Senin, 14 Maret 2016

CELAKANYA BERDAGANG CURAN









NAMA             : SITI AROH M  (1414231106)
JURUSAN       : PERBANKAN SYARIAH  3/ IV
TUGAS            : TAFSIR AYAT EKONOMI

Surah Al-Muthaffifin : “ orang-orang yang curang “ diambil dari ayat pertama.
Referensi                     : Tafsir Ayat Al-Mishbah ‘Juz Amma’

Penjelasan Surah Al-muthaffifin
Ulama berbeda pendapat mengenai masa turun kumpulan ayat-ayat surah ini. Ada yang menyatakan turun sebelum Nabi saw berhijrah yakni makkiyah ,ada juga yang menyatakan madaniyyah yakni turun setelah beliau berhijrah. Kelompok ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat makiyyah dan sebagian lainnya madaniyyah. Yang makiyyah mereka nilai ada delapan ayat dimulai dari ayat 29 sampai dengan ayat 36. Ssedemikian beragam pendapata ulama sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam surah ini ada ayat yang merupakan ayat terakhir turun di mekah dan ada pula yang pertama turun di madinah. Agaknya pendapat yang menyatakan sebagian ayatnya turun di mekah dan sebagian di madinah adalah pendapat yang lebih tepat.
Namanya dalam sekian kitab-kitab hadist adalah surah wail li al-muthaffifin sebagaimana bunyi ayatnya yang pertama dan ada juga yang mempersingkatnya menjadi surah al-muthaffifin. Tidak ada nama lain baginya kecuali yang di sebut di atas.
Tujuan surah ini menurut al-Biqa’I adalah penjelasan dari akhir surah al-infithar yang menegaskan tentang adanya balasan terhadap semua hamba Allah di akhirat nanti, yaitu dengan menempatkan yang taat dan bagahia di surge dan yang durhaka di lubang neraka jahanam. Ini di buktikan antara lain oleh penegasan bahwa Tuhan adalah pemelihara dan pelimpah nikmat. Tidak mungkin tegambar dalam benak, ada yang member aneka anugrah kepada sesorang, lalu orang itu tidak di mintai pertanggungjawaban menyangkut apa yang ditugaskan kepadanya. Nama surah ini al-muthaffifin yang berarti orang-orang curang dalam menakar dan menimbang.
Surah ini menggambarkan keadaan masyarakat mekkah dan madinah sebelum dan saat-saat awal kehadiran islam. Di samping itu surah ini juga membuktikan bahwa ajaran islam bukan sekedar aqidh yang tertancap di dalam hati, tetapi ia juga harus membuahkan amal dalam dunia nyata. Ajaran ini tidak hanya mengawang-awang di udara dan berkaitan hal-hal yang bersifat metafisik tetapi juga harus membumi sehingga keadilan yang dianjurkannya terasa dalama kehidupan keseharian masyarakat. Itu sebabnya secara gamblang surah ini menjanjikan ancaman kecelakaan dan kebinasaan bagi mereka yang curang dalam takaran dan timbangan.
Surah ini dinilai oleh sementara ulama sebagai surah yang ke-68 dari segi perurutan turunnya. Ia turun sesudah surah al-Ankabut dan sebelum surah al-Baqarah. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 36 ayat.

Penafsiran Ayat al-Muthaffifin oleh M.Quraish Shihab

ن للمطففي ويل
ن يستوفوالناس على اكتالوا اذا الذين
نيخسرو وزنوهم او كالوهم واذا

“ Kecelakaan bagi orang-orang yang curang , (yaitu) mereka yang apabila menerima takaran atas orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi “.
Setelah surah yang lalu ditutup dengan uraian tentang putusnya segala sebab pada hari kemudian, sambil menegaskan ancaman yang menanti ketika itu dan bahwa segala sesuatu dalam genggaman tangan Allah dan bahwa yang berbakti akan masuk ke surga sedang yang durhaka tempatnya adalah neraka, pada awal surah ini disebutkan salah satu hal yang paling banyak terjadi dalam hubungan antar manusia yakni menyangkut ukuran. Salah satu dosa yang terbesar adalah berkhianat menyangkut ukuran dan timbangan. Dalam surah ini disebutkan apa yang di siapkan untuk mereka itu dan orang-orang yang menyandang sifat seperti sifat mereka.
Allah berfirman : kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang curang , yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta yakni menuntut secara sungguh-sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta dilebihkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang semestinya mereka berikan.
Kata ويل (wail) pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa arab sebagai doa jatuhnya siksa. Tetapi Al-Quran menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalam arti satu lembah yang sangat curam di neraka.
Kata نللمطففي (al-muthaffifin) terambil dari kata thaffal/ meloncati seperti meloncati pagar atau mendekati atau hamper seperti gelas yang tidak penuh tetapi mendekati dan hamper penuh. Seseorang yang meloncati pagar misalnya, adalah orang yang tidak melakukan cara yang wajar. Demikian juga yang tidak memenuhkan gelas yang mestinya penuh. Bisa juga kata tersebut terambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalam penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan atau dari kata thafif yaitu sesuatu yang remeh, guna mengisyaratkan bahwa apa yang diambilnya secara tidak hak itu adalah sesuatu yang kadarnya sedikit jika dilihat dari kuantitasnya dalam kehidupan dunia ini. Demikian antara lain makna-makna kebahasaannya.
Apapun makna kebahasaan itu, yang jelas ayat diatas menerangkan apa yang dimaksud dengan kata tersebut.
Kecelakaan, kebinasaan dan kerugian akan dialami oleh orang yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdaganggan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka paada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah orang-orang yang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Berinteraksi dengan pihak lain, baru dapat langgeng jika dijalin oleh sopan santun serta kepercayaan dan amanat antar kedua pihak. Dalam berinteraksi kedua sifat tersebut melebihi jalinanan persamaan agama, suku bangsa bahkan keluarga, karena itu bisa saja Anda menemukan seorang muslim lebih suka berinteraksi dagang dengan non muslim yang terpercaya dan sopan dari pada berinteraksi dengan sesamanya yang muslim atau suku bangsa dan keluarga yang tidak memilki sifat amanat dan sopan santun.
Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini sangat jelas, apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar pahala amal-amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuranginya itu, diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangannya itu.
Ayat ke-2 di atas menggunakan kata ala/atas pada kalimat ‘ala an-nas/ atas orang lain bukan min/dari untuk mengisyaratkan betapa mereka mengatasi bahkan cenderung memaksakan keinginannya, ini lebih-lenih lagi jika mitranya adalah lemah.
Ayat 2 diatas hanya menyebut menerima takaran sedang ayat 3(tiga) menyebut mengukur dan menimbang. Ini boleh jadi karena dalam penimbangan, upaya untuk menuntut kelebihan tidak sebesar dalam pengukuran, sedang dalam pengurangan kedua hal itu (penimbangan dan pengukuran ) dengan mudah dapat terjadi, lenih-lebih jika penimbangan dan pengukuran itu tidak dihadiri oleh mitra dagangnya. Boleh jadi juga karena para pedagang ketika itu lebih banyak menggunakan takaran dari pada timbangan.
Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalam penimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Pelakuan semacam ini, bukan saja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakuanya. Disisi lain kecurangan ini menunjukan pula keangkuhan dan pelecehan, karena biasanya pelakunya menganggap remeh mitranya sehingga berani melakukan hal tersebut.
Tafsir Penguat ,untuk ayat surah al-muthaffifin oleh Buya Hamka dalam tafsir al-azhar
ن للمطففي ويل
ن يستوفوالناس على اكتالوا اذا الذين
نيخسرو وزنوهم او كالوهم واذا

“ Kecelakaan bagi orang-orang yang curang , (yaitu) mereka yang apabila menerima takaran atas orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi “.
Asal mendapat keuntungan agak banyak orang tidak segan berlaku curang. Baik dalam menyukai dan menggantang ataupun di dalam menimbang sesuatu barang yang tengah diperniagakan. Mereka mempunyai dua macam sukat dan gantang ataupun anak timbangan; sukat dan timbangan pembeli lain dengan timbangan penjual. Itulah orang-orang yang celaka: “Celakalah atas orang-orang yang curang itu.” (ayat 1).
Ayat selanjutnya berturut menjelaskan kecurangan itu: “Yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta dipenuhi.” (ayat 2).
Sebab mereka tidak mau dirugikan! Maka awaslah dia, hati-hati melihat bagaimana orang itu menyukat atau menggantang. “Tetapi apabila menyukat atau menimbang untuk orang lain, mereka merugikan.” (ayat 3).
Dibuatnyalah sukatan atau timbangan yang curang; kelihatan dari luar bagus padahal di dalamnya ada alas sukatan, sehingga kalau digunakan, isinya jadi kurang dari yang semestinya. Atau anak timbangan dikurangkan beratnya dari yang mesti, atau timbangan itu sendiri dirusakkan dengan tidak kentara.
Pada ayat yang pertama dikatakanlah wailun bagi mereka; artinya celakalah atas mereka! Merekalah pangkal bala merusak pasaran dan merusak amanah. Dalam ilmu ekonomi sendiri dikatakan bahwa keuntungan yang didapat dengan cara demikian tidaklah keuntungan yang terpuji, karena dia merugikan orang lain, dan merusak pasaran dan membawa nama tidak baik bagi golongan saudagar yang berniaga di tempat itu, sehingga seekor kerbau yang berkubang, semua kena luluknya.
Wailun! Celakalah dia itu! Sebab kecurangan yang demikian akan membawa budipekertinya sendiri menjadi kasar. Tidak merasa tergetar hatinya memberikan keuntungan yang didapatnya dengan curang itu akan belanja anak dan isterinya, akan mereka makan dan minum. Itulah suatu kecelakaan; suatu wailun.
Kerapkali juga wailun itu diartikan neraka! Memang, orang-orang yang berlaku curang itu membuat neraka dalam dunia ini, karena merusak pasaran. Kecurangan niaga seperti ini adalah termasuk korupsi besar juga.
Maka datanglah teguran Allah berupa pertanyaan:
“Apakah tidak menyangka orang-orang itu, bahwa mereka akan dibangkitkan?” (ayat 4). Apakah tidak terkenang dalam hati mereka bahwa kenyataan yang didapat dengan jalan curang dan merugikan orang lain itu tidaklah akan kekal? Bahwa dia akan tertumpuk menjadi “uang panas” yang membawa bencana? Dan kalau dia mati, sedikitpun harta itu tidak akan dapat menolong dia? Dan pada harta yang demikian tidak ada keberkatan sedikit juga? Malahan mereka akan dibangkitkan sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan segala kecurangan itu: “Buat Hari Yang Besar?” (ayat 5). Hari kiamat, hari perhitungan, hari penyisihan di antara yang hak dengan yang batil; “Hari yang akan bangkit manusia.” (pangkal ayat 6). Bangkit dari alam kuburnya, dari dalam tidurnya, karena panggilan sudah datang: “(Untuk menghadap) Tuhan Sarwa sekalian alam.” (ujung ayat 6).
Alangkah kecilnya kamu pada hari itu, padahal semasa di dunia engkau membangga dengan kekayaan yang engkau dapat dengan jalan kecurangan itu. Di hari kiamat itu terbukalah rahasia, bahwasanya kedudukan engkau di hadapan Mahkamah Ilahi, tidaklah lebih dan tidaklah kurang daripada kedudukan pencuri atau pemaling, yang semasa hidupmu di dunia dapat engkau selubungi dengan berbagai dalih.
Tersebut dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Al-Imam Ahmad dengan sanadnya, beliau terima dari sahabat Rasulullah SAW Abu Amamah, bahwa kehebatan di hari kiamat itu amatlah ngerinya, sehingga Nabi SAW berkata bahwa matahari menjadi lebih dekat sehingga hanya jarak satu mil saja dari kepala, sehingga menggelegak rasanya otak benak saking teriknya cahaya matahari. Manusia terbenam dalam peluh dan keringatnya, ada yang dalam ampu kaki, ada yang sampai ke lutut, ada yang sampai ke dada, ada yang sampai ke leher, masing-masing menurut sedikit atau banyak dosa yang diperbuatnya.
Kesimpulan penafsiran surah al-muthaffifin berdasarkan berbagai referensi
Arti dari kata takaran dalam kamus bahasa Indonesia adalah alat untuk menakar; sukatan ,ukuran. Dan arti dari kata timbangan adalah alat untuk menimbang (spt neraca, kati): ~ lima kilogram, alat untuk menimbang maksimum lima kilogram; (n). Dan arti dari kata curang adalah tidak jujur; tidak lurus hati; tidak adil (adjektiva). Dan arti dari kata celaka adalah (selalu) mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dsb; malang; sial.
Dalam surah al-muthaffifin yang artinya orang-orang yang curang, yang terdiri dari 36 ayat ini menjelaskan bahwa bahaya dari melakukan kecurangan terutama dalam hal ukuran atau penimbangan. Sungguh sangat meruginya orang-orang yang melakukan kecurangan tersebut, karena sudah sangat jelas-jelas di katakan dalam al-Quran surah al-muthaffifin bahwa orang yang melakukan kecurangan dalam penimbangan ini kelak di akhirat akan masuk neraka jahanam.
Bahkan kerugian bagi orang-orang yang melakukan kecurangan dalam penimbangan itu bukan hanya di akhirat saja melainkan di dunia juga seperti yang di katakana oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya tafsir al-misbah bahwa orang yang curang dalam penimbangan itu adalah orang yang tidak amanah atau tidak  jujur, sehingga dengan ketidak jujurannya itu maka pelanggan atau pembeli atau orang yang ia curangi tidak akan merasakan kepuasan dan pada ujungnya tidak akan lagi melakukan transaksi atau hubungan dagang dengannya, karena dengan sikap amanah akan memunculkan ikatan atau hubungan yang melebihi saudara atau keluarga bahkan agama dan suku bangsa. Seperti halnya saja ketika orang non-muslim lebih amanah ketimbang yang orang muslim, maka sudah pasti kita kan lebih memilih berhubungan dagang dengan orang yang lebih amanah meski sekalipun ia adalah non-muslim.
Orang yang melakukan kecurangan dalam timbangan dalam perdagangan sama halnya dengan melakukan pencurian dan pelecehan, karena pada dasarnya mereka yang curang telah mencuri hak orang lain (timbangan), mereka menikmati timbangan yang mereka curangi dari orang lain untuk kebutuhan hidupnya, dan mereka yang curang juga telah melecehakan orang yang mereka curangi, mereka meremehkannya sehingga melakukan hal yang seenaknya dengan mengurangi timbangan tersebut.
Dan dengan melakukan kecurangan penimbangan dalam berdagang itu dapat menumbuhkan sikap yang kasar bagi kita. Sehingga sangat perlunya bagi kita untuk menghindari perbuatan tersebut, karena sangat tentu akan merugikan kita, merugikan orang yang di curangi, bahkan merugikan keluarga kita juga, karena memakan makanan hasil dari uang yang tidak halal atau hasil curang.


CELAKANYA BERDAGANG CURANG
Surah Al-Muthaffifin : “ orang-orang yang curang “ diambil dari ayat pertama.
Referensi                     : Tafsir Ayat Al-Mishbah ‘Juz Amma’

Penjelasan Surah Al-muthaffifin
Ulama berbeda pendapat mengenai masa turun kumpulan ayat-ayat surah ini. Ada yang menyatakan turun sebelum Nabi saw berhijrah yakni makkiyah ,ada juga yang menyatakan madaniyyah yakni turun setelah beliau berhijrah. Kelompok ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat makiyyah dan sebagian lainnya madaniyyah. Yang makiyyah mereka nilai ada delapan ayat dimulai dari ayat 29 sampai dengan ayat 36. Ssedemikian beragam pendapata ulama sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam surah ini ada ayat yang merupakan ayat terakhir turun di mekah dan ada pula yang pertama turun di madinah. Agaknya pendapat yang menyatakan sebagian ayatnya turun di mekah dan sebagian di madinah adalah pendapat yang lebih tepat.
Namanya dalam sekian kitab-kitab hadist adalah surah wail li al-muthaffifin sebagaimana bunyi ayatnya yang pertama dan ada juga yang mempersingkatnya menjadi surah al-muthaffifin. Tidak ada nama lain baginya kecuali yang di sebut di atas.
Tujuan surah ini menurut al-Biqa’I adalah penjelasan dari akhir surah al-infithar yang menegaskan tentang adanya balasan terhadap semua hamba Allah di akhirat nanti, yaitu dengan menempatkan yang taat dan bagahia di surge dan yang durhaka di lubang neraka jahanam. Ini di buktikan antara lain oleh penegasan bahwa Tuhan adalah pemelihara dan pelimpah nikmat. Tidak mungkin tegambar dalam benak, ada yang member aneka anugrah kepada sesorang, lalu orang itu tidak di mintai pertanggungjawaban menyangkut apa yang ditugaskan kepadanya. Nama surah ini al-muthaffifin yang berarti orang-orang curang dalam menakar dan menimbang.
Surah ini menggambarkan keadaan masyarakat mekkah dan madinah sebelum dan saat-saat awal kehadiran islam. Di samping itu surah ini juga membuktikan bahwa ajaran islam bukan sekedar aqidh yang tertancap di dalam hati, tetapi ia juga harus membuahkan amal dalam dunia nyata. Ajaran ini tidak hanya mengawang-awang di udara dan berkaitan hal-hal yang bersifat metafisik tetapi juga harus membumi sehingga keadilan yang dianjurkannya terasa dalama kehidupan keseharian masyarakat. Itu sebabnya secara gamblang surah ini menjanjikan ancaman kecelakaan dan kebinasaan bagi mereka yang curang dalam takaran dan timbangan.
Surah ini dinilai oleh sementara ulama sebagai surah yang ke-68 dari segi perurutan turunnya. Ia turun sesudah surah al-Ankabut dan sebelum surah al-Baqarah. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 36 ayat.

Penafsiran Ayat al-Muthaffifin oleh M.Quraish Shihab

ن للمطففي ويل
ن يستوفوالناس على اكتالوا اذا الذين
نيخسرو وزنوهم او كالوهم واذا

“ Kecelakaan bagi orang-orang yang curang , (yaitu) mereka yang apabila menerima takaran atas orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi “.
Setelah surah yang lalu ditutup dengan uraian tentang putusnya segala sebab pada hari kemudian, sambil menegaskan ancaman yang menanti ketika itu dan bahwa segala sesuatu dalam genggaman tangan Allah dan bahwa yang berbakti akan masuk ke surga sedang yang durhaka tempatnya adalah neraka, pada awal surah ini disebutkan salah satu hal yang paling banyak terjadi dalam hubungan antar manusia yakni menyangkut ukuran. Salah satu dosa yang terbesar adalah berkhianat menyangkut ukuran dan timbangan. Dalam surah ini disebutkan apa yang di siapkan untuk mereka itu dan orang-orang yang menyandang sifat seperti sifat mereka.
Allah berfirman : kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang curang , yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta yakni menuntut secara sungguh-sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta dilebihkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang semestinya mereka berikan.
Kata ويل (wail) pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa arab sebagai doa jatuhnya siksa. Tetapi Al-Quran menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalam arti satu lembah yang sangat curam di neraka.
Kata نللمطففي (al-muthaffifin) terambil dari kata thaffal/ meloncati seperti meloncati pagar atau mendekati atau hamper seperti gelas yang tidak penuh tetapi mendekati dan hamper penuh. Seseorang yang meloncati pagar misalnya, adalah orang yang tidak melakukan cara yang wajar. Demikian juga yang tidak memenuhkan gelas yang mestinya penuh. Bisa juga kata tersebut terambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalam penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan atau dari kata thafif yaitu sesuatu yang remeh, guna mengisyaratkan bahwa apa yang diambilnya secara tidak hak itu adalah sesuatu yang kadarnya sedikit jika dilihat dari kuantitasnya dalam kehidupan dunia ini. Demikian antara lain makna-makna kebahasaannya.
Apapun makna kebahasaan itu, yang jelas ayat diatas menerangkan apa yang dimaksud dengan kata tersebut.
Kecelakaan, kebinasaan dan kerugian akan dialami oleh orang yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdaganggan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka paada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah orang-orang yang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Berinteraksi dengan pihak lain, baru dapat langgeng jika dijalin oleh sopan santun serta kepercayaan dan amanat antar kedua pihak. Dalam berinteraksi kedua sifat tersebut melebihi jalinanan persamaan agama, suku bangsa bahkan keluarga, karena itu bisa saja Anda menemukan seorang muslim lebih suka berinteraksi dagang dengan non muslim yang terpercaya dan sopan dari pada berinteraksi dengan sesamanya yang muslim atau suku bangsa dan keluarga yang tidak memilki sifat amanat dan sopan santun.
Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini sangat jelas, apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar pahala amal-amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuranginya itu, diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangannya itu.
Ayat ke-2 di atas menggunakan kata ala/atas pada kalimat ‘ala an-nas/ atas orang lain bukan min/dari untuk mengisyaratkan betapa mereka mengatasi bahkan cenderung memaksakan keinginannya, ini lebih-lenih lagi jika mitranya adalah lemah.
Ayat 2 diatas hanya menyebut menerima takaran sedang ayat 3(tiga) menyebut mengukur dan menimbang. Ini boleh jadi karena dalam penimbangan, upaya untuk menuntut kelebihan tidak sebesar dalam pengukuran, sedang dalam pengurangan kedua hal itu (penimbangan dan pengukuran ) dengan mudah dapat terjadi, lenih-lebih jika penimbangan dan pengukuran itu tidak dihadiri oleh mitra dagangnya. Boleh jadi juga karena para pedagang ketika itu lebih banyak menggunakan takaran dari pada timbangan.
Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalam penimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Pelakuan semacam ini, bukan saja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakuanya. Disisi lain kecurangan ini menunjukan pula keangkuhan dan pelecehan, karena biasanya pelakunya menganggap remeh mitranya sehingga berani melakukan hal tersebut.
Tafsir Penguat ,untuk ayat surah al-muthaffifin oleh Buya Hamka dalam tafsir al-azhar
ن للمطففي ويل
ن يستوفوالناس على اكتالوا اذا الذين
نيخسرو وزنوهم او كالوهم واذا

“ Kecelakaan bagi orang-orang yang curang , (yaitu) mereka yang apabila menerima takaran atas orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi “.
Asal mendapat keuntungan agak banyak orang tidak segan berlaku curang. Baik dalam menyukai dan menggantang ataupun di dalam menimbang sesuatu barang yang tengah diperniagakan. Mereka mempunyai dua macam sukat dan gantang ataupun anak timbangan; sukat dan timbangan pembeli lain dengan timbangan penjual. Itulah orang-orang yang celaka: “Celakalah atas orang-orang yang curang itu.” (ayat 1).
Ayat selanjutnya berturut menjelaskan kecurangan itu: “Yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta dipenuhi.” (ayat 2).
Sebab mereka tidak mau dirugikan! Maka awaslah dia, hati-hati melihat bagaimana orang itu menyukat atau menggantang. “Tetapi apabila menyukat atau menimbang untuk orang lain, mereka merugikan.” (ayat 3).
Dibuatnyalah sukatan atau timbangan yang curang; kelihatan dari luar bagus padahal di dalamnya ada alas sukatan, sehingga kalau digunakan, isinya jadi kurang dari yang semestinya. Atau anak timbangan dikurangkan beratnya dari yang mesti, atau timbangan itu sendiri dirusakkan dengan tidak kentara.
Pada ayat yang pertama dikatakanlah wailun bagi mereka; artinya celakalah atas mereka! Merekalah pangkal bala merusak pasaran dan merusak amanah. Dalam ilmu ekonomi sendiri dikatakan bahwa keuntungan yang didapat dengan cara demikian tidaklah keuntungan yang terpuji, karena dia merugikan orang lain, dan merusak pasaran dan membawa nama tidak baik bagi golongan saudagar yang berniaga di tempat itu, sehingga seekor kerbau yang berkubang, semua kena luluknya.
Wailun! Celakalah dia itu! Sebab kecurangan yang demikian akan membawa budipekertinya sendiri menjadi kasar. Tidak merasa tergetar hatinya memberikan keuntungan yang didapatnya dengan curang itu akan belanja anak dan isterinya, akan mereka makan dan minum. Itulah suatu kecelakaan; suatu wailun.
Kerapkali juga wailun itu diartikan neraka! Memang, orang-orang yang berlaku curang itu membuat neraka dalam dunia ini, karena merusak pasaran. Kecurangan niaga seperti ini adalah termasuk korupsi besar juga.
Maka datanglah teguran Allah berupa pertanyaan:
“Apakah tidak menyangka orang-orang itu, bahwa mereka akan dibangkitkan?” (ayat 4). Apakah tidak terkenang dalam hati mereka bahwa kenyataan yang didapat dengan jalan curang dan merugikan orang lain itu tidaklah akan kekal? Bahwa dia akan tertumpuk menjadi “uang panas” yang membawa bencana? Dan kalau dia mati, sedikitpun harta itu tidak akan dapat menolong dia? Dan pada harta yang demikian tidak ada keberkatan sedikit juga? Malahan mereka akan dibangkitkan sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan segala kecurangan itu: “Buat Hari Yang Besar?” (ayat 5). Hari kiamat, hari perhitungan, hari penyisihan di antara yang hak dengan yang batil; “Hari yang akan bangkit manusia.” (pangkal ayat 6). Bangkit dari alam kuburnya, dari dalam tidurnya, karena panggilan sudah datang: “(Untuk menghadap) Tuhan Sarwa sekalian alam.” (ujung ayat 6).
Alangkah kecilnya kamu pada hari itu, padahal semasa di dunia engkau membangga dengan kekayaan yang engkau dapat dengan jalan kecurangan itu. Di hari kiamat itu terbukalah rahasia, bahwasanya kedudukan engkau di hadapan Mahkamah Ilahi, tidaklah lebih dan tidaklah kurang daripada kedudukan pencuri atau pemaling, yang semasa hidupmu di dunia dapat engkau selubungi dengan berbagai dalih.
Tersebut dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Al-Imam Ahmad dengan sanadnya, beliau terima dari sahabat Rasulullah SAW Abu Amamah, bahwa kehebatan di hari kiamat itu amatlah ngerinya, sehingga Nabi SAW berkata bahwa matahari menjadi lebih dekat sehingga hanya jarak satu mil saja dari kepala, sehingga menggelegak rasanya otak benak saking teriknya cahaya matahari. Manusia terbenam dalam peluh dan keringatnya, ada yang dalam ampu kaki, ada yang sampai ke lutut, ada yang sampai ke dada, ada yang sampai ke leher, masing-masing menurut sedikit atau banyak dosa yang diperbuatnya.
Kesimpulan penafsiran surah al-muthaffifin berdasarkan berbagai referensi
Arti dari kata takaran dalam kamus bahasa Indonesia adalah alat untuk menakar; sukatan ,ukuran. Dan arti dari kata timbangan adalah alat untuk menimbang (spt neraca, kati): ~ lima kilogram, alat untuk menimbang maksimum lima kilogram; (n). Dan arti dari kata curang adalah tidak jujur; tidak lurus hati; tidak adil (adjektiva). Dan arti dari kata celaka adalah (selalu) mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dsb; malang; sial.
Dalam surah al-muthaffifin yang artinya orang-orang yang curang, yang terdiri dari 36 ayat ini menjelaskan bahwa bahaya dari melakukan kecurangan terutama dalam hal ukuran atau penimbangan. Sungguh sangat meruginya orang-orang yang melakukan kecurangan tersebut, karena sudah sangat jelas-jelas di katakan dalam al-Quran surah al-muthaffifin bahwa orang yang melakukan kecurangan dalam penimbangan ini kelak di akhirat akan masuk neraka jahanam.
Bahkan kerugian bagi orang-orang yang melakukan kecurangan dalam penimbangan itu bukan hanya di akhirat saja melainkan di dunia juga seperti yang di katakana oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya tafsir al-misbah bahwa orang yang curang dalam penimbangan itu adalah orang yang tidak amanah atau tidak  jujur, sehingga dengan ketidak jujurannya itu maka pelanggan atau pembeli atau orang yang ia curangi tidak akan merasakan kepuasan dan pada ujungnya tidak akan lagi melakukan transaksi atau hubungan dagang dengannya, karena dengan sikap amanah akan memunculkan ikatan atau hubungan yang melebihi saudara atau keluarga bahkan agama dan suku bangsa. Seperti halnya saja ketika orang non-muslim lebih amanah ketimbang yang orang muslim, maka sudah pasti kita kan lebih memilih berhubungan dagang dengan orang yang lebih amanah meski sekalipun ia adalah non-muslim.
Orang yang melakukan kecurangan dalam timbangan dalam perdagangan sama halnya dengan melakukan pencurian dan pelecehan, karena pada dasarnya mereka yang curang telah mencuri hak orang lain (timbangan), mereka menikmati timbangan yang mereka curangi dari orang lain untuk kebutuhan hidupnya, dan mereka yang curang juga telah melecehakan orang yang mereka curangi, mereka meremehkannya sehingga melakukan hal yang seenaknya dengan mengurangi timbangan tersebut.
Dan dengan melakukan kecurangan penimbangan dalam berdagang itu dapat menumbuhkan sikap yang kasar bagi kita. Sehingga sangat perlunya bagi kita untuk menghindari perbuatan tersebut, karena sangat tentu akan merugikan kita, merugikan orang yang di curangi, bahkan merugikan keluarga kita juga, karena memakan makanan hasil dari uang yang tidak halal atau hasil curang.

1 komentar: