Novia Habibah Yuniarti
Perbankan Syariah 3/ semester 4
Tafsir ayat ekonomi
Utang
piutang dan proses pencatatan pembukuan (Akuntansi)
Pembahasan:
يَآأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ
أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ
الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن
يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن
رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن
تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا
اْلأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ
تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُُ وَلاَ
شَهِيدُُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ
اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُُ {282}* وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ
تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ قَلْبُهُ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمُُ {283}
Al-Baqarah Ayat 282-283Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[179]
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
[180]
Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya
mempercayai
1. Asbabunnuzul
Asbaunnuzul QS Al-baqarah ayat 282 pada waktu itu
Rasulallah datang ke madinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa
menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu
Rasulallah bersabda “Barang siapa menyewakan (mengutangkan) suatu hendaklah
dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dalam jangkawaktu yang tertentu
pula” sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat 282 sebagai perintah
apabila mereka utang piutang maupun bermuamalah dalam jangka waktu tertentu
hnedaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Untuk menjaga terjadinya
sengketa sewaktu-waktu yang akan datang (HR. Bukhori dari Sofwan Bin Umayyah
dari Ibnu Abi Najjah dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari Ibbnu Abbas)
2.
Tafsiran Fi-zhilalil Qur’an karya Sayyid Qutbh
Surah Al-abaqarah ayat 282 ketentuan hutang piutang,
mengantisipasi semua kemungkinan yang adapat muncul dari kedua belah pihak yan
melakukan transaksi , dari para saksi dan juru tulis.
a. Seorang
yang ditunjuk tunjuk menuliskan hutang piutang itu dianggap juru tulis. Juru
tulis ini tidak boleh diambil dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Hikmah penunjukan pihak ketiga untuk menjadi juru tulis adalah untuk menjamin
kenetralannya. Juru tulis itu diperintahkan untuk berlaku adil dan benar.,
tidak boleh berpihak, serta tidak boleh mengurangi atau menambah teks yang
perlu dituliskan. Penugasan itu datangnya dari Allah, agar sang juru tulis
tidak bermalas-malasan, enggan dan merasa berat tugas yang diembannya. Tugas itu
merupakan beban yang datangnya dari Allah, sehingga kelak juga akan
diperhitungkan-Nya, diaman ia telah mengajarkan juru tulis itu bagaiman cara
menulis. Kerena itu, hendaklah menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya.
b. “Maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimalkannya/ mendiktakannya
(apa yang akan ditulis itu) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah (Keadaannya) atau ia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya mengimlakkan denagn jujur. . . “Orang
yang berhutang, artinya punya kewajiban untuk membayar, dialah yang
mengimlakannya kepada juru tulis pengakuannya atas hutang tersebut, seperti
besarnya hutang, persyaratan dan masa jatuh temponya. Hal ini ntuk
mengantisipasi penipuan kalau yang mengimlakkan itu orang yang punya piutang.
Mungkin saja dia menambah jumlah hutang, atau mempercepat jatuh tempo tidak berani menyatakan
ponalaknnya atas bebrapa tambahan itu karena tidak ingin menggangu kelancaran
transaksi. Bila orang yang berhutang bodoh dan tidak mampu mengurus urusannya
sendiri atau, lemah karena masih kecil, atau lemah akal, atau tidak mampu
mendiktekan, baik karena bodoh atau karena cacat pada lidah, fisik mauoun
mental. Disitulah dibutuh kan perjanjian
yang harus disaksikan oleh dua orang yang kamu sukai dan yang adil, Baik
laki-laki ataupun perempuan. Bial tidak didapatkan dua laki-laki, maka
boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Mengapa demikian? Karena
dikhawatirkan pengalaman perempuan dalam permasalahan perjanjian sehingga dia
tidak memahamiseluruh rincian yang terdapat dalam perjanjian itu. Jadi memenuhi
panggilan untuk memberikan kesaksian adalah suatu kewajiban, bukan sukarela.
Hal ini merupakan sarana untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan
kebenaran.dalam proses persaksian harus dituliskan karena jauh lebih kuat
ketimbang kesaksian lisan. Sementra itu kesaksian dua orang laki-laki dan
seorang laki-laki dan dua oran perempuan jauh lebih kuat dan lebih abash.
c. Apabila
perdagangan dan jual beli yang dilaksanakan secara tunai, maka tidak perlu
dituliskan cukup disaksikan beberapa orang saja. Hal ini untuk memudahkan proses
transaksi perdagangan yang sering menghadapi kerumitan, berlangsung dengan cepat,
dan
berulang-ulang dalam waktu singkat. Juru tulis dan saksi tidak boleh ditimpa
sesuatu melaksanakan tugas yang dibebankan Allah kepadanya. Bila dia ditimpakan
sesuatu yang menyulitkan, maka telah terjadi peanggaran kesepakatan. Persiapan
seperti ini perlu dilakukan karena si juru tulis dan saksi sering terancam oleh
kemarahan
dan kecaman salah satu pihak yang melakukan transaksi atau kontrak perjanjian.
Adanya jaminan ketenangan untuk mereka dan dorongan untuk melaksanakan tugasnya
dengan baik dan netral. Dan apabila pihak penghutang dan pihak yang berhutang
tidak menemukan juru tulis, maka untuk
mempermudah transaksi dan untuk menjamin
keberlangsungan dengan baik, Allah memberikan keringanan, sehingga boleh
melakukan perjanjian secara lisan dengan menyerahkan agunan (jaminan) kepada
pihak pemberi hutang.
3.
Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka[1]
a.
“Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu mengadakan
suatu perikatan utang piutang buat di penuhi suatu masa yang tertentu, maka
tulislah dia (Pangkal Ayat 282) tujuan ayat ini, yaitu kepada sekalian orang
yang beriman kepada Allah, supaya utang piutang ditulis, itulah dia yang berbuat
sesuatu pekerjaan “karena Allah”, karena perintah Allah di laksanakan. Sebeb
itu tindakan layak, karena berbaik hati kedua belah pihak, lalu berkata tidak
perlu dituliskan, karena kita sudah percaya dan mempercayainya. Padahal umur kedua
belah pihak sama-sama di tangan Allah. Si A mati dalam berhutang, tempat
berhutang menagih kepada warisnya yang tinggal, si waris bisa mengingkari
hutang itu karena tidak ada surat perjanjian.
b.
“Hendaklah menulis diantar kamu seseorang penulis dengan
adil” penulis yang tidak berpihak-pihak, yang mengetahui, menuliskan apa-apa
yang minta dicatatkan oleh kedua belah pihak yang berjanji dengan selengkapnya.
Kalau hutang uang kontan, hendaknya sebutkan jumlahnya dengan terang, apabila
memakai agunan hendaknya tuliskan dengan jelas apa-apa barang-barang yang
digunakan itu.
c.
“dan janganlah enggan seorang penulis menuliskan sebagai
yang telah di ajarkan oleh Allah”. Kata-kata ini menunjukan pula bahwa si
penulis itu jangan semata-mata pandai menulis saja, selain dari adil hendaklah
ia mematuhi peraturn-peraturan Allah yang berkenan dengan urusan hutang
piutang. Misalnya tidak boleh ada riba, tetapi sangat dianjurkan ada qordhon
khasanah, yaitu ganti kerugian yang layak. Seumpama hidup kita di zaman
seakan-akan uang kertas yang harganya tidak tetap, sehingga orang menjamin uang
yang lamanya satu tahun, nyata sekali merugikan orang yang meminjamkan. Niscaya
si penulis ada juga hendaknya kembali kepada hukum-hukum peraturan Allah.
Sekali-kali penulis tidak boleh si penulis itu enggan menuliskannya. Meskipun
pada mulanya hal yang akan dituliskan ini kelihatannya kecil saja, padahal di
belakang hari bisa menjadi perkara besar. “maka hendaklah ia menuliskan”
kata-kata ini sebagai ta’kid menguatkan lagi perintah yang telah di uraikan di
atas.
d.
“dan hendaklah merencanakan orang yang berkewajiban
atasnya” yang berkewajiban atasnya ialah terutama si berhutang dan si piutang
atau seumpama si pengupah pembuat rumah kepada tukang atau pemborong membuat
rumah itu.
e.
“dan hendakalah takut kepada Allah, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun dari padanya”. Akhirnya menjelaskan bunyi perjanjian
kedua belah pihak yang akan di tulis oleh penulis hendaklah dengan hati jujur
dengan ingat kepada Allah, jangan sampai ada yang di kurangi, karena misalnya
salah penafsiran karena memang di sengaja hendak mencari jalan membebaskan diri
dengan cara yang tidak jujur.
f.
Dari hal Wali: “maka jika orang yang berkewajiban itu
seseorang yang safih yang lemah atau tidak sanggup merencanakan, maka hendaklah
walinya merencanakan dengan adil, dalam kata ini terdapat tiga macam orang yang
bersangkutan, tidak bisa turut menyusun surat perjanjian. Pertama orang safih,
kedua dhaif, ketiga tidak sanggup. Orang safih adalah orang yang tidak pandai
mengatur harta bendanya sendiri, baik kerena boros maupun bodoh. Dalam hukum
islam, hakim berhak memegang harta bendanya dan memberinya belanja hidup dari
harta itu. Karena kalau diserahkan kepadanya, beberapa waktu saja akan habis.
Orang dha’if (lemah) ialah anak kecil yang belum mumayyiz atau oang tua yang
lemah ingatannya, atau anak yatim kecil yang hidup dalam asuhan orang lain.
Orang yang tidak sanggup membuat rencana ialah orang yang bisu atau gagap, atau
gagu. Pada orang-orang yang seperti 3 macam itu hendaklah walinya, yaitu
penguasa yang melindungi meraka tampil kemuka menyampaikan rencana-rencana yang
mesti di tulis kepada penulis tersebut dan si wali wajib bertindak yang adil.
g.
Dari hal dua saksi: “dan hendaklah adakan dua saksi dari
laki-laki kamu “. disini dijelaskan dua orang laki-laki, meskipun tidak
disebutkan bahwa kedua saksi itu mesti adli. Dengan sendirinya tentulah dapat
dipahamkan bahwa tentunya keduanya adil, kalau ada penulis dan wali sudah di
syaratkan berlaku adil. Dalam kata syahid sudah terkandung makna bahwa kedua
saksi itu hendaklah benar-benar menegtahui dan meyaksikan perkara yang tengah
dituliskan itu, jangan hanya semata-mata hadir saja, sehingga kalau perlu
diminta keterangan dari mereka belakangan hari, mereka sanggup menjelaskan
sepanjang yang mereka ketahui. Ahli-ahli fiqih pun membolehkan mengambil saksi yang
bukan beagama islam, asal dia adil an jujur, dan mengetahui duduk perkara yang
di tuliskan menegnai perjanjian itu.
h.
“tetapi jika tidak ada dua laki-laki, maka (belohlah)
seorang laki-laki dan dua perempuan, diantara saksi-saksi yang kamu sukai”.
Yaitu yang disuakai atau di setujui karena di percaya kejujuran dan kelalaian
mereka. Tetapi meskipun banyak lelaki, padahal mereka tidak disukai, bolehlah
diminta menjadi saksi dua orang perempuan yang disukai akan ganti dari seorang
saksi laki-laki, ialah: “supaya jika seseorang diantara kedua (perempuan) itu
keliru, agar diperingatkan oleh seorang lagi”. Dalam hal ini, oleh
golongan-golongan lain yang tidak menyukai peraturan islam di timbulkan tuduhan
bahwa silam tidak memberi hak sama terhadap kaum perempuan dan kaum lelaki.
Megapa dalam kesaksian ini ganti seorang laki-aki tidak seorang perempuan?
Mengapa mesti berdua padahal soal ini bukanlah perkara ahak yang sama,
melainkan perkara pengetahuan tentang perkara yang di hadapi ini tidaklah sama
di antara laki-laki dan perempuan. Sebab urusan hutang piutang, sebagai gadai
rungguhan dan aguanan kontrak sewa menyewa dan sebagainya, pada umumnya lebih
jelas oleh orang laki-laki dai pada perempuan, sebab hal itu telah dihadapi
tiap hari. Tetapi urusan yang halus-halus dalam urusan masakan, rumah tangga
lebih teliti lebih berpengetahuan perempuan dari pada laki-laki. Oleh sebab itu
mereka terpaksa diambil menjadi saksi dalam perkara ini, lebih baik berdua,
supaya yang satu dapat mengatakan yang lain, dalam perkara yang dia kurang
begitu jelas. Adapun dalam mempertahankan kehormatan dan kemulyaan diri,
samalah hak perempuan degan laki-laki. Yaitu kalau suaminya menuduhnya berzina
(qadzaf), si suaminya wajib bersumpah li’an empat kali, dan yang kelima besedia
di laknat Allah kalau dia berbohong, bahwa memang istrinya berzina. Dan si
perempuan bebas dari tuduhan itu jika dia bersumpah bahwa dia tidak berbuat
sebagai yang di tuduhkan suaminya itu sampai emapat kali pula, dan yang
kelimanya bersedia menerima murka tuhan kalau ia berbohong dan suaminya itulah
yang benar. Orang yang mengorek-ngorek itu terpaksa diam menutup mulutnya kalau
hal ini kita kemukakan, padahalia tidak dapat mengemukakan mana dia jaminan
yang jauh lebih bagus daripada jaminan islam itu kepada kaum perempuan, di
dalam agama yang mereka peluk.
i.
“dan janganlah enggan saksi-saksi apabila mereka diundang
“jadi saksi”. Maka apabila sasksi diperlukan, terutama dalam perumpaan mengikat
janji dan memebuat surat, janganlah hendaknya mereka enggan kalau menurut
pengetahuannya ada lagi orang lain yang lebih tahu duduk soal dari pada dirinya
sendiri. Adapun kalau di kemudian hari terjadi kekacauan, padahal umumnya sudah
turut tertulis menjadi saksi, sedang dia tidak berhalangan buat datang, tentu
salahnya dia sendiri.
j.
“dan janganlah kamu jemu menuliskannya, kecil ataupun
besar, buat di penuhi masanya”. Karena sebagian kita katakan diatas tadi,
kerapkali hal yang pada mulanya yang disangka kecil kemudian hari ternyata
syukur dia telah tertulis, karena dia termasuk soal yang besar dalam rangkaian
perjanjian itu. “yang demikian itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan lebih
teguh untuk kesaksiannya., dan yang lebih dekat untuk tidak ada keragu-raguan.
“dengan begini, maka keadilan disisi oleh terpelihara baik, sehingga tercapai
yang benar-benar karena Allah, dan apabila belakangan hari perlu. Kecilnya
perjanjian yang ada satu hal yang tidak boleh terabaikan. Yaitu dengan Tuhan,
baik si penulis atau oleh saksi-aksi, oleh wali yang meawakili mereka yang
tidak dapat mengemukakan rencana tadi, apabila bagi pihak yang utang piutang
keduanya Insya Allah urusan ini tidak akan syukar, tidaka akan ada kesulitan di
belakang hari, jika ada kesulitan tuhan akan memebri petunjuk janlan yang baik.
Tetapi kalu taqwa sudah hilang dari salah satu pihak, mudah sajalah mengacaukan
hutang piutang yang telah di tuliskan itu, “ dan Allah atas tiap-tiap sesuatu
adalah maha mengetahui” (Ujungsurah Al-baqarah ayat 282). Oleh sebab itu maka
kepada Allah janganlah henaknya didasarkan segala urusan dan perjanjian, dan
selamatkan masyarakat yang dasar perjanjiannya ialah ingat kepada Allah, Allah
yang mengetahui akan segala gerak-gerik kita.
k.
“Dan jika kamu didalam perjanjian (Pangkal ayat 282) di
dalam musyafir, “Sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah
kamu pegang barang-barang agunan”. Artinya, pertama; maka ketika berada di
ruamah atau diperjalanan, hendak perjanjian hutang piutang dituliskan. Tetapi
kalau terpaksapenulis tidak ada atau sama-sama terburu di jalanan diantara
berhutang dan yang berpiutang maka ganti menulis, peganglah oleh yang memeberi
hutang itu agunan atau gadaian sebagai jaminan uang yang di pinjamkan itu.
“tetapi jika percaya setengah kamu akan yang setengah, maka hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah”. Misalanya si fulan berhutang kepada temannya yaitu Rp.
1.000, janji hendak dibayar dalam masa tiga bulan, dan untuk penguat janji
digadaikan sebetuk cincin yang biasanya harganya lebih dari jumlah hutangnya.
Maka hendaklah kedua belah pihak memenuhi janji. Yang berhutang hendaklah
segera sebelum samapai tiga bulan sudah membayar habis hutangnya, yang menerima
gadaian hendaklah jangan sekali-kali merusak amanat, lalu menjual habis janji
atau mencari dalih macam-maca. Keduanya memegang amanat dan hendaklah keduanya atau
salah satunya darinya jangan dipesongkan oleh syetan kepada niat yang buruk
“Dan janganlah kamu sembunyikan kesaksian”. Satu peringatan kepada orang lain
yang menjadi saksi ketika menjadi perkara, baik perkara yang timbul sesudah ada
surat perjaanjian perkara yang timbul dari gadai-menggadai dengan tidak memakai
surat, bahwa alam saat yang demikian haramlah bagi saksi itu menyembunyikan
kesaksian, hendaklah dia turut menyatakan hal yang sebenarnya yang diketahuinya
dengan adil. “maka barang siapa yang menyumbinyikan kesaksian itu, maka
sesungguhnya telah berdosalah hatinya”. Artinya telah bersembunyi dalam jiwanya
suatu yang tidak jujur yang kelak akan mendapat tuntutan di hadapan Allah”. Dan
Allah maha mengethui apa yang kamu kerjakan” (ujung ayat 283).
A. Tafsir ayat hukum
Kedua
ayat tersebut (QS.2: 282-283) mengandung tuntunan dan bimbingan
1.
Ayat ini di tunjukan kepada kaum yang beriman kepada
Allah dan Rasulnya-Nya yang yang mengadakan hubungan baik dengan Allah.
2.
Sekiranya menjadi transaksi jual beli atau pinjaman,
hendaknya dikemukakan syarat-syarat pembayarannya, termasuk waktu
pembayarannya.
3.
Dalam mengadakan transaski ini hendaknya dilaksanakan secara
tertulis, dan diperkuat oleh dua orang saksi. Hal seperti itu untuk menjamin
jangan sampai terjadi kekeliruan dan lupa, baik menegnai besar kecilnya hutang
ataupun waktu menunaikan hutang. Dengan demikian terpenuhilah syarat-syarat
yang dibolehkan oleh syara’ (hukum islam)
4.
Penulis dan saksi diangkat dalam urusan utang piutang ini
hendaknya
a.
Bersifat adil dan dapat dipercaya, sehingga tidak terjadi
penambahan atau pengurangan syarat-syarat yang telah di tetapkan oleh kedua
belh pihak dengan maksud-maksud tertentu.
b.
Dapat berbicara lancar, cerdas memahami hukum-hukum fiqh
serta dapat menulis dengan mudah difahami.
c.
Hasil tulisanya dapat disetujui oleh kedua belah pihak sehingga
apabila diajukan ke pengadilan manapun tidak mungkin dibatalkan hasil perjanjian
itu.
d.
Tidak boleh mengabaikan salah satu syarat yng telah
ditetapkan oleh kedua belah pihak sehingga menimbulkan kerugian yang
bersangkutan
e.
Yakin akan kesaksiaanya serta tidak bermaksud mencari
keuntungan pribadi dari kesaksian itu yang dapat menimbulkan kerugian bagi
orang lain.
f.
Tidak bleh meyebabkan penulis dan saksi itu memperoleh kemudhorotan
karena kesaksiannya
g.
Tidak dalam keadaan bersengketa atau bermusuhan dengan
yang bersangkutan
h.
Tidak ada ikatan kasih sayang yang menyebelah, kekeluargaan
ataupun persahabatan
5.
Orang yang minta jadi menulis telah memenuhi syarat-syarat
penulis. tidak dibenarkan menolak diangkat menjadi penulis, dalam usaha
membantu sesama muslim dan sebagai pernyataan syukur kepada Allah yang telah
memberikan ilmu tulis-menulis kepadanya.
6.
Dan yang mengadakan transaksi dan berhak mengadakan
peranjian, hendaknya mendiktekan syarat-syarat transaksi itu untuk ditulis oleh
penulis yang diminta sehingga melukiskan kehendak kedua belah pihak.
7.
Dalam membuat perjanjian, kedua belah pihak hendaknya
bertaqwa kepada Allah dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah. Serta tidak menyeleweng dari ketetapan hukum itu. Dalam perjanjian
itu hendaknya jelas dituliskan pengakuan utang piutang yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.
8.
Kedua belah pihak tidak dibenarkan merugikan yang lain
dan menyimpang syarat-syarat yang telah disepakati bersama.
9.
Bagi mereka yang kurang mampu berfikir atau lemah karena
terlalu tua, sakit, belum baligh, atau tidak mampu mendiktekan keinginannya
yang harus dipenuhi kedua belah pihak, hendaknya mengangkat wali yang dapat
mewakilinya.
10. Adapun wali yang
diangkat itu hendaknya bersifat adil dan bertanggung jwab sehingga tidak
merugikan yang diwakilinya.
11. Allah menetapakan
Allah menetapkan perlunya saksi dalam transaksi utang piutang itu untuk menjaga
jangan sampai terjadi perselesihan dikemudian hari. Tanpa saksi yang satu
mungkin akan mengingkari perjanjian telah disepakati bersama.
12. Saksi yang diminta
hendaknya terdiri atas 2 orang laki-laki yang sudah baligh, muslim, dan bukan
orang belian, setidaknya tidak didapatkan 2 orang saksi pria yang memenuhi
syarat, hendaknya mengangkat seorang pria baligh, muslim dan bukan orang
belian, dan 2 orang saksi wanita baligh, muslimah, dan bukan orang belian yang
dapat saling mengingatkan diantara keduanya sehingga tidak terjadi kelelapan.
Dengan demikian saksi tersebut terdiri dari 3 orang yang diridhoi oleh Allah
13. Saksi yang penulis
diamana tidak dibenarkan merubah kesaksian ataupun menuliskan semua syarat-syarat
yang diminta oleh kedua belah piahk baik piutang yang kecil atau yang besar.
14. Apabila terjadi
transaski kontan, tidaklah diperlukan catatan ataupun tulisan sehingga tidak
menjadi beban bagi kedua belah pihak. Dalam transaksi kontan, jarang sekali
kericuhan yang menyebabkan timbulnya pertengakaran antara berbagai pihak akibat
ketidaksepaktian
15. Allah SWT
mengetahuai atas segala perilaku hambanya, baik yang dzahir ataupun yang batin
dan Allah selalu memeberikan tuntunan kepada hamba-hambanya bagi kemaslahatan
hidup dan akhirat
16. Sekiranya terjadi
transaksi dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis atau alat tulis,
hendaknya disiapkan barang bukti jaminan, sebagai saksi dan tulisan
17. Bagi mereka yang
telah dapat dipercaya dana saling mempercayai sesamanya, dapat diadakan
transaski tanpa barang jaminan. Akan tetapi orang yang dimintai itu (kedua
belah pihak) hendaknya benar-benar menunaikan amanatnya berdasarkan sikap taqwa
kepada Allah, sehingga tidak tertulis dalam batinya untuk mengingkari dan
menghianati janjinya.
18. Allah SWT
memperkeras larangannya berkenan dengan penggelapan kesaksian. Penggelapan
kesaksian ini dapat menyebabkan hilangya harta benda bahkan dapat menyebabkan
hilangnya harta benda bahkan menimbulkan kehilangan nyawa.
19. Mereka yang
mencoba-coba menggelapakan kesaksian, akan tersiksa batinya dan akan terganggu
keharmonisan dirinya.
B. Penjelasan mengenai
utang piutang dari sudut padang Fiqh
Utang piutang adalah suatu bentuk pinjaman antara dua
pihak. Pihak pertama meminjamkan sejumlah harta kepada pihak kedua yang
membutuhkan harta dengan perjanjian akan di kembaliakan dengan harta yang sama
ketika waktu meminjam.
Qardh secara bahasa berasal dari kata qarada yang
sinonimnya: Qatha’a artinya memotong. Dikatakan demikian karena orang
yang memberikan hutang memotong sebagian hartanya untu diberikan kepada oarang
yang menerima hutangnya (Muqhtaridh).
Secara etimologis Qardh merupakan bentuk mashdar dari Qaradha
asy-syai’-yaqridhuhu yang berarti ia memutuskannya. Dikatakan Qaradha
asy-syai’bil-miqradh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa pendapat
dari para tokoh, diantaranya adalah:
a.
Menurut hanafiah, qardh adalah harta yang diberikan
kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan.
Atau dengan ungkupan lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk
meyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimnya
b.
Menurut Sayyid Sabiq, Qardh adalah harta yang diberikan oleh
pemberi hutang (Muqridh) kepada penerima hutang (muqtharid) untuk kemudian
dikembaliakn kepadanya (Muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah
mampu membayarnya.
c.
Menurut Syafi’iyyah Qardh adalah istilah syara diartikan
dengan sesuatu yang diberikan keada orang lain (pada suatu saat akan
dikembalikan kepada orang lain)[2]
d.
Menurut hanabillah, qardh adalah memberikan harta kepada
orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikannya penggantinya
Sedangkan
menurut ii ensiklopedi fiqh muamalah dalam pandangan empat maddzhab, qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfatkan dan mengembalikn
gantinya di kemudian hari.
Menurut
Antonio Syafi’i dalam bukunya disebut bahwa qardh adalah pemeberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau dimanta kembali atau dengan kata lain
meminjamankan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh
dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan ukan
transaksi komersial[3].
1)
Rukun piutang
a.
Lafadz ijab qabul
b.
Adanya pihak yang memberi utang dan pihak yang menerima
hutang
c.
Adanya harta yang dihutangkan
2)
Syarat-syarat
a.
Harta itu adalah milik sendiri yang memberi hutang
b.
Ada guna atau manfaat, bukan harta yang diharamkan dan
bukan dalam persengketaan atau bukan harta rampok dan lain-lain.
c.
Harta itu harus kembali dengan harta yang dipinjamkan
baik dalam jumlah takaran dan lainnya
3)
Kewajiban hutang piutang
a.
Keduanya tidak boleh mensyaratkan riba (keuntngan lebih)
b.
Keduanya menuliskan dalam bentuk catatan utang atau
disaksikan oleh dua orang saksi
c.
Hendaknya peneriama uang cepat-cepat mengembalikan
utangnya yang sesuai dengan perajanjian
d.
Pihak pemberi hutang menagih hutangnya kepada peneriama
hutang pada waktu yang telah disepakati atau dijanjiakan
e.
Pihak pemberi hutang boleh memilih memberi batas waktu
kembali atau meminta jaminan, atau menyedekahkan. Apabila penerima hutang tidak
mampu membayar utang pada waktu yang telah disepakati
f.
Boleh menerima tambahan dari pihak penerima hutang dengan
pengambilan yang lebih bagus mutunya atau lebih jumlah uangnya, sebagai
ungkapan terimakasih kepada pemberi hutang.
C. Analisis Tafsir
Dari kedua tafsir dan dai berbagai literasi dapat saya
pahami dan yang di kemukakan oleh para tokoh dapat saya analisis Qardh adalah
menyerahkan atau membantu (Harta uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa
saja yang akan memanfaatkannya dan dia kan mengembaliaknnya (pada suatu saat)
sesuai pada dananya.
Hukum hutang piutang pada dasarnya diperboehkan dalam
syariat islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau memberikan pinjaman
kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal ynag disukai dan
dianjurkan, karena didalamnya
terdapat pahala
yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukan disyaratkannya utang piutang.
Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksiamal
mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan
ekonomi. Karena hutang menurut Rasullah SAW, merupakan penyebab kesedihan di
malam hari dan kehinan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlak,
sebagaimana sabda Rasulallah SAW “sesungguhnya seseorang apabila berhutang,
maka ia sering berkata lantas dusta, dan berjanji lantas memungkiri (HR.
Bukhari)
Syarat piutang menjadi amal sholeh, harta yang diutangkan
adalah harta yang jelas dan murni kehalallanya, pemberi piutang tidak
mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman, pemberi piutang/ pinjaman
berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, pinjaman tersebut tidak
mendatangkan tambahan manfaat ataupun keuntungan sedikitpun bagi pemberi
pinjaman, yang mana ada tata cara/ adab utang piutang :
a.
Utang piutang harus dituliskan dan dipersaksikan
b.
Pemberi utang pinjamn tidak boleh mengambil keuntungan
atau manfaat dari orang yang berhutang
c.
Melunasi hutang dengan cara yang baik
d.
Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinasnya
e.
Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki
profesi dan penghasilan halal
f.
Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat
g.
Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai utang atau
pinjaman
h.
Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,
hendaklah orang yang berhutang memebritahukan kepada oranga yang memberikan
pinjaman
i.
Menggunakan unag pinjaman dengan sebaik mungkin
j.
Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajuakan pemulihan
atas utangnya atau pengagguran, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk
memohonya
k.
Bersegera melunasi hutang dan memberikan penaggulangan
waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh
tempo.
Daftar
Pustaka
Surin,
Bactiar. Az-zikra Fiqh. Bandung: Angkasa Group
Imam Al-mahalli Jalaluddin Imam
Assyuyuti Jalaluddin. 1996. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Prof.
Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. 1983. Jakarta: Pustaka Panjimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar