Nama
:Nila Ernila
Nim : 1414231087
Smt/Jurusan : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata
Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
Pembahasan:
Tafsir Indonesia : Al-Azhar
HARTA TAK HALAL
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah 188)
وَلَا = dan janganlah
تَأْكُلُوا = kamu memakan
أَمْوَالَكُمْ = harta-mu
بَيْنَكُمْ = antara kamu
بِالْبَاطِلِ = dengan batil
وَتُدْلُوا
بِهَا
= dan kamu membawanya (harta itu)
إِلَى
الْحُكَّامِ
= kepada hakim
لِتَأْكُلُوا = supaya kamu dapat memakan
فَرِيقًا = sebagian
مِنْ
أَمْوَالِ
= dari harta
النَّاسِ = manusia
بِالْإِثْمِ = dengan dosa
وَأَنْتُمْ = dan/padahal kamu
تَعْلَمُونَ = kamu mengetahui
Pentinglah makanan buat hidup. Selalu Tuhan member ingat tentang makanan
yang halal lagi baik, yang bersih dan sesuai dengan kita sebagai manusia. Pada
ayat 168 diberi peringatan pada seluruh manusia. Kemudian ayat 172 dan 173
diperingatkan khusus kepada kaum yang beriman supaya memakan makanan yang
baik-baik dan menjauhi makanan yang keji, sehingga ditunjukan apa dia yang keji
itu. Dicela orang yang mata pencahariannya dengan menyembunyikan kebenaran
karena mengharapkan harga yang sedikit. Kemudian sesudah menerangkan dari hal
qishash diterangkan lagi tentang wasiat, dan larangan curang dalam hal wasiat,
dan pujian terhadap orang yang sudi mendamaikan orang yang berselisih tentang harta wasiat. Sesudah
itu baru dibicarakan perkara puasa. Dalam bulan puasa diatur perkara makanan.
Sekarang dilanjutkan lagi; ada hubungan dengan makanan atau kebersihan mata
pencaharian.
“Dan janganlah kamu makan harta
benda kamu diantara kamu dengan jalan yang batil.” (pangkal ayat 188). Pangkal
ayat ini membawa orang yang beriman kepada kesatuan dan kekeluargaan dan
persaudaraan. Sebab itu dikatakan “harta benda kamu diantara kamu.” Ditanamkan
disini bahwa harta benda kawanmu itu adalah harta benda kamu juga. Kalau kamu
aniaya hartanya samalah dengan kamu menganiaya hartabendamu sendiri jua.
Memakan harta benda dengan jalan yang salah, ialah tidak menurut jalannya yang
patut dan benar. Maka termasuklah disini segala macam penipuan, pengicuhan,
pemalsuan, reklame dan adpertensi yang berlebih-lebihan; asal keuntungan masuk.
Menerbitkan buku-buku cabul dan menyebarkan gambar-gambar perempuan telanjang.
Pembangkit nafsu; yang kalau ditanya, maka yang membuatnya mudah saja berkata:
“crai makan.” Atau kolpotir mencari pembeli suatu barang dengan memperlihatkan
contoh yang bagus bermutu tinggi, padahal setelah ada persetujuan harga dan
barang itu diterima, ternyata mulutnya dibawah dari contoh. Atau spekulasi
terhadap barang vital dalam masyarakat, seumpama beras, ditahan lama dalam
gudang karena mengharapkan harganya membumbung naik, walaupun masyarakat sudah
sangat kelaparan, yang dalam agama disebut ihtikar. Atau menyediakan alat
penimbang yang curang, lan yang pembeli dengan penjual.
Ini adlah contoh-contoh, atau dapat dikemukakan 1001 contoh yang lain,
yang maksudnya ialah segala usaha mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan
jalan yang tidak wajar dan merugikan sesame manusia, yang selalu bertemu dalam
masyarakat yang ekonominya mulai kacau. Sehingga orang beroleh kekayaan dengan
penghisapan dan penipuan kepada sesamanya manusia.
Sebab itu maka islam sangat mengharamkan riba. Karena riba benar-benar
suatu pemerasan atas tenaga manusia oleh manusia. Kelihatan diluar sebagai
menolong melepaskan orang dari sesak dan kesulitan, padahal dipersulit lagi
dengan membayar bunga. Ketentuan tentang riba, yang disebut riba fadhal atau
riba nasi’ah akan diterangkan juga kelak pada waktunya.
Sampai-sampai pada urusan upah mengupah, dengan memberikan upah yang
sangat rendah, tidak berpatutan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh yang
diupah, tetapi terpaksa dikerjakan juga, karena dia lapar.
Untuk menjaga martabat iman maka ulama-ulamapun member ingat bahwasanya
orang yang tidak patut menerima zakat karena dia ada kemampuan, lalu diterimanya
juga zakat itu, adalah haram hukumnya, teringatlah akan guruku Almarhum syaikh
Abdulhamid Tuanku Mudo di Padang Panjang, pada suatu hari dikirimkan orang
kepada beliau uang zakat dari padang. Dengan lema lembutnya uang zakat itu
telah beliau tolak, karena beliau tidak merasa berhak menerimanya, sebab beliau
mampu. Kata beliau, makanan dan minuman beliau cukup dan pakaian beliaupun ada
walaupun cara sederhana. Padahal oleh karena usia beliau seluruhnya sudah
disediakan untuk mengajar murid-murid beliau, tidaklah ada kesempatan beliau
buat berusaha yang lain. Namun begitu ditolaknya juga zakat itu.
Setenga ahli fiqh menyatakan pendapat bahwasanya seorang yang tidak ada
pakaian buat shalat, sehingga boleh dikatakan bertelanjang, tidaklah wajib
atasnya meminjam pakaian orang lain untuk shalat. Dari pada meminjam, tidaklah
mengapa dia shalat bertelanjang.
Termasuk juga disini “perusahaan” membuat azimat, membikin “pekasih”
untuk seorang perempuan supaya lakinya tetap berkasih kepadanya. Termasuk jugalah
didalamnya menerima upah membaca Surat Yasin malam Jum’at sekian kali, untuk
dihadiahkan pahalanya kepada keluarga si pengupah yang telah mati. Termasuk
jugalah didalamnya apa yang ketika menafsirkan ayat 174 kita sebutkan, yaitu
orang-orang yang mendapat “penghasilan” dari fidyah shalat orang yang telah
mati. Termasuk jugalah didalamnya orang-orang yang berdiri di pekuburan
menunggu orang-orang yang akan memberinya upah membaca do’a atau bertalkin atau
membaca Surat Yasin yang diupahkan keluarga orang yang berkubur disana. Lebih
ganas lagi memakan harta kamu ini apabila sudah sampai membawa kemuka hakim.
Sebagai lanjutan ayat: “Dan kamu bawa ke muka hakim-hakim, karena kamu hendak
memakan sebahagian hartabenda manusia dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”
(ujung ayat 188).
Kadang-kadang timbullah dakwa mendakwa di muka hakim. Katanya hendak
mencari penyelesaian, padahal hubungan si pendakwa dengan si terdakwa telah keruh,
dendam kesumat telah timbul, usahakan selesai malahan bertambah kusut.
Orang membawa perkaranya kemuka
hakim, kadang-kadang kedua pihak memakai pokrol untuk mengalahkan lawan. Tetapi
yang dimaksud ialah mengambil harta yang ada ditangan orang lain dengan jalan
dosa. Hal yang seperti ini kerapkali benar bertemu di zaman penjajahan di
negeri kita karena kekacauan keluarga. Di minangkabau kerapkali anak dari
seorang yang telah mati didakwa dimuka hakim oleh kemenakan simati itu. Dikatakan bahwa harta benda simati yang
sekarang telah ada ditangan si anak, bukanlah harta pencaharian, tetapi harta
pusaka. Sampai-sampai pendakwa mengatakan bahwa meskipun dia telah mendapat
harta pencaharian sendiri, namun si kemenakan masih berhak atas harta itu,
sebab waktu dia akan meninggalkan kampung halaman dahulunya yang memodalinya
ialah kemenakan dan saudara-saudaranya yang perempuan. Sebab itu dia dari kecil
dibesarkan dengan harta pusaka.
Di tanah Batak dan Mandailing pihak saudara daripada simati pula yang
menuntut isteri daripada si mati. Karena didalam pergaulan hidup zaman sekarang,
si mati dengan isterinya telah merantau meninggalkan kampung halaman dan telah
mendapat rezeki dan harta pencaharian. Tetapi karena menurut adat Batak dan
Mandailing si perempuan setelah kawin adalah kepunyaan keluarga suaminya,
hendaklah pula harta benda mendiang suaminya diserahkan, bahkan bersama dirinya
sekali, kedalam kuasa keluarga marga si laki-laki. Ini dibawa perkara kemuka
hakim.
Baik orang minangkabau si kemenakan yang mendakwa anak mamaknya atau
orang Batak dan Mandailing yang mendakwa isteri saudaranya, keduanya itu orang
islam. Mereka mengerti pembahagian faraidh menurut islam. Tetapi karena tamak
akan harta dunia yang fana, mereka tidak keberatan mengingkari peraturan agama
yang telah mereka peluk, untuk kembali kepada adat jahiliyah. “Padahal kamu
mengetahui hukum agama, tetapi karena nafsu serakah harta, tidaklah diingat
orang lagi hubungan keluarga, silaturahmi yang telah berpuluh tahun, dan darah
yang telah bercampur dan keturunan yang telah menjadi saksi hubungan kedua
belah pihak. Sampai hatilah orang pada masa itu di Minangkabau mendakwa anaknya
sendiri, keturunan dari saudara yang telah mati. Karena anak yang didakwa itu,
kata mereka, telah berlain sukunya, telah orang lain.
Alhasil apa yang kita kemukakan ini hanyalah contoh-contoh belaka dari
perbuatan memakan harta kamu diantara kamu dengan jalan batil dan memakan harta
benda manusia dengan dosa. Maka apabila jiwa kita telah kita penuhi dengan
takwa, kita sudahlah dapat menimbang dengan perasaan yang harus mana pencaharian
yang halal dan mana yang batil. Itulah sebabnya maka mata hati janganlah
ditujukan kepada hartabenda itu saja, tetapi ditujukanlah terlebih dahulu
kepada yang memberikan anugerah harta itu, yaitu Allah. Dan disamping itu
tanamkanlah perasaan bahwasanya silaturahmi sesame manusia jauh lebih tinggi
nilainya daripada harta benda yang sebentar bisa punah. Apalah lagi tiap-tiap
harta yang didapat dengan jalan tidak benar itu amatlah panasnya dalam tangan,
membawa gelisah diri dan menghilangkan ketentraman. Sehingga walaupun diluar
kelihatan mampu, pada batinnya itulah orang yang telah amat miskin, kosong dan
selalu merasa puas. Ada yang hilang dari dalam diri, tetapi tidak tahu apa yang
hilang itu.
Imanlah yang hilang itu.
Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan Ibnu
Abi Hatim dan Ibnu Abbas menafsirkan “Dan janganlah kamu makan harta benda kamu
diantara kamu dengan jalan batil” ini, ialah bahwa ada seorang laki-laki
memegang harta orang lain, tetapi tidak ada cukup keterangan dari yang empunya,
maka orang itupun memungkiri dan berkata bahwa harta itu adalah kepunyaan
dirinya sendiri. Yang empunya hak mengadu kepada hakim, dia bersitegang
mempertahankan bahwa harta itu dia sendiri punya, sehingga yang sebenarnya
berhak menjadi teraniaya.
Dan diriwayatkan pula menurut tafsiran Mujahid bahwa makna ayat ini ialah: “Jangan kamu
bersitegang urat leher dimuka hakim, padahal hati sanubari sendiri tahu bahwa
engkaulah yang zalim.”
Menurut satu riwayat dari Said-bin Jubair, bahwa Imru’ul-Qais bin Abi
berselisih dengan Abdan bin Asywa’ al-Hadhrami perkara sebidang tanah. Lalu
Imru’ul Qais bersedia bersumpah mempertahankan bahwa yang empunya ialah dia,
maka turunlah ayat ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ
إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ
فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا
أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ
يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah
ayat 282)
Itulah sebabnya maka yat 282 dari Surat Al-Baqarah memerintahkan agar
soal-soal hutang piutang atau petaruh dan kepercayaan dikuatkan dengan surat
menyurat dan dua saksi, supaya jangan menjadi hal-hal seperti ini.
REFLEKTIF
Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 188 dan
tafsir yang saya cermati dengan beberapa sumber lain yang saya baca, saya dapat
mengaitkan dan menyimpulkan mengenai konsumsi dalam islam dengan mengutip
beberapa kata dari referensi referensi yang saya baca dengan beberapa patah
kata yang saya tambahkan dari pemikiran saya pribadi.
Sungguh menakutkan
bukan ketika kita berani mengambil hak milik orang lain, bukan siksa di dunia
saja yang kita dapatkan akan tetapi siksa di akhirat menunggu kita. Seharusnya
kita bisa memaknai hidup kita dengan hal-hal yang positif. Hidup apa adanya,
semampu kita, tak perlu iri dengan orang lain, tak perlu bersikap memaksakan
diri untuk hidup lebih dengan cara-cara kotor.
Ketika kita telah
berani mengambil barang, hak milik orang lain sekecil apapun maka kita harus
bersiap kehilangan bahkan kehilangan yang kita rasakan akan jauh lebih besar.
Hati-hatilah dalam berhutang, jangan sampai kita tidak membayarnya jika kita
tidak membayar hutang, sama saja kita telah mengambil hak milik orang lain.
Aku ingat ketika ayahku memiliki tanah untuk membangun rumah, namun
tanah itu diminta oleh adiknya dan dengan rasa tidak enak yang ia miliki dengan
terpaksa dan desakan juga maka ia harus rela menyerahkan tanah itu untuk sodaranya,
dan setelah kejadian itu ibu mendapat tanah yang dikasih dari neneku,
subhanallah memang Allah maha adil.
Dan masih banyak contoh
kejadian yang aku alami yang tidak bisa aku sebutkan. Pastinya Allah itu memang
sangat baik dan Allah selalu memberi sesuatu yang indah dibalik duka yang kita
alami. Percayalah ketika orang lain telah berani mengambil hak milik kita,
Allah sebenarnya sudah menyiapkan pengganti yang akan lebih baik dan lebih baik
dari apa yang hilang dari kita. Syarat Untuk Mengambil Milik Orang Lain
Berdasarkan Dhan (Praduga) :
1.
TANBIHUN-
Apabila seorang ghashab binatang kendaraan, misalnya kuda, perahu atau
sejenisnya, diketahui sering dimuati untuk berdagang, maka keuntungannya adalah
halal, karena modal uangnya milik sendiri bersumber dari halal. Perbuatannya
dosa, karena ghashab keduanya, kuda dan perahu untuk berdagang. Akan tetapi
keuntunganya halal, karena modal uangnya halal. Hanya ia wajib membayar sewanya
kuda atau perahu. Dunia dan akhirat menjadi piutang, dan juga wajib segera
melunasi hutang itu kepada orang yang bersangkutan.
Jika salah satu keduanya, kuda dan perahu
itu disewakan kepada orang lain dan menerima bayaran, maka hukumnya haram,
karena uang sewanya itu di peroleh keluar dari kuda dan perahu. Demikian juga
orang ghashab bumi/tanah kemudian di sewakan kepada orang lain dan ia menerima
bayaran, maka hukumnya jelas haram, sebab uang itu berasal hasil dari tanah
yang dighashab itu. Berbeda kalau tanah itu ditanami sendiri dengan biji-bijian
yang halal, maka tidak haram hasil tanaman itu dimakan, hanya haram
perbuatannya dan wajib membayar sewanya bumi tersebut. Itulah faham kita.”
2.
TANBIHUN!!!
Bahwa sangkaan atau dugaan seseorang yang mengambil harta milik orang lain,
halal dan haramnya terdapat perbedaannya: Pertama bagi orang yang ceroboh,
kurang rasa takutnya kepada Allah Ta’ala itu melampaui batas, hingga jatuh pada
perbuatan haram, disangka halal. Hal ini dapat menyebabkan dirinya jatuh pada
perbuatan kufur. Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan hati yang menyangkut
soal iman dan aqidah, yang menghalalkan sesuatu yang haram. Bahaya!
Kedua, bagi orang mukmin yang punya rasa
takut kepada Allah di dalam mengambil barang milik orang lain dengan
dhan(dugaan), supaya menjaga batas kesederhanaan (lebih baiknya), sebaiknya
dimufakatkan dengan orang mukmin adil dan alim, dapat mengetahui sesuatu
pelanggaran hukum, melalui jalan ijtihadnya. Apabila timbul keragu-raguan di
dalam mengambil harta milik orang lain, maka hukumnya haram. Untuk itu
sebelumnya harus mensiapkan ijtihad yang benar.
Ijtihad yang dimaksud
bukan seperti ijtihad yang menghasilkan produk hukum seperti yang dilaksanakan
oleh para ulama Mujtahid, melainkan ijtihad dalam arti mempersiapkan diri
dengan baik sesuai petunjuk hukum, mempertimbangkan segala sesuatunya
berdasarkan hukum dhandiantaranya ialah:
1)
Sudah
kenal baik dengan pemilik barang
2)
Mengetahui
watak dan perilaku pemilik barang
3)
Barang
yang di ambil termasuk bagian yang halal
4)
Barang
yang di ambil hendaknya sebagian saja (lebih baiknya)
5)
Barang
yang di ambil bukan termasukba-rang mewah yang mahal harganya
6)
Barang
yang diambil tak perlu izin lebih dulu dari pemiliknya
7)
Tidak
timbul keragu-raguan dalam mengambil barang tersebut
8)
Barang
yang di ambil itu milik orang yang disangkanya
9)
Sebaiknya
dimufakatkan dengan orang yang adil dan alim
10)
Tidak
perlu adanya jaminan berupa barang dari pengambil
11)
Adanya
hajat mengambil barang tersebut untuk keperluan yang manfaat.
Demikian antara lain persyaratan atau ijtihad yang harus
dipersiapkan lebih dulu bagi orang yang akan mengambil barang orang lain secara
dzan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar