Senin, 14 Maret 2016

KONSUMSI (INFAQ)




Nama              :Tika Nurulliya
Nim                 : 1414231119
Smt/Jurusan  : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata Kuliah  : Tafsir Ayat Ekonomi 


(Sikap Orang-orang Kafir terhadap Perintah Allah SWT untuk Bertaqwa dan Berinfaq dalam QS.Yaasin: 47 )

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْيَشَاءُاللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ {٤٧}
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu”, berkatalah orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?”. Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Berdasarkan Tafsir Al-Azhar:

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu” (pangkal ayat 47).
            Oleh sebab Allah telah memberimu rezeki lebih banyak sedang sesamamu ada yang lemah, ada yang tidak mempunyai kesanggupan dan kegigihan memburu harta sebagai kesanggupan yang ada pada kamu, maka berikanlah sebagian dari rezeki anugerah Allah itu kepada orang-orang yang patut ditolong, anjuran itu mereka tolak. Mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki yang diberikan Allah itu sedikit saja kepada yang patut menerima.
قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْيَشَاءُاللَّهُ أَطْعَمَهُ
“Berkatalah orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang beriman:Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?”
            Begitulah jawaban mereka untuk mengelakkan diri dari mengeluarkan sebagian hartanya, yaitu rezeki yang dilebihkan Allah kepadanya, kepada fakir dan miskin. Dia menjawab lantaran bakhilnya bahwa kami tidak perlu memberi makan orang yang faqir dan miskin itu, karena Tuhan telah memberikan jaminan makan pula untuk mereka. Mereka harus berusaha seperti usaha kami juga. Dia lupa atau tidak mau mengerti atau sengaja tidak mau peduli bahwa Allah tidaklah mentakdirkan makhluk dengan kekuatan yang sama atau sama kecerdasannya dan sama keahliannnya berfikir mencari keuntungan. Oleh sebab itu, maka di mana saja di permukaan bumi ini, keadaan hidup manusia itu berbeda-beda. Ada yang baru sedikit berusaha sudah berhasil, ada yang bersusah payah membanting tulang hasil yang didapatnya hanya sedikit sekali, tidak sepadan dengan tenaganya yang keluar. Maka kalau kiranya orang yang mempunyai kekayaan, orang yang mampu berpendirian hanya mencari keuntungan untuk diri sendiri, tidak memperdulikan keadaan orang yang melarat tidaklah akan ada hubungan kasih sayang dalam dunia ini. Padahal kerap kali rezeki banyak yang didapat oleh si kaya ialah karena pengorbanan orang yang lemah, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Adakah kamu mendapat pertolongan dan mendapat rezeki, kalau bukan lantaran orang-orang yang lemah di antara kamu?”

Maka dijelaskan diakhir ayat:
إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
“Tidak lain kamu ini, melainkan di dalam kesesatan yang nyata". (ujung ayat)
Yaitu bahwa pendirian mereka yang demikian itu adalah pendirian yang sesat. Mereka tidak hendak mencari hubungan kasih sayang dengan sesama manusia. Mereka tidak hendak memperdulikan nasib faqir dan miskin. Mereka menyangka dengan demikian mereka telah menempuh jalan yang benar, padahal itu adalah satu jalan tersesat. Karena bagaimana besarnya kekayaan harta, janganlah dilupakan bahwa bagi Tuhan mudah saja mencabut berkat dan rahmat-Nya daripada harta itu. Lalu engkau pun terpencil dari pergaulan bersama. Karena yang akan engkau dapat tidak lain daripada kutukan sesama manusia bukanlah do’a mereka agar rezeki engkau ditambah Tuhan juga.

Berdasarkan Tafsir Al-Maraghi
أَطْعَمَهُ اللَّهُ يَشَاءُ لَوْ مَنْ أَنُطْعِمُ آمَنُوا لِلَّذِينَ كَفَرُوا الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ رَزَقَكُمُ مِمَّا أَنْفِقُوا لَهُمْ قِيلَ وَإِذَا
Dan apabila dikatakan kepada mereka disuruh membelanjakan sebagian dari apa yang Allah rezekikan kepada mereka agar diberikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang melarat dari kaum Muslimin, maka mereka berkata kepada orang Islam yang meminta pembelanjaan tersebut: Sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia membuat mereka kaya dan memberi mereka makan dari rezeki-Nya. Jadi kami hanyalah menuruti kehendak Allah saja terhadap mereka.
Firman Allah swt.:
مِمَّارَزَقَكُمُ اللَّهُ
Dari apa yang Allah rezekikan kepadamu merupakan dorongan untuk membelanjakan harta, sebagaimana firman Allah swt. yang lain:
وَأَحْسَنْ كَمَاأَحْسِنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.” (Al-Qashash [28]: 77)
Dan juga merupakan peringatan tentang betapa besar dosa mereka ketika tidak menuruti perintah Allah, dan merupakan kecaman bagi mereka karena tak mau berbelas kasihan kepada sesama hamba Allah.
Kesimpulannya, bahwa mereka tidak mengagungkan Yang Maha Pencipta dan tidak berbelas kasihan kepada sesama makhluk.
Kemudian, Allah menyebutkan bahwa mereka, di samping bakhil dan kikir, juga mengecam orang yang menyuruh membelanjakan harta dan menuduhnya sebagai orang yang sesat secara nyata yang tidak diragukan lagi. Firman Allah swt.:
إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
Tidakkah kalian ketika diserukan, “Belanjakanlah sebagian dari apa yang Allah rezekikan kepadamu untuk diberikan kepada orang-orang miskin di antara kamu,” (lalu kamu menolak). Dan kalian dalam kesesatan yang nyata dan jauh dari jalan yang benar bagi siapa pun yang mau berpikir dan memperhatikan.
Hal ini merupakan alasan bagi orang-orang bakhil pada setiap zaman dan tempat. Karena, anda lihat mereka senantiasa mengatakan, “Kami takkan memberi kepada orang yang tidak diberi oleh Allah.” Kata-kata seperti itu semata-mata kedustaan mereka saja. Karena Allah memang membuat kaya sebagian makhluk-Nya dan sebagian lainnya. Dia membuat fakir sebagian cobaan dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan juga karena sebab-sebab yang kita tidak mengetahuinya, bukan karena kebakhilan Allah. Dan bila Allah menyuruh kepada orang-orang kaya agar membelanjakan harta kepada orang-orang fakir, maka hal itu bukanlah karena Allah membutuhkan kepada harta mereka. Akan tetapi Allah hendak mencoba mereka dan melihat apakah mereka mematuhi perintah dan menunaikan kewajiban atau berpaling dan berbalik meninggalkan perintah tersebut.
Dan tidak seorang pun berhak menentang kehendak Tuhannya karena dia tidak tahu sebab-sebab dari apa yang dia saksikan dan dia lihat di alam semesta ini.

Berdasarkan Tafsir Ibnu Katsir:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْيَشَاءُاللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ {٤٧}
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu”, berkatalah orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?”. Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
لَهُمْ قِيلَ وَإِذَا
“Dan bila dikatakan kepada mereka” (yaitu orang-orang munafik); salah satu sifat orang-orang munafik itu adalah mereka amat susah untuk sedekah kepada agama. Apabila kita ingin tahu bahwa kita termasuk orang munafik atau tidak, apabila datang orang meminta sedekah kepada kita, dan kita tidak mau memberi sedekah, maka demikian ada ciri-ciri munafik dalam diri kita. Bangsa Melayu ini sedikit sulit dalam memberi sedekah jika dibandingkan orang Arab. Jika kita lihat orang Arab, mereka memberi sedekah seperti orang yang tidak takut akan jatuh miskin.

اللَّهُ رَزَقَكُمُ مِمَّا أَنْفِقُوا
“Infakanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu”; Allah lah yang sebenarnya memberi rezeki kepada kamu. Sebenarnya kamu tidak ada rezeki, tapi Allah telah memberikan rezeki yang banyak kepada kita. Tapi, banyak yang berat tangan untuk bersedekah atau infak kepada orang lain. Padahal, yang Allah perintahkan memberi itu pun dari rezeki yang Dia beri. Bukan kita sendiri yang mendapatkan rezeki itu. Apabila Allah tidak memberikan rezeki kepada kita, kita tidak memiliki apa pun.
Apabila telah ada Iman dalam diri kita, secara otomatis kita akan senang untuk berbuat amal kebaikan. Iman bukan hanya dalam perkara Ibadah saja, solat, puasa, haji dan sebagainya. Tapi Iman juga menyuruh kita untuk berbuat kebaikan untuk manusia lain. Islam tidak memisahkan amal ibadah untuk diri kita dan juga menolong orang lain juga. Konsep kebajikan dalam Islam diterangkan dengan jelas dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah: 177
لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمُشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّمَنْ اَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَالْمَلَئِكَةِ وَالْكِتَبِ والنَّبِيِّنَ‌‌‍،  وَاَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمى وَالْمَسَكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ، وَالسَّآئِلِيْنَ وَفِى الرِّقَابِ،  وَاَقَامَ الصَّلَوةَ وَاَتَى الزَّكَوةَ، وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَاعَاهَدُوْاوَالصَّبِرِيْنَ فِى الْبَأْ سَآءِوالضَّرَّآءِوَحِيْنَ الْبَأْسِ،  اُولَئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا، وَاُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ  {١٧٧ }
Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
            Ini adalah kata-kata nasihat yang diberikan kepada mereka. Tapi bagaimana pula balasan mereka?
 كَفَرُوا الَّذِينَ قَالَ
“Berkata orang-orang kafir munafik itu”; mereka dipanggil kafir karena walaupun mereka mereka mengucap syahadat di depan Nabi, tapi sebenarnya hati mereka dalam kekafiran. Mereka nanti akan masuk neraka kekal di dalamnya.
آمَنُوا لِلَّذِينَ
“Kepada orang-orang yang beriman”,
أَطْعَمَهُ اللَّهُ يَشَاءُ لَوْ مَنْ أَنُطْعِمُ
“Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?”; Mereka berkata mendapat rezeki dari Allah juga, harusnya Allah juga yang memberi rezeki kepada orang itu. Jadi mereka berkata kepada orang yang meminta itu untuk minta sendiri kepada Tuhan, bukan kepada mereka. Jadi ayat ini bukan hanya ditunjukan kepada orang dulu saja, tapi kepada orang zaman sekarang juga.
Lihatlah hujjah mereka. Mereka menggunakan logika akal. Mereka berkata, kalau Allah telah memberi rezeki kepada mereka, tentulah Allah pun boleh juga untuk memberi rezeki kepada orang yang susah itu? Begitulah tanda orang-orang munafik. Mereka akan memberikan hujjah akal untuk menolak dari melakukan kebaikan. Otak mereka pandai, tapi iman mereka kurang. Kita akan banyak menemui orang yang seperti ini. Mereka pandai berhujjah saja, tapi hujjah mereka itu adalah hujjah-hujjah akal yang mengikuti hawa nafsu mereka saja. Kepada orang-orang seperti ini, kita berikan hujjah-hujjah al-Qur’an kepada mereka. Kalau mereka tidak mau terima, ingatkan mereka celaka yang akan mereka terima seperti apa yang telah disebut dalam surah ini. Kalau mereka tidak mau terima, bermakna Allah masih tidak memberi hidayah kepada mereka. Memang dari zaman dahulu sampai sekarang, akan ada manusia yang bersifat seperti ini.
Apabila kita tidak dapat memberi sumbangan kepada peminta sedekah, hendaklah kita minta maaf kepada mereka, jangan menghina dan mengusirnya. Walaupun mungkin kita tahu dia golongan orang yang mengambil kesempatan. Kita dilarang untuk berkata hina kepada orang yang meminta. Kita harus bisa menjaga ucapan kita. Memanglah orang-orang yang meminta sedekah itu memang ada masalah pada diri mereka sendiri. Dalam hadits dikatakan bahwa di Mahsyar nanti, akan luruh muka mereka karena mereka semasa di dunia meminta sedekah. Kita harus berkata kepada mereka dengan lembut. Mungkin ada penyakit putus asa pada diri mereka.. Ataupun mereka itu mungkin kaki judi dan sebagainya. Tidak perlu kita membuka rahasai mereka, tidak perlu kita mencari pa salah mereka, itu bukan tugas kita. Kita sebagai orang yang berpengetahuan, kita jangan berbuat seperti itu.
Allah lah yang menentukan rezeki kepada kita. Ada yang hanya usaha sedikit, tapi dikaruniakan rezeki yang banyak. Ada yang susah bekerja, bermalas-malasan setiap hari, tapi hanya kesakitan yang mereka dapatkan. Itu semua adalah anugerah dari Tuhan. Ikuti perintah Allah akan memberi beberapa banyak kepada seseorang itu, kita tidak boleh mempersoalkannya. Memang sudah seperti itu seharusnya, kita tidak boleh berbangga diri jika kita orang yang berharta. Ada yang memang Allah beri rezeki yang sedikit kepada mereka. Mungkin ada sebab kenapa Allah berbuat seperti itu. Mungkin kita orang yang tidak berharta karena Allah tahu jikalau diberikan harta yang banyak kepada kita, kita akan menjadi orang yang tidak baik. Maka bersyukurlah dengan apa saja yang kita miliki.


مُبِينٍ ضَلالٍ فِي إِلا أَنْتُمْ إِنْ
“Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”; Siapakah yang berkata dalam ayat ini? Ada dua penafsiran. Samada yang berkata itu adalah orang-orang munafik itu sebagai menguatkan hujjah mereka, atau ianya adalah jawaban Allah kepada orang-orang yang bersifat munafik seperti mereka itu:
Tafsiran 1: Ayat ini dulu dikatakan oleh orang munafik kepada Nabi Muhammad dan pengikutnya. Sekarang kata-kata ini dikatakan kepada orang-orang yang mengikuti sunnah. Antara yang mereka katakan sekarang kepada orang yang membawa sunnah ini adalah panggilan ‘Wahhabi’. Padahal ini adalah rekayasa saja yang digunakan untuk mengejek golongan yang hendak ikut sunnah saja. Kita harus melihat siapakah yang pertama kali menggunakan istilah ini.
Hendaklah kita infaqkan harta kepada orang yang memerlukan. Berilah infaq kepada masjid, fakir miskin, anak yatim, pelajar agama dan orang yang mengajar agama. Pahala yang paling besar adalah kepada mereka yang mengajar dan menyebar agama karena tanpa mereka, tidak ada orang yang akan datang ke masjid, tidak ada pelajar agama dan merekalah yang menganjurkan bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.
Tafsiran 2: Mereka yang bersifat seperti yang disebut dalam ayat ini adalah orang yang dalam kesesatan yang nyata. Allah menggunakan perkataan فِي untuk menunjukkan bahwa mereka bergelumang di dalam kesesatan mereka itu. Bukan hanya dalam perkara ini saja, tapi dalam perkara lain pun mereka sesat juga.


*****

Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah berkaitan dengan urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh sebab itu, sebagian besar konsumsi akan diarahkan kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Pengabaian terhadap konsumsi berarti mengabaikan kehidupan manusia dan tugasnya dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsusmsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling dekat di sekitamya. Bahkan ketika manusia lebih mementingkan ibadah secara mutlak dengan tujuan ibadah (hadits puasa dahr dan 3 orang beribadah), telah dilarang dan diperintahkan untuk makan/berbuka. Meski demikian konsumsi Islam tidak mengharuskan seseorang melampaui batas untuk kepentingan konsumsi dasarnya, seperti mencuri atau merampok. Tapi dalam kondisi darurat dan dikhawatirkan bisa menimbulkan kematian, maka seseorang diperbolehkan untuk mengkonsusmsi sesuatau yang haram dengan syarat sampai masa darurat itu hilang, tidak berlebihan dan pada dasarnya memang dia tidak suka.
Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu benilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya. Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan. Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.
Konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam mentaati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Seoarang muslim tidak Akan merugikan dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsusmsinya pada tingkat melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia sehingga melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan ini. "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya" (Al-Ahqaf: 20). Maksud rizki yang baik di sini adalah melupakan syukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi islam harus menjadikannya ingat kepada Yang Maha Memberi rizki, tidak boros, tidak kikir, tidak memasukkan ke dalam mulutuya dari sesuatu yang haram dan tidak melakukan pekerjaan haram untuk memenuhi konsumsinya. Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dari sifat egois, sehingga seoarang muslim akan menafkahkan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada penciptanya.
Oleh sebab Allah telah memberi sebagian orang rezeki lebih banyak sedangkan sesamanya ada yang lemah, ada yang tidak mempunyai kesanggupan dan kegigihan mencari harta seperti kesanggupan yang ada pada dirinya, maka berikanlah sebagian dari rezeki anugerah Allah itu kepada orang-orang yang patut ditolong.
Menurut Islam, anugerah Allah itu milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu. Hal ini tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah itu untuknya, sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya. Anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia masih berhak dimiliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam al-Qur’an Allah SWT., mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan memberikan bagian atau miliknya.
Dalam ayat ini Allah menyebutkan suatu segi lain dari keingkaran mereka, yaitu keengganan mereka menyumbangkan sebagian harta benda yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka. Apabila kepada mereka dianjurkan menafkahkan harta bagi kepentingan fakir miskin dan orang yang memerlukan bantuan, mereka menjawab kepada orang-orang beriman yang menganjurkan itu: “Apa perlunya kami memberi mereka itu makan, karena Allah dapat memberi makan bila Allah menghendaki”. Di samping itu mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin yang suka menyumbangkan harta benda untuk membantu fakir miskin itu adalah orang-orang yang sesat.
Alangkah jauh pendirian mereka itu dari kebenaran. Menyumbangkan sebagian harta benda menolong orang lain berupa sumbangan wajib, seperti zakat, maupun sumbangan suka rela, seperti sedekah, merupakan perwujudan dari rasa syukur atas nikmat Allah dan sekaligus menghilangkan sifat bakhil dan jiwa manusia harta benda. Menurut ajaran Islam mempunyai fungsi sosial, bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Harta benda haruslah dijadikan alat untuk mempererat tali persaudaraan dan solidaritas serta kegotong royongan, sebab manusia takkan dapat hidup sendiri, tanpa mengharapkan pertolongan orang lain dalam berbagai keperluan hidup, walaupun ia seorang yang kaya raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar