Nama
:Tika Nurulliya
Nim : 1414231119
Smt/Jurusan : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata
Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
(Sikap
Orang-orang Kafir terhadap Perintah Allah SWT untuk Bertaqwa dan Berinfaq dalam
QS.Yaasin: 47 )
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ
أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لِلَّذِيْنَ
آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْيَشَاءُاللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِيْ
ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ {٤٧}
Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
“Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu”, berkatalah
orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan
memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan
memberinya makan?”. Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Berdasarkan
Tafsir Al-Azhar:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ
أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka, “Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu” (pangkal
ayat 47).
Oleh sebab Allah telah memberimu
rezeki lebih banyak sedang sesamamu ada yang lemah, ada yang tidak mempunyai
kesanggupan dan kegigihan memburu harta sebagai kesanggupan yang ada pada kamu,
maka berikanlah sebagian dari rezeki anugerah Allah itu kepada orang-orang yang
patut ditolong, anjuran itu mereka tolak. Mereka tidak mau memberikan sebagian
rezeki yang diberikan Allah itu sedikit saja kepada yang patut menerima.
قَالَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْيَشَاءُاللَّهُ
أَطْعَمَهُ
“Berkatalah orang-orang
yang kafir itu kepada orang-orang yang beriman:
“Apakah kami akan memberi makan kepada
orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?”
Begitulah jawaban mereka untuk
mengelakkan diri dari mengeluarkan sebagian hartanya, yaitu rezeki yang
dilebihkan Allah kepadanya, kepada fakir dan miskin. Dia menjawab lantaran
bakhilnya bahwa kami tidak perlu memberi makan orang yang faqir dan miskin itu,
karena Tuhan telah memberikan jaminan makan pula untuk mereka. Mereka harus
berusaha seperti usaha kami juga. Dia lupa atau tidak mau mengerti atau sengaja
tidak mau peduli bahwa Allah tidaklah mentakdirkan makhluk dengan kekuatan yang
sama atau sama kecerdasannya dan sama keahliannnya berfikir mencari keuntungan.
Oleh sebab itu, maka di mana saja di permukaan bumi ini, keadaan hidup manusia
itu berbeda-beda. Ada yang baru sedikit berusaha sudah berhasil, ada yang
bersusah payah membanting tulang hasil yang didapatnya hanya sedikit sekali,
tidak sepadan dengan tenaganya yang keluar. Maka kalau kiranya orang yang
mempunyai kekayaan, orang yang mampu berpendirian hanya mencari keuntungan
untuk diri sendiri, tidak memperdulikan keadaan orang yang melarat tidaklah
akan ada hubungan kasih sayang dalam dunia ini. Padahal kerap kali rezeki
banyak yang didapat oleh si kaya ialah karena pengorbanan orang yang lemah,
sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Adakah kamu mendapat
pertolongan dan mendapat rezeki, kalau bukan lantaran orang-orang yang lemah di
antara kamu?”
Maka
dijelaskan diakhir ayat:
إِنْ
أَنْتُمْ إِلاَّفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
“Tidak lain kamu ini, melainkan di dalam
kesesatan yang nyata". (ujung ayat)
Yaitu bahwa pendirian
mereka yang demikian itu adalah pendirian yang sesat. Mereka tidak hendak
mencari hubungan kasih sayang dengan sesama manusia. Mereka tidak hendak
memperdulikan nasib faqir dan miskin. Mereka menyangka dengan demikian mereka
telah menempuh jalan yang benar, padahal itu adalah satu jalan tersesat. Karena
bagaimana besarnya kekayaan harta, janganlah dilupakan bahwa bagi Tuhan mudah
saja mencabut berkat dan rahmat-Nya daripada harta itu. Lalu engkau pun
terpencil dari pergaulan bersama. Karena yang akan engkau dapat tidak lain
daripada kutukan sesama manusia bukanlah do’a mereka agar rezeki engkau
ditambah Tuhan juga.
Berdasarkan Tafsir Al-Maraghi
أَطْعَمَهُ اللَّهُ يَشَاءُ لَوْ مَنْ أَنُطْعِمُ آمَنُوا لِلَّذِينَ كَفَرُوا الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ رَزَقَكُمُ مِمَّا أَنْفِقُوا لَهُمْ قِيلَ وَإِذَا
Dan apabila dikatakan kepada mereka disuruh
membelanjakan sebagian dari apa yang Allah rezekikan kepada mereka agar
diberikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang melarat dari kaum Muslimin,
maka mereka berkata kepada orang Islam yang meminta pembelanjaan tersebut:
Sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia membuat mereka kaya dan memberi mereka
makan dari rezeki-Nya. Jadi kami hanyalah menuruti kehendak Allah saja terhadap
mereka.
Firman Allah swt.:
مِمَّارَزَقَكُمُ
اللَّهُ
Dari
apa yang Allah rezekikan kepadamu merupakan dorongan untuk membelanjakan harta,
sebagaimana firman Allah swt. yang lain:
وَأَحْسَنْ كَمَاأَحْسِنَ اللَّهُ
إِلَيْكَ
Artinya:
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu.” (Al-Qashash [28]: 77)
Dan
juga merupakan peringatan tentang betapa besar dosa mereka ketika tidak
menuruti perintah Allah, dan merupakan kecaman bagi mereka karena tak mau
berbelas kasihan kepada sesama hamba Allah.
Kesimpulannya,
bahwa mereka tidak mengagungkan Yang Maha Pencipta dan tidak berbelas kasihan
kepada sesama makhluk.
Kemudian,
Allah menyebutkan bahwa mereka, di samping bakhil dan kikir, juga mengecam
orang yang menyuruh membelanjakan harta dan menuduhnya sebagai orang yang sesat
secara nyata yang tidak diragukan lagi. Firman Allah swt.:
إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
Tidakkah
kalian ketika diserukan, “Belanjakanlah sebagian dari apa yang Allah rezekikan
kepadamu untuk diberikan kepada orang-orang miskin di antara kamu,” (lalu kamu
menolak). Dan kalian dalam kesesatan yang nyata dan jauh dari jalan yang benar
bagi siapa pun yang mau berpikir dan memperhatikan.
Hal
ini merupakan alasan bagi orang-orang bakhil pada setiap zaman dan tempat.
Karena, anda lihat mereka senantiasa mengatakan, “Kami takkan memberi kepada
orang yang tidak diberi oleh Allah.” Kata-kata seperti itu semata-mata
kedustaan mereka saja. Karena Allah memang membuat kaya sebagian makhluk-Nya
dan sebagian lainnya. Dia membuat fakir sebagian cobaan dari Allah terhadap
hamba-hamba-Nya. Dan juga karena sebab-sebab yang kita tidak mengetahuinya,
bukan karena kebakhilan Allah. Dan bila Allah menyuruh kepada orang-orang kaya
agar membelanjakan harta kepada orang-orang fakir, maka hal itu bukanlah karena
Allah membutuhkan kepada harta mereka. Akan tetapi Allah hendak mencoba mereka
dan melihat apakah mereka mematuhi perintah dan menunaikan kewajiban atau
berpaling dan berbalik meninggalkan perintah tersebut.
Dan
tidak seorang pun berhak menentang kehendak Tuhannya karena dia tidak tahu
sebab-sebab dari apa yang dia saksikan dan dia lihat di alam semesta ini.
Berdasarkan Tafsir Ibnu
Katsir:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ
أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لِلَّذِيْنَ
آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْيَشَاءُاللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِيْ
ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ {٤٧}
Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
“Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu”, berkatalah
orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan
memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan
memberinya makan?”. Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
لَهُمْ قِيلَ وَإِذَا
“Dan bila dikatakan kepada mereka” (yaitu orang-orang munafik); salah satu sifat orang-orang munafik
itu adalah mereka amat susah untuk sedekah kepada agama. Apabila kita ingin
tahu bahwa kita termasuk orang munafik atau tidak, apabila datang orang meminta
sedekah kepada kita, dan kita tidak mau memberi sedekah, maka demikian ada
ciri-ciri munafik dalam diri kita. Bangsa Melayu ini sedikit sulit dalam
memberi sedekah jika dibandingkan orang Arab. Jika kita lihat orang Arab,
mereka memberi sedekah seperti orang yang tidak takut akan jatuh miskin.
اللَّهُ رَزَقَكُمُ مِمَّا أَنْفِقُوا
“Infakanlah sebagian
rezeki yang diberikan Allah kepadamu”; Allah lah yang sebenarnya memberi rezeki kepada kamu. Sebenarnya kamu
tidak ada rezeki, tapi Allah telah memberikan rezeki yang banyak kepada kita.
Tapi, banyak yang berat tangan untuk bersedekah atau infak kepada orang lain.
Padahal, yang Allah perintahkan memberi itu pun dari rezeki yang Dia beri.
Bukan kita sendiri yang mendapatkan rezeki itu. Apabila Allah tidak memberikan
rezeki kepada kita, kita tidak memiliki apa pun.
Apabila telah ada Iman dalam diri kita, secara
otomatis kita akan senang untuk berbuat amal kebaikan. Iman bukan hanya dalam
perkara Ibadah saja, solat, puasa, haji dan sebagainya. Tapi Iman juga menyuruh
kita untuk berbuat kebaikan untuk manusia lain. Islam tidak memisahkan amal
ibadah untuk diri kita dan juga menolong orang lain juga. Konsep kebajikan
dalam Islam diterangkan dengan jelas dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah: 177
لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ
تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمُشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّمَنْ
اَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَالْمَلَئِكَةِ وَالْكِتَبِ
والنَّبِيِّنَ، وَاَتَى الْمَالَ عَلَى
حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمى وَالْمَسَكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ،
وَالسَّآئِلِيْنَ وَفِى الرِّقَابِ،
وَاَقَامَ الصَّلَوةَ وَاَتَى الزَّكَوةَ، وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ
اِذَاعَاهَدُوْاوَالصَّبِرِيْنَ فِى الْبَأْ سَآءِوالضَّرَّآءِوَحِيْنَ
الْبَأْسِ، اُولَئِكَ الَّذِيْنَ
صَدَقُوْا، وَاُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
{١٧٧ }
Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat,
tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari
akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang
dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya,
yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji
apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada
masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.”
Ini adalah kata-kata
nasihat yang diberikan kepada mereka. Tapi bagaimana pula balasan mereka?
كَفَرُوا الَّذِينَ قَالَ
“Berkata orang-orang kafir munafik itu”; mereka dipanggil kafir karena walaupun mereka mereka mengucap
syahadat di depan Nabi, tapi sebenarnya hati mereka dalam kekafiran. Mereka
nanti akan masuk neraka kekal di dalamnya.
آمَنُوا لِلَّذِينَ
“Kepada orang-orang yang beriman”,
أَطْعَمَهُ اللَّهُ يَشَاءُ لَوْ مَنْ أَنُطْعِمُ
“Apakah kami akan
memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan
memberinya makan?”; Mereka berkata mendapat rezeki dari Allah juga, harusnya Allah juga
yang memberi rezeki kepada orang itu. Jadi mereka berkata kepada orang yang
meminta itu untuk minta sendiri kepada Tuhan, bukan kepada mereka. Jadi ayat
ini bukan hanya ditunjukan kepada orang dulu saja, tapi kepada orang zaman
sekarang juga.
Lihatlah hujjah mereka. Mereka menggunakan logika
akal. Mereka berkata, kalau Allah telah memberi rezeki kepada mereka, tentulah
Allah pun boleh juga untuk memberi rezeki kepada orang yang susah itu?
Begitulah tanda orang-orang munafik. Mereka akan memberikan hujjah akal untuk
menolak dari melakukan kebaikan. Otak mereka pandai, tapi iman mereka kurang.
Kita akan banyak menemui orang yang seperti ini. Mereka pandai berhujjah saja,
tapi hujjah mereka itu adalah hujjah-hujjah akal yang mengikuti hawa nafsu
mereka saja. Kepada orang-orang seperti ini, kita berikan hujjah-hujjah
al-Qur’an kepada mereka. Kalau mereka tidak mau terima, ingatkan mereka celaka
yang akan mereka terima seperti apa yang telah disebut dalam surah ini. Kalau
mereka tidak mau terima, bermakna Allah masih tidak memberi hidayah kepada
mereka. Memang dari zaman dahulu sampai sekarang, akan ada manusia yang
bersifat seperti ini.
Apabila kita tidak dapat memberi sumbangan kepada
peminta sedekah, hendaklah kita minta maaf kepada mereka, jangan menghina dan
mengusirnya. Walaupun mungkin kita tahu dia golongan orang yang mengambil
kesempatan. Kita dilarang untuk berkata hina kepada orang yang meminta. Kita
harus bisa menjaga ucapan kita. Memanglah orang-orang yang meminta sedekah itu
memang ada masalah pada diri mereka sendiri. Dalam hadits dikatakan bahwa di
Mahsyar nanti, akan luruh muka mereka karena mereka semasa di dunia meminta
sedekah. Kita harus berkata kepada mereka dengan lembut. Mungkin ada penyakit
putus asa pada diri mereka.. Ataupun mereka itu mungkin kaki judi dan sebagainya.
Tidak perlu kita membuka rahasai mereka, tidak perlu kita mencari pa salah
mereka, itu bukan tugas kita. Kita sebagai orang yang berpengetahuan, kita
jangan berbuat seperti itu.
Allah lah yang menentukan rezeki kepada kita. Ada
yang hanya usaha sedikit, tapi dikaruniakan rezeki yang banyak. Ada yang susah
bekerja, bermalas-malasan setiap hari, tapi hanya kesakitan yang mereka
dapatkan. Itu semua adalah anugerah dari Tuhan. Ikuti perintah Allah akan
memberi beberapa banyak kepada seseorang itu, kita tidak boleh
mempersoalkannya. Memang sudah seperti itu seharusnya, kita tidak boleh
berbangga diri jika kita orang yang berharta. Ada yang memang Allah beri rezeki
yang sedikit kepada mereka. Mungkin ada sebab kenapa Allah berbuat seperti itu.
Mungkin kita orang yang tidak berharta karena Allah tahu jikalau diberikan
harta yang banyak kepada kita, kita akan menjadi orang yang tidak baik. Maka
bersyukurlah dengan apa saja yang kita miliki.
مُبِينٍ ضَلالٍ فِي إِلا أَنْتُمْ إِنْ
“Kamu benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.”; Siapakah yang berkata dalam ayat ini? Ada dua penafsiran. Samada yang
berkata itu adalah orang-orang munafik itu sebagai menguatkan hujjah mereka,
atau ianya adalah jawaban Allah kepada orang-orang yang bersifat munafik
seperti mereka itu:
Tafsiran 1: Ayat ini dulu dikatakan oleh orang munafik kepada
Nabi Muhammad dan pengikutnya. Sekarang kata-kata ini dikatakan kepada
orang-orang yang mengikuti sunnah. Antara yang mereka katakan sekarang kepada
orang yang membawa sunnah ini adalah panggilan ‘Wahhabi’. Padahal ini adalah
rekayasa saja yang digunakan untuk mengejek golongan yang hendak ikut sunnah
saja. Kita harus melihat siapakah yang pertama kali menggunakan istilah ini.
Hendaklah kita infaqkan harta kepada orang yang
memerlukan. Berilah infaq kepada masjid, fakir miskin, anak yatim, pelajar
agama dan orang yang mengajar agama. Pahala yang paling besar adalah kepada
mereka yang mengajar dan menyebar agama karena tanpa mereka, tidak ada orang
yang akan datang ke masjid, tidak ada pelajar agama dan merekalah yang
menganjurkan bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.
Tafsiran 2: Mereka yang bersifat seperti yang disebut dalam
ayat ini adalah orang yang dalam kesesatan yang nyata. Allah menggunakan
perkataan فِي untuk menunjukkan bahwa
mereka bergelumang di dalam kesesatan mereka itu. Bukan hanya dalam perkara ini
saja, tapi dalam perkara lain pun mereka sesat juga.
*****
Beberapa hal
yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah berkaitan dengan
urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar
dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi.
Oleh sebab itu, sebagian besar konsumsi akan diarahkan kepada pemenuhan tuntutan
konsumsi bagi manusia. Pengabaian terhadap konsumsi berarti mengabaikan kehidupan
manusia dan tugasnya dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsusmsi
pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling dekat di
sekitamya. Bahkan ketika manusia lebih mementingkan ibadah secara mutlak dengan
tujuan ibadah (hadits puasa dahr dan 3 orang beribadah), telah dilarang dan
diperintahkan untuk makan/berbuka. Meski demikian konsumsi Islam tidak
mengharuskan seseorang melampaui batas untuk kepentingan konsumsi dasarnya,
seperti mencuri atau merampok. Tapi dalam kondisi darurat dan dikhawatirkan
bisa menimbulkan kematian, maka seseorang diperbolehkan untuk mengkonsusmsi
sesuatau yang haram dengan syarat sampai masa darurat itu hilang, tidak
berlebihan dan pada dasarnya memang dia tidak suka.
Tujuan utama
konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada
Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan
stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu
benilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam
perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan
dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur
dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi.
Dalam konsumsi,
seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya.
Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan. Pertama,
wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan
dan tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa.
Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan
diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri
dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah
sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang
dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya
mengatakan haram.
Konsumsi bagi
seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam mentaati
Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Seoarang muslim
tidak Akan merugikan dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan kesempatan
pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsusmsinya pada tingkat melampaui
batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia sehingga
melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan ini. "Kamu telah menghabiskan
rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu telah bersenang-senang
dengannya" (Al-Ahqaf: 20). Maksud rizki yang baik di sini adalah melupakan
syukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi islam harus menjadikannya
ingat kepada Yang Maha Memberi rizki, tidak boros, tidak kikir, tidak
memasukkan ke dalam mulutuya dari sesuatu yang haram dan tidak melakukan
pekerjaan haram untuk memenuhi konsumsinya. Konsumsi islam akan menjauhkan
seseorang dari sifat egois, sehingga seoarang muslim akan menafkahkan hartanya
untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang
mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada penciptanya.
Oleh
sebab Allah telah memberi sebagian orang rezeki lebih banyak sedangkan
sesamanya ada yang lemah, ada yang tidak mempunyai kesanggupan dan kegigihan
mencari harta seperti kesanggupan yang ada pada dirinya, maka berikanlah
sebagian dari rezeki anugerah Allah itu kepada orang-orang yang patut ditolong.
Menurut
Islam, anugerah Allah itu milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan
sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu.
Hal ini tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah itu untuknya,
sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya. Anugerah yang diberikan Allah
kepada umat manusia masih berhak dimiliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
Dalam al-Qur’an Allah SWT., mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan
oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan memberikan bagian atau
miliknya.
Dalam
ayat ini Allah menyebutkan suatu segi lain dari keingkaran mereka, yaitu
keengganan mereka menyumbangkan sebagian harta benda yang telah dikaruniakan
Allah kepada mereka. Apabila kepada mereka dianjurkan menafkahkan harta bagi
kepentingan fakir miskin dan orang yang memerlukan bantuan, mereka menjawab
kepada orang-orang beriman yang menganjurkan itu: “Apa perlunya kami memberi
mereka itu makan, karena Allah dapat memberi makan bila Allah menghendaki”. Di
samping itu mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin yang suka menyumbangkan
harta benda untuk membantu fakir miskin itu adalah orang-orang yang sesat.
Alangkah
jauh pendirian mereka itu dari kebenaran. Menyumbangkan sebagian harta benda
menolong orang lain berupa sumbangan wajib, seperti zakat, maupun sumbangan
suka rela, seperti sedekah, merupakan perwujudan dari rasa syukur atas nikmat
Allah dan sekaligus menghilangkan sifat bakhil dan jiwa manusia harta benda.
Menurut ajaran Islam mempunyai fungsi sosial, bukan untuk kepentingan diri
sendiri.
Harta
benda haruslah dijadikan alat untuk mempererat tali persaudaraan dan
solidaritas serta kegotong royongan, sebab manusia takkan dapat hidup sendiri,
tanpa mengharapkan pertolongan orang lain dalam berbagai keperluan hidup,
walaupun ia seorang yang kaya raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar