Senin, 14 Maret 2016

TAFSIR AYAT KONSUMSI (AL-BAQARAH: 188)




Nama              :Nila Ernila
Nim                 : 1414231087
Smt/Jurusan  : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata Kuliah  : Tafsir Ayat Ekonomi



Pembahasan:
Tafsir Indonesia : Al-Azhar
Oleh : PROF.DR.HAJI ABDULMALIK ABDULKARIM AMRULLAH (HAMKA)
HARTA TAK HALAL
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
      Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah 188)
وَلَا = dan janganlah
تَأْكُلُوا = kamu memakan
أَمْوَالَكُمْ = harta-mu
بَيْنَكُمْ = antara kamu
بِالْبَاطِلِ = dengan batil
وَتُدْلُوا بِهَا = dan kamu membawanya (harta itu)
إِلَى الْحُكَّامِ = kepada hakim
 لِتَأْكُلُوا = supaya kamu dapat memakan
فَرِيقًا = sebagian
مِنْ أَمْوَالِ = dari harta
النَّاسِ = manusia
بِالْإِثْمِ = dengan dosa
وَأَنْتُمْ = dan/padahal kamu
تَعْلَمُونَ = kamu mengetahui
      Pentinglah makanan buat hidup. Selalu Tuhan member ingat tentang makanan yang halal lagi baik, yang bersih dan sesuai dengan kita sebagai manusia. Pada ayat 168 diberi peringatan pada seluruh manusia. Kemudian ayat 172 dan 173 diperingatkan khusus kepada kaum yang beriman supaya memakan makanan yang baik-baik dan menjauhi makanan yang keji, sehingga ditunjukan apa dia yang keji itu. Dicela orang yang mata pencahariannya dengan menyembunyikan kebenaran karena mengharapkan harga yang sedikit. Kemudian sesudah menerangkan dari hal qishash diterangkan lagi tentang wasiat, dan larangan curang dalam hal wasiat, dan pujian terhadap orang yang sudi mendamaikan orang  yang berselisih tentang harta wasiat. Sesudah itu baru dibicarakan perkara puasa. Dalam bulan puasa diatur perkara makanan. Sekarang dilanjutkan lagi; ada hubungan dengan makanan atau kebersihan mata pencaharian.
“Dan janganlah kamu makan harta benda kamu diantara kamu dengan jalan yang batil.” (pangkal ayat 188). Pangkal ayat ini membawa orang yang beriman kepada kesatuan dan kekeluargaan dan persaudaraan. Sebab itu dikatakan “harta benda kamu diantara kamu.” Ditanamkan disini bahwa harta benda kawanmu itu adalah harta benda kamu juga. Kalau kamu aniaya hartanya samalah dengan kamu menganiaya hartabendamu sendiri jua. Memakan harta benda dengan jalan yang salah, ialah tidak menurut jalannya yang patut dan benar. Maka termasuklah disini segala macam penipuan, pengicuhan, pemalsuan, reklame dan adpertensi yang berlebih-lebihan; asal keuntungan masuk. Menerbitkan buku-buku cabul dan menyebarkan gambar-gambar perempuan telanjang. Pembangkit nafsu; yang kalau ditanya, maka yang membuatnya mudah saja berkata: “crai makan.” Atau kolpotir mencari pembeli suatu barang dengan memperlihatkan contoh yang bagus bermutu tinggi, padahal setelah ada persetujuan harga dan barang itu diterima, ternyata mulutnya dibawah dari contoh. Atau spekulasi terhadap barang vital dalam masyarakat, seumpama beras, ditahan lama dalam gudang karena mengharapkan harganya membumbung naik, walaupun masyarakat sudah sangat kelaparan, yang dalam agama disebut ihtikar. Atau menyediakan alat penimbang yang curang, lan yang pembeli dengan penjual.
      Ini adlah contoh-contoh, atau dapat dikemukakan 1001 contoh yang lain, yang maksudnya ialah segala usaha mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan jalan yang tidak wajar dan merugikan sesame manusia, yang selalu bertemu dalam masyarakat yang ekonominya mulai kacau. Sehingga orang beroleh kekayaan dengan penghisapan dan penipuan kepada sesamanya manusia.
      Sebab itu maka islam sangat mengharamkan riba. Karena riba benar-benar suatu pemerasan atas tenaga manusia oleh manusia. Kelihatan diluar sebagai menolong melepaskan orang dari sesak dan kesulitan, padahal dipersulit lagi dengan membayar bunga. Ketentuan tentang riba, yang disebut riba fadhal atau riba nasi’ah akan diterangkan juga kelak pada waktunya.
      Sampai-sampai pada urusan upah mengupah, dengan memberikan upah yang sangat rendah, tidak berpatutan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh yang diupah, tetapi terpaksa dikerjakan juga, karena dia lapar.
      Untuk menjaga martabat iman maka ulama-ulamapun member ingat bahwasanya orang yang tidak patut menerima zakat karena dia ada kemampuan, lalu diterimanya juga zakat itu, adalah haram hukumnya, teringatlah akan guruku Almarhum syaikh Abdulhamid Tuanku Mudo di Padang Panjang, pada suatu hari dikirimkan orang kepada beliau uang zakat dari padang. Dengan lema lembutnya uang zakat itu telah beliau tolak, karena beliau tidak merasa berhak menerimanya, sebab beliau mampu. Kata beliau, makanan dan minuman beliau cukup dan pakaian beliaupun ada walaupun cara sederhana. Padahal oleh karena usia beliau seluruhnya sudah disediakan untuk mengajar murid-murid beliau, tidaklah ada kesempatan beliau buat berusaha yang lain. Namun begitu ditolaknya juga zakat itu.
      Setenga ahli fiqh menyatakan pendapat bahwasanya seorang yang tidak ada pakaian buat shalat, sehingga boleh dikatakan bertelanjang, tidaklah wajib atasnya meminjam pakaian orang lain untuk shalat. Dari pada meminjam, tidaklah mengapa dia shalat bertelanjang.
      Termasuk juga disini “perusahaan” membuat azimat, membikin “pekasih” untuk seorang perempuan supaya lakinya tetap berkasih kepadanya. Termasuk jugalah didalamnya menerima upah membaca Surat Yasin malam Jum’at sekian kali, untuk dihadiahkan pahalanya kepada keluarga si pengupah yang telah mati. Termasuk jugalah didalamnya apa yang ketika menafsirkan ayat 174 kita sebutkan, yaitu orang-orang yang mendapat “penghasilan” dari fidyah shalat orang yang telah mati. Termasuk jugalah didalamnya orang-orang yang berdiri di pekuburan menunggu orang-orang yang akan memberinya upah membaca do’a atau bertalkin atau membaca Surat Yasin yang diupahkan keluarga orang yang berkubur disana. Lebih ganas lagi memakan harta kamu ini apabila sudah sampai membawa kemuka hakim. Sebagai lanjutan ayat: “Dan kamu bawa ke muka hakim-hakim, karena kamu hendak memakan sebahagian hartabenda manusia dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (ujung ayat 188).
      Kadang-kadang timbullah dakwa mendakwa di muka hakim. Katanya hendak mencari penyelesaian, padahal hubungan si pendakwa dengan si terdakwa telah keruh, dendam kesumat telah timbul, usahakan selesai malahan bertambah kusut.
      Orang membawa perkaranya kemuka hakim, kadang-kadang kedua pihak memakai pokrol untuk mengalahkan lawan. Tetapi yang dimaksud ialah mengambil harta yang ada ditangan orang lain dengan jalan dosa. Hal yang seperti ini kerapkali benar bertemu di zaman penjajahan di negeri kita karena kekacauan keluarga. Di minangkabau kerapkali anak dari seorang yang telah mati didakwa dimuka hakim oleh kemenakan simati  itu. Dikatakan bahwa harta benda simati yang sekarang telah ada ditangan si anak, bukanlah harta pencaharian, tetapi harta pusaka. Sampai-sampai pendakwa mengatakan bahwa meskipun dia telah mendapat harta pencaharian sendiri, namun si kemenakan masih berhak atas harta itu, sebab waktu dia akan meninggalkan kampung halaman dahulunya yang memodalinya ialah kemenakan dan saudara-saudaranya yang perempuan. Sebab itu dia dari kecil dibesarkan dengan harta pusaka.
      Di tanah Batak dan Mandailing pihak saudara daripada simati pula yang menuntut isteri daripada si mati. Karena didalam pergaulan hidup zaman sekarang, si mati dengan isterinya telah merantau meninggalkan kampung halaman dan telah mendapat rezeki dan harta pencaharian. Tetapi karena menurut adat Batak dan Mandailing si perempuan setelah kawin adalah kepunyaan keluarga suaminya, hendaklah pula harta benda mendiang suaminya diserahkan, bahkan bersama dirinya sekali, kedalam kuasa keluarga marga si laki-laki. Ini dibawa perkara kemuka hakim.
      Baik orang minangkabau si kemenakan yang mendakwa anak mamaknya atau orang Batak dan Mandailing yang mendakwa isteri saudaranya, keduanya itu orang islam. Mereka mengerti pembahagian faraidh menurut islam. Tetapi karena tamak akan harta dunia yang fana, mereka tidak keberatan mengingkari peraturan agama yang telah mereka peluk, untuk kembali kepada adat jahiliyah. “Padahal kamu mengetahui hukum agama, tetapi karena nafsu serakah harta, tidaklah diingat orang lagi hubungan keluarga, silaturahmi yang telah berpuluh tahun, dan darah yang telah bercampur dan keturunan yang telah menjadi saksi hubungan kedua belah pihak. Sampai hatilah orang pada masa itu di Minangkabau mendakwa anaknya sendiri, keturunan dari saudara yang telah mati. Karena anak yang didakwa itu, kata mereka, telah berlain sukunya, telah orang lain.
      Alhasil apa yang kita kemukakan ini hanyalah contoh-contoh belaka dari perbuatan memakan harta kamu diantara kamu dengan jalan batil dan memakan harta benda manusia dengan dosa. Maka apabila jiwa kita telah kita penuhi dengan takwa, kita sudahlah dapat menimbang dengan perasaan yang harus mana pencaharian yang halal dan mana yang batil. Itulah sebabnya maka mata hati janganlah ditujukan kepada hartabenda itu saja, tetapi ditujukanlah terlebih dahulu kepada yang memberikan anugerah harta itu, yaitu Allah. Dan disamping itu tanamkanlah perasaan bahwasanya silaturahmi sesame manusia jauh lebih tinggi nilainya daripada harta benda yang sebentar bisa punah. Apalah lagi tiap-tiap harta yang didapat dengan jalan tidak benar itu amatlah panasnya dalam tangan, membawa gelisah diri dan menghilangkan ketentraman. Sehingga walaupun diluar kelihatan mampu, pada batinnya itulah orang yang telah amat miskin, kosong dan selalu merasa puas. Ada yang hilang dari dalam diri, tetapi tidak tahu apa yang hilang itu.
      Imanlah yang hilang itu.
      Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Abbas menafsirkan “Dan janganlah kamu makan harta benda kamu diantara kamu dengan jalan batil” ini, ialah bahwa ada seorang laki-laki memegang harta orang lain, tetapi tidak ada cukup keterangan dari yang empunya, maka orang itupun memungkiri dan berkata bahwa harta itu adalah kepunyaan dirinya sendiri. Yang empunya hak mengadu kepada hakim, dia bersitegang mempertahankan bahwa harta itu dia sendiri punya, sehingga yang sebenarnya berhak menjadi teraniaya.
      Dan diriwayatkan pula menurut tafsiran Mujahid  bahwa makna ayat ini ialah: “Jangan kamu bersitegang urat leher dimuka hakim, padahal hati sanubari sendiri tahu bahwa engkaulah yang zalim.”
      Menurut satu riwayat dari Said-bin Jubair, bahwa Imru’ul-Qais bin Abi berselisih dengan Abdan bin Asywa’ al-Hadhrami perkara sebidang tanah. Lalu Imru’ul Qais bersedia bersumpah mempertahankan bahwa yang empunya ialah dia, maka turunlah ayat ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah ayat 282)
      Itulah sebabnya maka yat 282 dari Surat Al-Baqarah memerintahkan agar soal-soal hutang piutang atau petaruh dan kepercayaan dikuatkan dengan surat menyurat dan dua saksi, supaya jangan menjadi hal-hal seperti ini.
REFLEKTIF
      Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 188 dan tafsir yang saya cermati dengan beberapa sumber lain yang saya baca, saya dapat mengaitkan dan menyimpulkan mengenai konsumsi dalam islam dengan mengutip beberapa kata dari referensi referensi yang saya baca dengan beberapa patah kata yang saya tambahkan dari pemikiran saya pribadi.
      Sungguh menakutkan bukan ketika kita berani mengambil hak milik orang lain, bukan siksa di dunia saja yang kita dapatkan akan tetapi siksa di akhirat menunggu kita. Seharusnya kita bisa memaknai hidup kita dengan hal-hal yang positif. Hidup apa adanya, semampu kita, tak perlu iri dengan orang lain, tak perlu bersikap memaksakan diri untuk hidup lebih dengan cara-cara kotor.
      Ketika kita telah berani mengambil barang, hak milik orang lain sekecil apapun maka kita harus bersiap kehilangan bahkan kehilangan yang kita rasakan akan jauh lebih besar. Hati-hatilah dalam berhutang, jangan sampai kita tidak membayarnya jika kita tidak membayar hutang, sama saja kita telah mengambil hak milik orang lain.
Aku ingat ketika ayahku memiliki tanah untuk membangun rumah, namun tanah itu diminta oleh adiknya dan dengan rasa tidak enak yang ia miliki dengan terpaksa dan desakan juga maka ia harus rela menyerahkan tanah itu untuk sodaranya, dan setelah kejadian itu ibu mendapat tanah yang dikasih dari neneku, subhanallah memang Allah maha adil.
      Dan masih banyak contoh kejadian yang aku alami yang tidak bisa aku sebutkan. Pastinya Allah itu memang sangat baik dan Allah selalu memberi sesuatu yang indah dibalik duka yang kita alami. Percayalah ketika orang lain telah berani mengambil hak milik kita, Allah sebenarnya sudah menyiapkan pengganti yang akan lebih baik dan lebih baik dari apa yang hilang dari kita. Syarat Untuk Mengambil Milik Orang Lain Berdasarkan Dhan (Praduga) :
1.   TANBIHUN- Apabila seorang ghashab binatang kendaraan, misalnya kuda, perahu atau sejenisnya, diketahui sering dimuati untuk berdagang, maka keuntungannya adalah halal, karena modal uangnya milik sendiri bersumber dari halal. Perbuatannya dosa, karena ghashab keduanya, kuda dan perahu untuk berdagang. Akan tetapi keuntunganya halal, karena modal uangnya halal. Hanya ia wajib membayar sewanya kuda atau perahu. Dunia dan akhirat menjadi piutang, dan juga wajib segera melunasi hutang itu kepada orang yang bersangkutan.
      Jika salah satu keduanya, kuda dan perahu itu disewakan kepada orang lain dan menerima bayaran, maka hukumnya haram, karena uang sewanya itu di peroleh keluar dari kuda dan perahu. Demikian juga orang ghashab bumi/tanah kemudian di sewakan kepada orang lain dan ia menerima bayaran, maka hukumnya jelas haram, sebab uang itu berasal hasil dari tanah yang dighashab itu. Berbeda kalau tanah itu ditanami sendiri dengan biji-bijian yang halal, maka tidak haram hasil tanaman itu dimakan, hanya haram perbuatannya dan wajib membayar sewanya bumi tersebut. Itulah faham kita.”

2.   TANBIHUN!!! Bahwa sangkaan atau dugaan seseorang yang mengambil harta milik orang lain, halal dan haramnya terdapat perbedaannya: Pertama bagi orang yang ceroboh, kurang rasa takutnya kepada Allah Ta’ala itu melampaui batas, hingga jatuh pada perbuatan haram, disangka halal. Hal ini dapat menyebabkan dirinya jatuh pada perbuatan kufur. Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan hati yang menyangkut soal iman dan aqidah, yang menghalalkan sesuatu yang haram. Bahaya!
       Kedua, bagi orang mukmin yang punya rasa takut kepada Allah di dalam mengambil barang milik orang lain dengan dhan(dugaan), supaya menjaga batas kesederhanaan (lebih baiknya), sebaiknya dimufakatkan dengan orang mukmin adil dan alim, dapat mengetahui sesuatu pelanggaran hukum, melalui jalan ijtihadnya. Apabila timbul keragu-raguan di dalam mengambil harta milik orang lain, maka hukumnya haram. Untuk itu sebelumnya harus mensiapkan ijtihad yang benar.
      Ijtihad yang dimaksud bukan seperti ijtihad yang menghasilkan produk hukum seperti yang dilaksanakan oleh para ulama Mujtahid, melainkan ijtihad dalam arti mempersiapkan diri dengan baik sesuai petunjuk hukum, mempertimbangkan segala sesuatunya berdasarkan hukum dhandiantaranya ialah:
1)      Sudah kenal baik dengan pemilik barang
2)      Mengetahui watak dan perilaku pemilik barang
3)      Barang yang di ambil termasuk bagian yang halal
4)      Barang yang di ambil hendaknya sebagian saja (lebih baiknya)
5)      Barang yang di ambil bukan termasukba-rang mewah yang mahal harganya
6)      Barang yang diambil tak perlu izin lebih dulu dari pemiliknya
7)      Tidak timbul keragu-raguan dalam mengambil barang tersebut
8)      Barang yang di ambil itu milik orang yang disangkanya
9)      Sebaiknya dimufakatkan dengan orang yang adil dan alim
10)  Tidak perlu adanya jaminan berupa barang dari pengambil
11)  Adanya hajat mengambil barang tersebut untuk keperluan yang manfaat.
Demikian antara lain persyaratan atau ijtihad yang harus dipersiapkan lebih dulu bagi orang yang akan mengambil barang orang lain secara dzan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar