Nama
:Nurjayanah
Nim : 14142321092
Smt/Jurusan : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata
Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ
الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.
dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.” (Q.S At-Taubah : 34)
Tafsir Al-Azhar
“Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (pangkal ayat 34).
Memakan harta manusia dengan jalan batil. Batil adalah lawan dari
yang hak. Jadi berarti mereka mengambil harta orang dengan jalan yang tidak
benar, dalam segala macam caranya. Baik dengan memeras, mengancam, menipu. Maka di dalam ayat ini akan dinyatakan bahwa
kebanyakan atau banyak dari mereka berbuat demikian. Mereka pergunakan
kedudukan mereka yang dipandang suci itu, baik sebagai Habr ataupun
sebagai Rahib untuk mengambil harta manusia. Lantaran manusia segan dan
takut, lalu dituruti kehendak mereka. Disebut kebanyakan, artinya ialah bahwa
bukana semuanya begitu.
Cara memakan harta dengan jalan batil itu macam-macam.
Diantaranya ialah karena orang yang diperas itu menyangka, karena
amat jujurnya kepada pemimpin, bahwa guru itu suci dari dosa. Lalu mereka
meminta dengan perantara mereka supaya didoakan. Sebab doa beliau mustajab di
sisi Tuhan. Lalu yang meminta itu memberikan hadiah atau sedekah kepada beliau
dan beliau terima. Oleh karena sudah terasa enaknya harta demikian, si gurupun
senang sekali. Lama-lama timbullah persekongkolan di antara guru dengan yang
minta tolong, buat mengajak pula orang lain berbuat demikian. Bahkan sampai
diadakan propaganda berbisik bahwa doa beliau mustajab. Akhirnya timbullah
kerja merangkap diantara jadi guru dengan jadi dukun!.
Diataranya pula yang menjadikan kuburan Nabi-nabi atau orang-orang
shalih untuk jadi tempat berziarah. Dibuat pula propaganda bahwa meminta barang
sesuatu kepada Allah di tempat itu akan lekas makbul. Tetapi hendaklah membayar
sekian, dan membawa hadiah. Orang Nasrani mendirikan gereja atau biata dengan
memakai nama orang shalih yang dipuja orang. Pendeta yang menjadi perawat itu
menerima nazar dan niat orang yang datang ziarah yang berupa harta benda.
Diantaranya pula, yang terkenal dalan gereja Kathilik dan Orthodox
ialah uang tebusan dosa. Orang yang merasa berdosa datang menemui seorang
pendeta yang ditentukan oleh pimpinan gereja tertinggi, lalu membuka rahasia
dirinya kepada pendeta itu dengan tidak boleh disembunyikan sedikit juapun.
Maka dosa itu akan diampuni oleh pendeta tadi. Sebab menurut ayat yang telah
kita salin di atas tadi, apa yang mereka orak dan buka, akan diorak dan dibuka
pula oleh Allah di syurga. Di sinilah timbul jual beli dan tawar menawar. Yang
banyak menjadi kurban di zaman Tengah ialah raja-raja, bangsawan-bangsawan, dan
hartawan-hartawan. Apabila harga sudah cocok, pimpinan gereja akan memberikan
sepucuk surat kepelapasan dari dosa. Inilah sebab pertama dan paling terutama
yang menyebabakan timbulnya pemberontakan Martin Luther dengan Gerakan
Protestant yang terkenal.
Di antaranya pula ialah bila ahli-ahli politik dalam negeri meminta
fatwa kepada gereja, bagi menghalalkan perbuatan mereka, walaupun haram,
ataupun mengaharamkan, dan mengutuk perbuatan musuh, walaupun musuh itu tidak
salah.
Yang terkenal pula dalam kalangan Yahudi ialah pemimpin agama
sendiri menghalalkan riba (renten) terhadap orang lain yang bukan Yahudi.
Berapa banyaknya kerajaan-kerajaan besar di Eropa terhutang kepada
Bankir-bankir Yahudi untuk kepentingan negara atau kepentingan penjajahan.
Beberapa kali revolusi besar telah terjadi dalam sejarah Eropa.
Selain dari Revolusi Golongan Agama Protestant kepada pemimpin Katholik,
kemudian telah terjadi revolusi Perancis di akhir abad Kedelapan belas. Salah
satu sebab yang menimbulkan revolusi ialah pengaruh Pendeta yang demikian
besar, bersekongkol dengan Feodalisme Kerajaan menindas rakyat.
Berhektar-hektar tanah kepunyaan gereka. Tindasan Kerajaan dan gereja sama
menghimpit bahu rakyat. Voltaire melemparkan kritik-kritik yang pedaskepada
kuasa gereja yang tidak berbatas. Revolusi Rusia pun salah satu sebab sama
persis denga revolusi Perancis, yaitu tindasan gereja dan gereja menumpuk
kekayaan dari pemerasan kepada rakyat. Riwayat cabul dari seorang pendeta
bernama Rasputin, adalah salah saru proloog yang mematangkan Revolusi
Rusia. Di antara gereja dengan raja sokong-menyokong, angkat- mengangkat.
Revolusi Spayol yang gagal dan revolusi Mexico pun termasuk juga revolusi
kepada gereja. Pada hakikatnya orang bukan beronak kepada agama, melainkan
kepada penguasa agama. Sebab di Perancis sendiri, meskipun di permulaan
revolusi agama dikutuk, berangsur-angsur kemudiannya orang kembali juga kepada
agama. Tetapi kekuasaannya sudah sangat diabatasi. Di sinilah pangkal ideal
“Pisahkan Negara dan Agama”.
Lantaran timbul pengumpulan harta dengan jalan yang batil, memeras
keringat rakyat yang jujur dengan nama agama, tentulah penguasa-penguasa
agama-agama itu menjadi sangat benci kepada pikiran-pikiran dan pendapat baru.
Oleh sebab itu di dalam ayat ini diteruskan lagi sebagai akibat dari
pengumpulan harta yang tidak halal itu, yaitu bahwa mereka menghambat manusia
dari jalan Allah! Di zaman Nabi s.a.w., ketika ayat ini turun, diterangkanlah
salah satu sebab mengapa mereka menghalangi pertumbuhan Islam, ialah karena
mengumpul harta yang tiada halal itu. Korupsi, kata orang sekarang.
Tetapi ingatlah pengkal ayat, yaitu menjelaskan bahwa kebanyakan
mereka begitu perangainya. Jadi bukan semuanya. Yang jujurpun tentu ada, yang
benar-benar berpegang pada agama dan taatpun ada. Dan inilah yang disyaratkan
pad surat Al-Maidah ayat 82 samapi ayat 85. Dan diisyaratkan pula pada suarat
Al-Hadid ayat 27, bahwa pengajaran Nabi Isa alaihis-salam itu, yaitu injil,
telah menimbulkan di dalam hari orang-orang yang jadi pengikutnya perasaan
halus dan bekas kasihan yang mendalam, yang dirumuskan oleh orang Kristen di
dalam negeri kita dengan sebutan “cinta kasih”. Tetapi pada ayat itu juga diterangkan bahwa ada pula yang menyimpang
dari ajaran Nabi Isa: “Maka kebanyakan dianatar mereka menjadi fasik”.
“Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”
(ujung ayat 34).
Di pangkal ayat tadi dimulai dengan menerangkan kejahatan
kebanyakan Ahbar (guru) orang yahudi dengan pendeta nasrani. Sebagai manusia
yang loba tamak, mereka telah mempergunakan kedudukan yang demikian mulia untuk
kepentingan diri sendiri. Sedangkan pada Rabbi dan Rahib bisa
bertemu dengan yang demikian, apatah lagi pada yang lain. Kelobaan kepada harta
benda menyebabkan orang mengumpulkannya untuk kekayaan diri dan golongan,
kadang-kadang untuk kemegahan dan kekuasaan, walaupun dengan menghisap darah
dan menindas orang yang lemah. Maka datanglah lanjutan ayat menyatakan bahwa
barang siapa yang mengumpul-ngumpul dan menumpuk-numpuk harta, baik dia guru
Yahudi, pendeta Nasrani, Ulama Islam, ataupun siapa saja. Mengumpulkan emas dan
perak, yaitu dinar dan dirham sebagai uang, atau nilai dari pada uang. Dan
tidak dibelanjakan pada jalan Allah, maka azab siksa yang pedihlah yang akan
mereka terima dari Tuhan.
Ayat ini telah
memberikan bibingan bahwa tidak salah mengumpulkan harta, emas, dan perak,
berapapun banyaknya, asal dari jalan yang halal. Dan tidak salah mengumpulkan
harta benda yang banyak dari jalan halah itu, asal segera dinafkan pada jalan
Allah, pada membangun agama, pada kemuslihatan umum. Bukan saja tidak salah,
bahkan disuruhkan.
Menurut riwayat
Ibnu Abbas, seketika ayat ini mulai turunagak canggung kaum muslimin dan
terkejut. Ada mereka yang berkata, kalau kita sudah dilarang mengumpulkan
harta, berapakah persediaan kita untuk diwariskan kepada anak-anak kita di
kemudian hari, jika kita meninggal. Mendengar keluhan kecemasan itu, sayyidina
Umar bin Khatab sengaja datang menghadap Rasulullah s.a.w., dan dia diiringkan
oelh seorang sahabat lagi bernama Tsauban, yang juga ingin mendapat penjelasan
dari Rasul. Lalu Umar berkata “Ya Nabi Allah! Berat benar bagi sahabat-sahabat
engkau ayat ini.”
Lalu Rasulullah
s.a.w., menjawab
“sesungguhnya
tidaklah Allah telah mewajibkan zakat melainkan supaya mejadi baiklah harta
yang ada pada kamu. Dan Allah telah mewajibkan pembagian waris untuk harta yang
akan kamu tinggalkan.”
Dengan jawaban
Nabi s.a.w., atas keraguan orang banyak yang disampaikan oleh Umar itu,
hilanglah kemusyklan kaum muslimin. Rupanya boleh mengumpulkan harta asal dari
yang halal. Dengan adanya peraturan zakat, nama pengumpulan tidak ada lagi.
Sebab dia telah dibersihkan dengan zakat itu. Dan apabila seseorang meningga,
tidak pula akan ada pengumpulan lagi, sebab harta benda sudah difaraidhkan
kepada yang berhak menerimanya, sehingga cair tidak terkumpul di satu tangan
lagi. Sebab itu maka Abdullah bin Umar mengatakan, harta benda yang telah
dizakatkan, tidaklah dinamai lagi hartya yang ditumpuk, walaupun banyaknya
sampai menyundak lagit dan bumi. Dan Ibnu Umar pun berkata “Aku tak Perduli,
walaupun hartaku sampai sebesar bukit Uhud dari emas, asal telah ku zakatkan
menurut mestinya.”
Tetapi ada seorang
sahabat Rasul yang berpaham lain dalam hal ini, yaitu Abu Zar Al-Ghifari yang
terkenal. Menurut beliau, segala harta benda yang ditumpukkan berlebih dari
yang diperlu dimakan dan yang sangat perlu dipakai, maka itu adalah harta benda
tumpukan yang dilarang oleh ayat ini. Seorang muslim menurut beliau, cukup
berharta sekedar yang lekat di badan dan yang perlu untuk dimakan. Di sinilah
pertentangan beliau dengan sahabat-sahabat yang lain, yang semua menganut faham
Ibnu Umar dan ayahnya tadi. Apatah yang pernah seorang A’rabi (arab desa)
bertanya kepada rasulullah s.a.w., menurut Hadis yang pernah dirawikan oleh
Thalhah. Orang itu bertanya kepada Rasulullah “Adakah lagi kewajibanku yang
lain?” (yaitu yang lain dari zakat)?. Rasulullah s.a.w. menjawab “Tidak ada
lagi, kecuali kalau engkau suka bertathawu’!” yaitu sekedah suka rela, seumpama
wakaf, hibah, dan hadiah. Dan dikuatkan pula oleh yang bertanya kepada engkau
dari hal perbelanjaan, jawablah “selebih dari yang perlu.” Al-‘Afwa.
Tetapi Abu Zar
telah berpegang teguh dengan pendapatnya itu. Beliau adalah salah seorang
As-sabiqun Al-Awwaluna termasuk barisan pelopor Islam yang mula-mula, dari
Muhajirin. Dan sifat-sifat zuhudnya telah diketahui dan dilihat sendiri oleh
rasulullah s.a.w sejak beliau hidup. Sampai Rasulullah memberi nasihat
kepadanya agar dia jangan mendekat-dekat kepada urusan keperintahan, meminta
atau menerima jabatan apapun jua dalam kenegaraan. Sebab Rasul telah mengetahui
bakat zuhudnya yang sangat dalam itu. Dan karena itu pula sekalian sahabat
Rasul yang besar-besarpun segan kepdanya dan menghormatinya tinggi. Dan dia
juga seorang yang patuh terhadap kekuasaan negara. Di zaman pemerintahan
sayidina Usman dia berdiam di Syam (Damaskus) yang ketika itu menjadi Gubernur di
sana ialah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Tetapi meskipun dia seorang rakyat yang
terkenal patuh, diapun berani berterus
terang menyatakan pendapatnya. Mungkin oleh karena rakyat Islam sudah mulai
banyak mengumpul kekayaan bertumpuk-tumpuk karena luasnya wilayah Islam,
banyaknya terjadipenaklukan negeri yang menyebabakna banyak pula harta rampasan
dan sangat pesatnya perniagaan, maka sudah banyak orang yang kaya raya. Di
waktu itulah Abu Zar menyatakan pendapat bahwa menumpuk-numpuk harta benda emas
dan perak, dinar dan dirham, dan tidak membelanjakannya pada jalan Allah adalah
satu dosa besar. Buat beliau segala keperluan yang telah berlebih dari yang
akan dimakan dan dipakai, terlebih dari sebuah rumah tempat tinggal, dan
pelayanan yang perlu, semuanya wajib dikeluarkan untuk menegakan Jalan Allah.
Sekali-kali tidak boleh menyimpan yang selebihnya. Sebab yang berlebih dari
yang diperluan yang sangat perlu itu, bukanlah harta kita lagi, tetapi hak
fakir miskin dan sabilillah.
Maka dapatlah kita
di zaman sekarang mengetahui bahwa Abu Zar telah mencetuskan suatu cita yang
sekarang kita namai “Sosialisme” atau “keadilan Sosial”.
Pegangan beliau
ialah ayat yang tengah kita tafsirkan.
Beliau pernah
diajaka bertukar pikiran oleh Mu’aiyah sebagai penguasa tinggi Wakil Khalifah
di Syam. Mu’awiyyah mengatakan bahwa ayat ini hanya khusus ahlul kitab. Sebab
yang jadi pegangan Abu Zar itu ujung atau lanjutan dari ayat. Sedangkan pangkal
ayat ialah menerangkan perangai kebanyakan guru-guru agama Yahudi dan pendeta
Nasrani. Tetapi Abu Zar mengatakan bahwa ayat ini adalah untuk mereka (Yahudi
dan Nasrani) dan untuk kita Umat Islam.
Suatu kali
Shuahaib bin Salamah, salah seorang Amir bawahan Mu’awiyah di Syam mengirim
uang kepada Abu Zar sebanya 300 dinar, sebagai bantuan untuknya. Serta merta
uang itu dikembalikannya kepada utusan yang diutus untuknya Shuhaib dan
dipesankannya “bukankah engkau sudah tahu bahwa tidak ada orang yang lebih dari
kami dalam hal ghirah terhadap Allah? Yang perlu bagi kami hanya satu rumah
tempat berlindung dari panas, tiga ekor kambing buat diambil manfaatnya dan
seorang khadimah (pelayan) yang mendermakan tenaganya. Karena kami takut akan
berlebih-lebihan.”. dan semuanya itu sudah ada padanya, buat apa dia menerima
yang 300 dinar lagi, padahal orang yang lain amat banyakyang membutuhkannya.
Ada riwayat lain
bahwa suatu waktu, diantara Maghrib dan isya Mu’awiyyah mengirimkan uang pula
kepadanya sekian ribu dirham. Maksudnya ialah untuk menguji pendiriannya.
Sekali hadiah itu diterimanya, tetapi segera dibagi-bagi kepada orang-orang
yang dipandangnya sangat memerlukan bantuan. Sehingga habis uang itu tidak
tinggal walaupun satu dirham dalam tangannya. Tiba-tiba di waktu sembahyang
subuh utusan Mu’awiyyah datang kembali menyatakan bahwa dia telah khilaf
memberikan uang itu. Dengan tegas dia menawab bahwa uang itu di malam itu juga
telah habis dibagi-bagikannya kepda beberapaorang yang perlu dibantu., lalu
diterangkannya siapa-siapa orang itu. Padahal maksud mengantarkan itu nyata
buat menjadi ujian saja kepadanya. Kalau sekiranya uang itu masih ada, lalu dia
kembalikan, niscaya Mu’awiyyah mendapatkan suatu pegangan bahwa pendirian Abu
Zar ini adalah palsu belaka. Sebab diapun masih menerima hadiah dari penguasa.
Maka denga dibagi-bagikannya uang itu sampai habis, tidak sedirhampun yang
tinggal di tangannya, sudah nyata oleh Mu’awiyyah bahwa ini adalah pendirian
yang benar-benar dari Abu Zar. Mungkin sebagai seorang ahli negara yang ulung
Mu’awiyyah menampakkan bahwakalau pendirian Abu Zar ini di anjur-anjurkannya
kepada umum, akan timbullah perpecahan diantara orang-orang hartawan dengan
orang-orang yang tidak mampu.oleh sebab itu segeralah Mu’awiyyah mengirim surat
kepada khalifah, Ustman bin Affan, menceritakan peristiwa peristiwa itu. Maka
tidak lama kemudian datanglah sepucuk surat dari Ustman bin Affan sendiri kepada Abu Zar menyuruh segera datang
ke Madianah. Dia sendiri menyatakan bahwa seketika dia datang orang-orang di
Madinag banyak yang melihat secara ganjil kepadanya, seakan-akan melihat seorang
yang baru yang belum dikenal. Oleh karena Sayidina Ustman beliau dipersilahkan
suapaya lebih baik jangan tinggal di Madinah, dan memilih sebuah tempat di luar
kota. Maka dipilihnya sebuah desa bernama Ribzah. Terletak di antara Makkah dan
Madinah, disanalah balia tinggal sampai wafat.
Dan jika Abu Zar
dipersilahkan tinggal selama-lamanya di desa Ribzah itu, dan diterimanya dengan
taat, bukanlah Sayidina Usman mengucilkan orang-orang yang tidak sefaham.
Melainkan sebab keamanan. Dan tinggal di dusun sunyi tidaklah
mengganggukehidupan Abu Zar, sebab dia adalah orang zuhud.
Setelah kita
meneliti ajaran Islam dan kehidupan para sahabat Rasul dan dibandingkan pula
kepada perkembangan hidup manusia, nyatalah bahwa faham Abu Zar ini adalah
suatu cinta yang tinggi dan mulia,yang timbul karena sangat termakan akan
ajaran Rasul sebagiamana pula pernah sahabat Nabi yang lain, sebagai Usman bin
Mazh’un, Abdullah din Amr bin Al-‘Ash, Abu darda’ dan lain-lain, karena saking
termakan ajaran Nabi sehingga ada yang berniat menjauhi istri selamanya, pasa
setiap hari, berhenti makan daging, bahkan ada yang hendak memotong kemaluan.
Ini kejadian di masa nabi masih hidup. Tetapi faham Abu Zar timbul terhadap
harta, karena menafsirkan ayat ini, ialah setelah Rasul wafat.
Perkembangan
sosialisme Moden sekarang ini dapat juga dapat kita gunakan untuk menilai
pendapat Abu Zar itu. Pendapat Abu Zar hanya dapat dilancarkan dengan sukarela
orang seorang, tetapi tidak dapat dilancarkan menjadi peraturan negara.
Negara-negara komunis yang menuju komunisme sesudah Sosialisme, pun
mencita-citakan dan juga telah mencoba mempraktikan bahwa keperluan rakyat dari
sandang (pakaian) dan pangan (makanan) dilengkapi oleh negara. Dan tidak ada
orang yang boleh lebih kaya dari pada yang lain. Tetapi dalam praktiknya,
pihak-pihak yang berkuasa diberi keutamaan dan kelebohan (fasilitas) yang
sangan berlebih-lebihan. Sedang jumlah mereka itu hanyalah sedikit sekali,
dibandingkan dengan jumlah rakyat yang diperintah. Pihak yang berkuasa itu sangat
kaya raya, sebab seluruh kekayaan negara merekalah yang menguasainya. Di
sinilah yang dibesut Mivolan Jilas bekas wakil presiden Yugoslavia timbulnya
“kelas Baru”. Rakyat terbanyak hanya cukup pangan dan cukup sandang untuk
sehari-hari, barang-barang keperluan hidup dicatutkan, dan segala kemewahan,
gedung indah, barang-barang Lux, kendaraan istimewa dan segala istimewa hanya
dapat dirasai oleh kelas yang berkuasa.
Maka terhadap
kepada ayat ini, kita telah memperoleh dua aliran pendapat Salafush-Shalihin.
Pertama Umar dan anaknya Abdullah bin Umar yang dituruti oleh golongan sahabat
yang terbanyak, yaitu boelh mengumpul kekayaan asal dari sumber yang halal,
walaupun sampai sebesar bukit Uhud, asal zakatnya dikeluarkan. Dan zakat ini
dicampuri dan diawasi, bahkan kalai perlu diatur pungutannya oleh kekuasaan
negara.
Sedang pendapat
Abu Zar, selebih dari keperluan diri tidak boleh mengumpul harta . lebih dari
keperluan diri tidak boleh disimpan, melainkan dikeluarkan untuk keperluan
jalan Allah.
Tetapi dasar
berpikir dari kedua pendapat itu, hanya satu, tidak dua dan tidak bersimpangan.
Yaitu ketaatan kepada Allah dan berjihda pada jalan Allah dengan harta benda
dan jiwa. Bukan berdasar kepada faham kebendaan (materialisme), yang
meninggalkan nilai-nilai kepercayaan kepada Allah. Dan menjadi bukti hidupnya
roh ijtihad dari kalangan sahabat-sahabat Rasul.
Oleh sebab itu,
kita dapat melihat dalam sejarah betapa perbandingan hidup diantara orang yang
kaya raya dengan orang yang tidak mempunyai apa-apa itu. Yang kaya raya ialah
sebagai Abdurrahman bin ‘Auf yang dikenal betapa giatnya mengeluarkan zakat dan
belanja-belanja keperluan Jalan Allah yang lain sehingga orang menikmati
kekayaan yang didapatnya itu. Dan bertemu Abu Zar yang tidak suka mempunyai,
tidak pandai berniaga, tetapi menolak hadiah, sebab merasa dia tidak perlu
menerima hadiah itu, yang dengan segera memberikannya kepada yang memerlukan di
saat itu juga, tidak sedirhampun ada tinggal di tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar