang apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan mudharat bagi
yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan terpaksa yakni keadaan yang
diduga dapat mengakibatkan mudharat kematian.
Kata ( باغ ) bӑghin terambil dari kata ( بغى ) baghӑ yang berarti
menghendaki/ menginginkan. Yang dimaksud tidak menginginkannya adalah tidak
memakannya padahal ada makanan halal yang dapat ia makan, tidak pula memakannya
memenuhi seleranya.
Kata ( عاد ) ‘ӑdin maksudnya melampaui batas. Tidak melampaui batas
menurut ayat ini adalah tidak memekan yang dilarang itu dalam kadar yang
melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa
dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasa tentang makanan-makanan yang dijelaskan di atas,
dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik Makkah maupun
Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang
mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih/ dicabut nyawanya
oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut nyawanya oleh Allah
sendiri? Penjelasan tersebut bujab berarti hanya hal-hal tersebut disini yang
diharamkan Allah. Untuk lebih jelasnya lihat kembali Q.S Al Baqarah ayat 173[1].
Berikut ayatnya:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah[2].
tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.
Kitab
Tafsir ke-2
Selanjutnya saya mengkutip dari buku Tafsir Al Maragi yang ditulis
oleh Ahmad Mustafa Al Maragi. Berikut adalah Tafsir dari Q.S An Nahl: 115 yang
terdapat dalam kitab beliau:
Sesungguhnnya, Tuhan hanya mengharamkan atas kalian memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk berhala,
sehingga ketika disembelih disebutkan nama selain Allah Ta’ala. Sesungguhnya, yang
demikian itu termasuk sembelihan yang bahkan haram dimakan oleh orang yang
menyembalihnya.
Singkatnya, diharamkan memakan binatang yang ketika disembelih
disebutkan nama selain Allah, baik berhala dan patung maupun ruh buruk seperti
jin, ataupun ruh baik seperti Nabi SAW dan Wali, baik yang masih hidup ataupun
yang sudah mati. Ditegaskan didalam hadits:
مَلعُونٌ
من ذبح
لِغيرِالله
“Terkutuklah orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah”
Baik ketika binatang itu disembelih disebut nama Allah maupun tidak
disebutkan, karena binatang ini telah disandarkan kepada selain Allah Ta’ala.
Atas dasar ini, haram memakan sembelihan orang yang menyembelih untuk Sayyid Al
Badawi Ibrahim Ad Dasuqi, Atau Untuk Sayyidah Zainab. Kemudian Allah
menerangkan keadaan di mana dibolehkan memakan sedikit dari makanan-makanan
yang diharamkan ini:
فمنِ
اضطُرّغيرباغٍ وّ
لا عا
دٍ فاِ
نّ الله
غفُورُرّحِيمٌ
Barang siapa terpaksa mamakan sedikit dari makanan-makanan yang
diharamkan ini, karena dia mendapat musibah kelaparan, dan karena keadaan
darurat yang mengharuskan memakan sedikit daripadanya, sedangkan ia tidak
berlaku aniaya terhadap orang yang dalam keadaan terpaksa lainnya, tidak pula
melampaui batas ukuran darurat dan sekedar menyambung hidup, maka Allah tidak
akan menyiksanya karena perbuatannya tersebut. Allah Maha Mengampuni
kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan menyayangi mereka, sehingga tidak
menyiksa mereka karena perbuatan seperti itu. Adapun yang mereka haramkan
selain itu, seperti bahirah, sa’bah wa silah dan sebagainya yeng telah
diterangkan di dalam surat Al An’am, semata-mata merupakan pengada-adaan
kedustaan terhadap Allah. Ayat seperti ini telah disajikan di dalam surat Al
Baqarah, Al Maidah dan Al An’am. Di dalam surat-surat itu pun makanan-makanan
yang diharamkan dipusatkan kepada yang empat ini saja[3].
3.
Kitab
Tafsir ke-3
Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga saya jadikan referensi untuk
menjelaskan tafsir dari Q.S An Nahl: 115 diatas yang isinya sebagai berikut.
Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya yang beriman agar memakan
rezekiNya yang halal lagi baik, dan bersyukur kepadaNya atas karunia tersebut.
Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka,
Dialah yang berhak disembah semata, tiada sekutu bagiNya.
Kemudia Allah menyebutkan apa-apa yang diharamkanNya atas mereka,
karena didalamnya terkandung kemudharatan atau bahaya bagi mereka, baik
menyangkut agama maupun urusan dunia mereka; yaitu bangkai, darah, dan daging babi,
serta:
وما
اُهلّ لغيرِاللهِ
بِهِ
Yakni hawan yang disembelih bukan dengan manyebut nama Allah. Akan
tetapi, sekalipun demikian disebutkan oleh firmanNya:
فمنِ اضطُرّ
Yaitu dalam keadaan terdesak dan darurat maka ia boleh memakannya
dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas.
فإنّ الله
غفُورُ رحيمُ
Kemudian Allah melarang menempuh jalan orang-orang musyrik, yaitu
mereka yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanya berdasarkan nama dan
istilah yang mereka ada adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka
mengharamkan bahirah, saibah. Wasilah, dan ham serta lainnya yang
diberlakukan di kalangan merekaoleh bantuan mereka sendiri di masa Jahiliyah.
4.
Hadits
dan Pendapat Ulama
Ada pula hadits yang mengemukakan hal yang sama, seperti yang
terkandung dalam Q.S An Nahl: 115. Sebagaimana Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits, sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَتْ
شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ
فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ
نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ } قُلْ
لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ {فَإِنَّكُمْ
لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا
فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ
عِنْدَهَا
Yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata; seekor kambing milik
Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata; Ya Rasulullah, si fulanah telah
mati, maksudnya kambing. Beliau pun bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil
kulitnya?" ia berkata; Kami mengambil kulit kambing yang telah mati?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Allah
AzzaWaJalla berfirman, 'Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.'
(QS. Al'an'am 145), Sedangkan kalian tidak memakannya. Bila kalian menyamaknya
maka kalian bisa memanfaatkannya." Maka Saudah pun menyuruh orang untuk
mengambilnya dan mengelola kulitnya kemudian menyamaknya, lalu dijadikan tempat
air, dan kulit tersebut digunakan sampai usang.”
Dari hadits tersebut Rasulullah bersabda: bahwa firman Allah yang
terdapat dalam Q.S Al ‘an’am : 145, yang isinya adalah bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi.
Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari juga
mengemukakan[4]
sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominan
bagi diri orang yang memakannya, artinya: makanan yang halal, bersih dan baik
akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang
haram maka akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam
memberikan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi
makanan yang haram.
Sebagaimana firman Allah:
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk” (Q.S al A’raf [7] 157).
Makna الطّيِّبتِ at
thayyibaat bisa berarti
lezat/ enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. Sedangkan makna الخباٮٕث al
khabaaits bisa berarti sesuatu yang menjijikan,
berbahaya dan haram. Adapun makanan yang haram seperti babi, bangkai dan
sebagainya.
Larangan yang terdapat di dalam Q.S An Nahl: 115 telah dijelaskan
di dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang sudah saya ulas di atas. Dan dipertegas
lagi oleh adanya hadits yang juga menguatkan larangan untuk memakan bangkai,
darah yang mengalir, dan daging babi. Serta makanan yang diperoleh tanpa
menyebut nama Allah. Oleh karena itu makanan yang berasal dari hal-hal yang
dilarang tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia haram hukumnya.
Akan tetapi Allah juga memberikan toleransi kepada kita apabila
sedang dalam keadaan terpaksa dan kelaparan, maka kita diperbolahkan memakan
makanan yang ada pada saat itu.
Contohnya apabila kita sedang melakukan pendakian ke Gunung Ciremai
dan tanpa disadari persediaan makanan yang kita bawa telah habis saat kita
masih ada di puncak gunung tersebut. Jika hal itu terjadi apa yang bisa
dilakukan untuk bertahan hidup?
Tentu saja kita akan mencari sumber makanan, seperti buah-buahan,
ikan di sungai, binatang yang bisa di buru dan dimakan, dan lain sebagainya.
Tetapi apabila kita menemukan seekor ikan yang sudah mati di pinggir sungai dan
masih layak untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk mengolahnya untuk di konsumsi.
Karena apabila kita tidak memakannya akan terjadi hal-hal yang sangat beresiko
ataupun akan menyebabkan kematian. Allah memberikan toleransi tersebut, karena
Allah tidak ingin hambaNya mengalami kesulitan, dan Allah juga Maha Pengasih
dan Penyayang.
Jadi dengan adanya tafsir, hadits, dan juga pendapat para ulama
dapat memperjelas pemahaman kita terhadap suatu ayat. Karena ayat Al Quran
hanya memberikan nasihat, perintah ataupun larangan untuk semua umat Islam. Oleh
karena itu untuk memperdalam pemahaman kita terhadap Al Quran hendaklah
mempelajari tafsirnya juga.
[1] Shihab M.
Quraish, “Tarsir Al Mishbah”, Jakarta: Lentera Hati 2002, Hlm 373-375
[2] Haram juga
menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah
tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3] Al-Maragi A
Mustafa, “Terjemah Tafsir Al Maragi - 14”,
Semarang: Toha putra 2000. Hlm 275-276.
[4] Anonim,
Terdapat pada: http://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html Diakses Pada
09 Maret 2016. Pada Pukul 20:50 WIB.v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar