Senin, 14 Maret 2016

TAFSIR AYAT DISTRIBUSI AT-TAUBAH AYAT 34




Nama              :Nurjayanah
Nim                 : 14142321092
Smt/Jurusan  : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata Kuliah  : Tafsir Ayat Ekonomi

Pembahasan: 
 

۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ


“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Q.S At-Taubah : 34)
Tafsir Al-Azhar
 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (pangkal ayat 34).
Memakan harta manusia dengan jalan batil. Batil adalah lawan dari yang hak. Jadi berarti mereka mengambil harta orang dengan jalan yang tidak benar, dalam segala macam caranya. Baik dengan memeras, mengancam, menipu.  Maka di dalam ayat ini akan dinyatakan bahwa kebanyakan atau banyak dari mereka berbuat demikian. Mereka pergunakan kedudukan mereka yang dipandang suci itu, baik sebagai Habr ataupun sebagai Rahib untuk mengambil harta manusia. Lantaran manusia segan dan takut, lalu dituruti kehendak mereka. Disebut kebanyakan, artinya ialah bahwa bukana semuanya begitu.
Cara memakan harta dengan jalan batil itu macam-macam.
Diantaranya ialah karena orang yang diperas itu menyangka, karena amat jujurnya kepada pemimpin, bahwa guru itu suci dari dosa. Lalu mereka meminta dengan perantara mereka supaya didoakan. Sebab doa beliau mustajab di sisi Tuhan. Lalu yang meminta itu memberikan hadiah atau sedekah kepada beliau dan beliau terima. Oleh karena sudah terasa enaknya harta demikian, si gurupun senang sekali. Lama-lama timbullah persekongkolan di antara guru dengan yang minta tolong, buat mengajak pula orang lain berbuat demikian. Bahkan sampai diadakan propaganda berbisik bahwa doa beliau mustajab. Akhirnya timbullah kerja merangkap diantara jadi guru dengan jadi dukun!.
Diataranya pula yang menjadikan kuburan Nabi-nabi atau orang-orang shalih untuk jadi tempat berziarah. Dibuat pula propaganda bahwa meminta barang sesuatu kepada Allah di tempat itu akan lekas makbul. Tetapi hendaklah membayar sekian, dan membawa hadiah. Orang Nasrani mendirikan gereja atau biata dengan memakai nama orang shalih yang dipuja orang. Pendeta yang menjadi perawat itu menerima nazar dan niat orang yang datang ziarah yang berupa harta benda.
Diantaranya pula, yang terkenal dalan gereja Kathilik dan Orthodox ialah uang tebusan dosa. Orang yang merasa berdosa datang menemui seorang pendeta yang ditentukan oleh pimpinan gereja tertinggi, lalu membuka rahasia dirinya kepada pendeta itu dengan tidak boleh disembunyikan sedikit juapun. Maka dosa itu akan diampuni oleh pendeta tadi. Sebab menurut ayat yang telah kita salin di atas tadi, apa yang mereka orak dan buka, akan diorak dan dibuka pula oleh Allah di syurga. Di sinilah timbul jual beli dan tawar menawar. Yang banyak menjadi kurban di zaman Tengah ialah raja-raja, bangsawan-bangsawan, dan hartawan-hartawan. Apabila harga sudah cocok, pimpinan gereja akan memberikan sepucuk surat kepelapasan dari dosa. Inilah sebab pertama dan paling terutama yang menyebabakan timbulnya pemberontakan Martin Luther dengan Gerakan Protestant yang terkenal.
Di antaranya pula ialah bila ahli-ahli politik dalam negeri meminta fatwa kepada gereja, bagi menghalalkan perbuatan mereka, walaupun haram, ataupun mengaharamkan, dan mengutuk perbuatan musuh, walaupun musuh itu tidak salah.
Yang terkenal pula dalam kalangan Yahudi ialah pemimpin agama sendiri menghalalkan riba (renten) terhadap orang lain yang bukan Yahudi. Berapa banyaknya kerajaan-kerajaan besar di Eropa terhutang kepada Bankir-bankir Yahudi untuk kepentingan negara atau kepentingan penjajahan.
Beberapa kali revolusi besar telah terjadi dalam sejarah Eropa. Selain dari Revolusi Golongan Agama Protestant kepada pemimpin Katholik, kemudian telah terjadi revolusi Perancis di akhir abad Kedelapan belas. Salah satu sebab yang menimbulkan revolusi ialah pengaruh Pendeta yang demikian besar, bersekongkol dengan Feodalisme Kerajaan menindas rakyat. Berhektar-hektar tanah kepunyaan gereka. Tindasan Kerajaan dan gereja sama menghimpit bahu rakyat. Voltaire melemparkan kritik-kritik yang pedaskepada kuasa gereja yang tidak berbatas. Revolusi Rusia pun salah satu sebab sama persis denga revolusi Perancis, yaitu tindasan gereja dan gereja menumpuk kekayaan dari pemerasan kepada rakyat. Riwayat cabul dari seorang pendeta bernama Rasputin, adalah salah saru proloog yang mematangkan Revolusi Rusia. Di antara gereja dengan raja sokong-menyokong, angkat- mengangkat. Revolusi Spayol yang gagal dan revolusi Mexico pun termasuk juga revolusi kepada gereja. Pada hakikatnya orang bukan beronak kepada agama, melainkan kepada penguasa agama. Sebab di Perancis sendiri, meskipun di permulaan revolusi agama dikutuk, berangsur-angsur kemudiannya orang kembali juga kepada agama. Tetapi kekuasaannya sudah sangat diabatasi. Di sinilah pangkal ideal “Pisahkan Negara dan Agama”.
Lantaran timbul pengumpulan harta dengan jalan yang batil, memeras keringat rakyat yang jujur dengan nama agama, tentulah penguasa-penguasa agama-agama itu menjadi sangat benci kepada pikiran-pikiran dan pendapat baru. Oleh sebab itu di dalam ayat ini diteruskan lagi sebagai akibat dari pengumpulan harta yang tidak halal itu, yaitu bahwa mereka menghambat manusia dari jalan Allah! Di zaman Nabi s.a.w., ketika ayat ini turun, diterangkanlah salah satu sebab mengapa mereka menghalangi pertumbuhan Islam, ialah karena mengumpul harta yang tiada halal itu. Korupsi, kata orang sekarang.
Tetapi ingatlah pengkal ayat, yaitu menjelaskan bahwa kebanyakan mereka begitu perangainya. Jadi bukan semuanya. Yang jujurpun tentu ada, yang benar-benar berpegang pada agama dan taatpun ada. Dan inilah yang disyaratkan pad surat Al-Maidah ayat 82 samapi ayat 85. Dan diisyaratkan pula pada suarat Al-Hadid ayat 27, bahwa pengajaran Nabi Isa alaihis-salam itu, yaitu injil, telah menimbulkan di dalam hari orang-orang yang jadi pengikutnya perasaan halus dan bekas kasihan yang mendalam, yang dirumuskan oleh orang Kristen di dalam negeri kita dengan sebutan “cinta kasih”. Tetapi pada ayat itu juga  diterangkan bahwa ada pula yang menyimpang dari ajaran Nabi Isa: “Maka kebanyakan dianatar mereka menjadi fasik”.
            “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,” (ujung ayat 34).
Di pangkal ayat tadi dimulai dengan menerangkan kejahatan kebanyakan Ahbar (guru) orang yahudi dengan pendeta nasrani. Sebagai manusia yang loba tamak, mereka telah mempergunakan kedudukan yang demikian mulia untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan pada Rabbi dan Rahib bisa bertemu dengan yang demikian, apatah lagi pada yang lain. Kelobaan kepada harta benda menyebabkan orang mengumpulkannya untuk kekayaan diri dan golongan, kadang-kadang untuk kemegahan dan kekuasaan, walaupun dengan menghisap darah dan menindas orang yang lemah. Maka datanglah lanjutan ayat menyatakan bahwa barang siapa yang mengumpul-ngumpul dan menumpuk-numpuk harta, baik dia guru Yahudi, pendeta Nasrani, Ulama Islam, ataupun siapa saja. Mengumpulkan emas dan perak, yaitu dinar dan dirham sebagai uang, atau nilai dari pada uang. Dan tidak dibelanjakan pada jalan Allah, maka azab siksa yang pedihlah yang akan mereka terima dari Tuhan.
            Ayat ini telah memberikan bibingan bahwa tidak salah mengumpulkan harta, emas, dan perak, berapapun banyaknya, asal dari jalan yang halal. Dan tidak salah mengumpulkan harta benda yang banyak dari jalan halah itu, asal segera dinafkan pada jalan Allah, pada membangun agama, pada kemuslihatan umum. Bukan saja tidak salah, bahkan disuruhkan.
            Menurut riwayat Ibnu Abbas, seketika ayat ini mulai turunagak canggung kaum muslimin dan terkejut. Ada mereka yang berkata, kalau kita sudah dilarang mengumpulkan harta, berapakah persediaan kita untuk diwariskan kepada anak-anak kita di kemudian hari, jika kita meninggal. Mendengar keluhan kecemasan itu, sayyidina Umar bin Khatab sengaja datang menghadap Rasulullah s.a.w., dan dia diiringkan oelh seorang sahabat lagi bernama Tsauban, yang juga ingin mendapat penjelasan dari Rasul. Lalu Umar berkata “Ya Nabi Allah! Berat benar bagi sahabat-sahabat engkau ayat ini.”
            Lalu Rasulullah s.a.w., menjawab
            “sesungguhnya tidaklah Allah telah mewajibkan zakat melainkan supaya mejadi baiklah harta yang ada pada kamu. Dan Allah telah mewajibkan pembagian waris untuk harta yang akan kamu tinggalkan.”
            Dengan jawaban Nabi s.a.w., atas keraguan orang banyak yang disampaikan oleh Umar itu, hilanglah kemusyklan kaum muslimin. Rupanya boleh mengumpulkan harta asal dari yang halal. Dengan adanya peraturan zakat, nama pengumpulan tidak ada lagi. Sebab dia telah dibersihkan dengan zakat itu. Dan apabila seseorang meningga, tidak pula akan ada pengumpulan lagi, sebab harta benda sudah difaraidhkan kepada yang berhak menerimanya, sehingga cair tidak terkumpul di satu tangan lagi. Sebab itu maka Abdullah bin Umar mengatakan, harta benda yang telah dizakatkan, tidaklah dinamai lagi hartya yang ditumpuk, walaupun banyaknya sampai menyundak lagit dan bumi. Dan Ibnu Umar pun berkata “Aku tak Perduli, walaupun hartaku sampai sebesar bukit Uhud dari emas, asal telah ku zakatkan menurut mestinya.”
            Tetapi ada seorang sahabat Rasul yang berpaham lain dalam hal ini, yaitu Abu Zar Al-Ghifari yang terkenal. Menurut beliau, segala harta benda yang ditumpukkan berlebih dari yang diperlu dimakan dan yang sangat perlu dipakai, maka itu adalah harta benda tumpukan yang dilarang oleh ayat ini. Seorang muslim menurut beliau, cukup berharta sekedar yang lekat di badan dan yang perlu untuk dimakan. Di sinilah pertentangan beliau dengan sahabat-sahabat yang lain, yang semua menganut faham Ibnu Umar dan ayahnya tadi. Apatah yang pernah seorang A’rabi (arab desa) bertanya kepada rasulullah s.a.w., menurut Hadis yang pernah dirawikan oleh Thalhah. Orang itu bertanya kepada Rasulullah “Adakah lagi kewajibanku yang lain?” (yaitu yang lain dari zakat)?. Rasulullah s.a.w. menjawab “Tidak ada lagi, kecuali kalau engkau suka bertathawu’!” yaitu sekedah suka rela, seumpama wakaf, hibah, dan hadiah. Dan dikuatkan pula oleh yang bertanya kepada engkau dari hal perbelanjaan, jawablah “selebih dari yang perlu.” Al-‘Afwa.
            Tetapi Abu Zar telah berpegang teguh dengan pendapatnya itu. Beliau adalah salah seorang As-sabiqun Al-Awwaluna termasuk barisan pelopor Islam yang mula-mula, dari Muhajirin. Dan sifat-sifat zuhudnya telah diketahui dan dilihat sendiri oleh rasulullah s.a.w sejak beliau hidup. Sampai Rasulullah memberi nasihat kepadanya agar dia jangan mendekat-dekat kepada urusan keperintahan, meminta atau menerima jabatan apapun jua dalam kenegaraan. Sebab Rasul telah mengetahui bakat zuhudnya yang sangat dalam itu. Dan karena itu pula sekalian sahabat Rasul yang besar-besarpun segan kepdanya dan menghormatinya tinggi. Dan dia juga seorang yang patuh terhadap kekuasaan negara. Di zaman pemerintahan sayidina Usman dia berdiam di Syam (Damaskus) yang ketika itu menjadi Gubernur di sana ialah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Tetapi meskipun dia seorang rakyat yang terkenal patuh, diapun  berani berterus terang menyatakan pendapatnya. Mungkin oleh karena rakyat Islam sudah mulai banyak mengumpul kekayaan bertumpuk-tumpuk karena luasnya wilayah Islam, banyaknya terjadipenaklukan negeri yang menyebabakna banyak pula harta rampasan dan sangat pesatnya perniagaan, maka sudah banyak orang yang kaya raya. Di waktu itulah Abu Zar menyatakan pendapat bahwa menumpuk-numpuk harta benda emas dan perak, dinar dan dirham, dan tidak membelanjakannya pada jalan Allah adalah satu dosa besar. Buat beliau segala keperluan yang telah berlebih dari yang akan dimakan dan dipakai, terlebih dari sebuah rumah tempat tinggal, dan pelayanan yang perlu, semuanya wajib dikeluarkan untuk menegakan Jalan Allah. Sekali-kali tidak boleh menyimpan yang selebihnya. Sebab yang berlebih dari yang diperluan yang sangat perlu itu, bukanlah harta kita lagi, tetapi hak fakir miskin dan sabilillah.
            Maka dapatlah kita di zaman sekarang mengetahui bahwa Abu Zar telah mencetuskan suatu cita yang sekarang kita namai “Sosialisme” atau “keadilan Sosial”.
            Pegangan beliau ialah ayat yang tengah kita tafsirkan.
            Beliau pernah diajaka bertukar pikiran oleh Mu’aiyah sebagai penguasa tinggi Wakil Khalifah di Syam. Mu’awiyyah mengatakan bahwa ayat ini hanya khusus ahlul kitab. Sebab yang jadi pegangan Abu Zar itu ujung atau lanjutan dari ayat. Sedangkan pangkal ayat ialah menerangkan perangai kebanyakan guru-guru agama Yahudi dan pendeta Nasrani. Tetapi Abu Zar mengatakan bahwa ayat ini adalah untuk mereka (Yahudi dan Nasrani) dan untuk kita Umat Islam.
            Suatu kali Shuahaib bin Salamah, salah seorang Amir bawahan Mu’awiyah di Syam mengirim uang kepada Abu Zar sebanya 300 dinar, sebagai bantuan untuknya. Serta merta uang itu dikembalikannya kepada utusan yang diutus untuknya Shuhaib dan dipesankannya “bukankah engkau sudah tahu bahwa tidak ada orang yang lebih dari kami dalam hal ghirah terhadap Allah? Yang perlu bagi kami hanya satu rumah tempat berlindung dari panas, tiga ekor kambing buat diambil manfaatnya dan seorang khadimah (pelayan) yang mendermakan tenaganya. Karena kami takut akan berlebih-lebihan.”. dan semuanya itu sudah ada padanya, buat apa dia menerima yang 300 dinar lagi, padahal orang yang lain amat banyakyang membutuhkannya.
            Ada riwayat lain bahwa suatu waktu, diantara Maghrib dan isya Mu’awiyyah mengirimkan uang pula kepadanya sekian ribu dirham. Maksudnya ialah untuk menguji pendiriannya. Sekali hadiah itu diterimanya, tetapi segera dibagi-bagi kepada orang-orang yang dipandangnya sangat memerlukan bantuan. Sehingga habis uang itu tidak tinggal walaupun satu dirham dalam tangannya. Tiba-tiba di waktu sembahyang subuh utusan Mu’awiyyah datang kembali menyatakan bahwa dia telah khilaf memberikan uang itu. Dengan tegas dia menawab bahwa uang itu di malam itu juga telah habis dibagi-bagikannya kepda beberapaorang yang perlu dibantu., lalu diterangkannya siapa-siapa orang itu. Padahal maksud mengantarkan itu nyata buat menjadi ujian saja kepadanya. Kalau sekiranya uang itu masih ada, lalu dia kembalikan, niscaya Mu’awiyyah mendapatkan suatu pegangan bahwa pendirian Abu Zar ini adalah palsu belaka. Sebab diapun masih menerima hadiah dari penguasa. Maka denga dibagi-bagikannya uang itu sampai habis, tidak sedirhampun yang tinggal di tangannya, sudah nyata oleh Mu’awiyyah bahwa ini adalah pendirian yang benar-benar dari Abu Zar. Mungkin sebagai seorang ahli negara yang ulung Mu’awiyyah menampakkan bahwakalau pendirian Abu Zar ini di anjur-anjurkannya kepada umum, akan timbullah perpecahan diantara orang-orang hartawan dengan orang-orang yang tidak mampu.oleh sebab itu segeralah Mu’awiyyah mengirim surat kepada khalifah, Ustman bin Affan, menceritakan peristiwa peristiwa itu. Maka tidak lama kemudian datanglah sepucuk surat dari Ustman bin Affan  sendiri kepada Abu Zar menyuruh segera datang ke Madianah. Dia sendiri menyatakan bahwa seketika dia datang orang-orang di Madinag banyak yang melihat secara ganjil kepadanya, seakan-akan melihat seorang yang baru yang belum dikenal. Oleh karena Sayidina Ustman beliau dipersilahkan suapaya lebih baik jangan tinggal di Madinah, dan memilih sebuah tempat di luar kota. Maka dipilihnya sebuah desa bernama Ribzah. Terletak di antara Makkah dan Madinah, disanalah balia tinggal sampai wafat.  
            Dan jika Abu Zar dipersilahkan tinggal selama-lamanya di desa Ribzah itu, dan diterimanya dengan taat, bukanlah Sayidina Usman mengucilkan orang-orang yang tidak sefaham. Melainkan sebab keamanan. Dan tinggal di dusun sunyi tidaklah mengganggukehidupan Abu Zar, sebab dia adalah orang zuhud.
            Setelah kita meneliti ajaran Islam dan kehidupan para sahabat Rasul dan dibandingkan pula kepada perkembangan hidup manusia, nyatalah bahwa faham Abu Zar ini adalah suatu cinta yang tinggi dan mulia,yang timbul karena sangat termakan akan ajaran Rasul sebagiamana pula pernah sahabat Nabi yang lain, sebagai Usman bin Mazh’un, Abdullah din Amr bin Al-‘Ash, Abu darda’ dan lain-lain, karena saking termakan ajaran Nabi sehingga ada yang berniat menjauhi istri selamanya, pasa setiap hari, berhenti makan daging, bahkan ada yang hendak memotong kemaluan. Ini kejadian di masa nabi masih hidup. Tetapi faham Abu Zar timbul terhadap harta, karena menafsirkan ayat ini, ialah setelah Rasul wafat.
            Perkembangan sosialisme Moden sekarang ini dapat juga dapat kita gunakan untuk menilai pendapat Abu Zar itu. Pendapat Abu Zar hanya dapat dilancarkan dengan sukarela orang seorang, tetapi tidak dapat dilancarkan menjadi peraturan negara. Negara-negara komunis yang menuju komunisme sesudah Sosialisme, pun mencita-citakan dan juga telah mencoba mempraktikan bahwa keperluan rakyat dari sandang (pakaian) dan pangan (makanan) dilengkapi oleh negara. Dan tidak ada orang yang boleh lebih kaya dari pada yang lain. Tetapi dalam praktiknya, pihak-pihak yang berkuasa diberi keutamaan dan kelebohan (fasilitas) yang sangan berlebih-lebihan. Sedang jumlah mereka itu hanyalah sedikit sekali, dibandingkan dengan jumlah rakyat yang diperintah. Pihak yang berkuasa itu sangat kaya raya, sebab seluruh kekayaan negara merekalah yang menguasainya. Di sinilah yang dibesut Mivolan Jilas bekas wakil presiden Yugoslavia timbulnya “kelas Baru”. Rakyat terbanyak hanya cukup pangan dan cukup sandang untuk sehari-hari, barang-barang keperluan hidup dicatutkan, dan segala kemewahan, gedung indah, barang-barang Lux, kendaraan istimewa dan segala istimewa hanya dapat dirasai oleh kelas yang berkuasa.
            Maka terhadap kepada ayat ini, kita telah memperoleh dua aliran pendapat Salafush-Shalihin. Pertama Umar dan anaknya Abdullah bin Umar yang dituruti oleh golongan sahabat yang terbanyak, yaitu boelh mengumpul kekayaan asal dari sumber yang halal, walaupun sampai sebesar bukit Uhud, asal zakatnya dikeluarkan. Dan zakat ini dicampuri dan diawasi, bahkan kalai perlu diatur pungutannya oleh kekuasaan negara.
            Sedang pendapat Abu Zar, selebih dari keperluan diri tidak boleh mengumpul harta . lebih dari keperluan diri tidak boleh disimpan, melainkan dikeluarkan untuk keperluan jalan Allah.
            Tetapi dasar berpikir dari kedua pendapat itu, hanya satu, tidak dua dan tidak bersimpangan. Yaitu ketaatan kepada Allah dan berjihda pada jalan Allah dengan harta benda dan jiwa. Bukan berdasar kepada faham kebendaan (materialisme), yang meninggalkan nilai-nilai kepercayaan kepada Allah. Dan menjadi bukti hidupnya roh ijtihad dari kalangan sahabat-sahabat Rasul.
            Oleh sebab itu, kita dapat melihat dalam sejarah betapa perbandingan hidup diantara orang yang kaya raya dengan orang yang tidak mempunyai apa-apa itu. Yang kaya raya ialah sebagai Abdurrahman bin ‘Auf yang dikenal betapa giatnya mengeluarkan zakat dan belanja-belanja keperluan Jalan Allah yang lain sehingga orang menikmati kekayaan yang didapatnya itu. Dan bertemu Abu Zar yang tidak suka mempunyai, tidak pandai berniaga, tetapi menolak hadiah, sebab merasa dia tidak perlu menerima hadiah itu, yang dengan segera memberikannya kepada yang memerlukan di saat itu juga, tidak sedirhampun ada tinggal di tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar