Septiyah Andong
Kamulyan
1414231104
Perbankan Syariah
3/Semester 4
Tafsir Ayat Ekonomi
Pembagian
Harta Secara Adil
Surat Al Hasyr Ayat 7
A. Teks dan Terjemahannya
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا
يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya :
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.”
B. Makna Mufradat
1. ( ﺍﻟﻔَﻲْﺀُ ) Al-Fa’i , dalam istilah para ulama Islam ialah
sesuatu (khusus harta) yang diambil/ditarik dari orang-orang kafir (non muslim)
tanpa melalui kekerasan (peperangan) dan/atau tanpa menggerakkan pasukan kuda
(mesin perang di zaman modern sekarang). Lain halnya dengan ghanimah yang
diperoleh dengan jalan kekerasan (peperangan).namun demikian, ada juga ahli
tafsir yang memaknakan al-fai dengan harta yang diperoleh orang-orang mukmin
dari orang-orang kafir, tanpa mempersoalkan apakah itu diperoleh secara damai
(al-shulh) maupun peperangan. Sementara sebagian yang lain, ada yang
mendefinisikan al-fai dengan harta yang diperoleh melalui jalan kekerasan
(peperangan) dengan merujuk kepada surat Al-Anfaal ayat 41.
2.
( 's!rßال ) Al-daulah atau Al-duulah, Makna asalnya
adalah sesuatu yang dipergilirkan sebagaimana terdapat dalam surat Ali ‘Imran
ayat 140. Kata daulah juga bisa diartikan dengan negara dan/atau pemerintah.
3.
(Ïä!$uÏYøîF{$) Al-Aghnia’ Yaitu orang-orang kaya.
C. Makna Global
Meskipun ayat di atas berbicara tentang fai (semacam
pajak kepala dalam kehidupan sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan
adalah justru perilah pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya
tidak selalu dan semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya.
Asas pemerataan
ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran
dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran.
Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan
masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh
Rasulullah.
D. Sabab al-Nuzul
Dalam suatu
riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan Badar
(Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu peperangan
bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu di
zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah.
Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung mereka
dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya
sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan
catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata. Mereka pun kemudian pergi
sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang
pada intinya adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya
untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani
Nadhir).
Dalam riwayat
lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani Nadhir,
mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat
supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai berasap
tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng.
Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai
Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang
berbuat kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi
pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka
turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.
E. Tafsir Ayat
- Tafsiran Fi-Zhilalil Qur’an Karya Sayyid Qutbh
Surah al_Hasyr Ayat 7
menjelaskan tentang Hukum Fa’i (Harta Rampasan Perang) dan Pembagiannya
Ayat ini menjelaskan
tentang hukum fa-i secara terperinci. Ia memberikan penjelasan tentang sebab
pembagian itu, dan meletakan kaidah besar dalam sisten ekonomi dan sosial dalam
masyarakat muslim.
"...supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..."
Sebagaimana ia pun meletakkan
kaidah besar dalam sistem hukum dan syariat
"...apa yang di berikan Rasul
kepadamu, maja terimalah dia. Dan, apa yang di larangnya bagimu, maka
tinggalkanlah,..."
Walaupun dua kaidah ini
kuncul berkenaan dengan penjelasan hukum fa-i dan pembagiannya, namun
sesungguhnya keduanya melampaui kasus yang terjadi itu hingga ruang-ruang yang
banyak dalam sistem sosial yang islami.
Kaidah Pertama adalah
kaidah penataan sistem ekonomi, yang mewakili salah satu bagian besar dari
asas-asas ekonomi islamk. Kepemilikan pribadi diakui dalam sistem ini, namun
dibatasi dengan kaidah ini. Yaitu kaidah,
"...supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. ..."
Sehingga, ia terhalang
beredar di antara orang-orang yang miskin. Jadi, setiap sistem yang bertujuan
agar harta benda hanya beredar di antara orang-orang yang kaya saja adalah
sistem yang bertentangan dengan tata ekonomi islami se-bagaimana ia pun
bertentangan dengan tujuan puncak dari seluruh sistem sosial kemasyarakatan.
Setiap ikatan dan muamalah dalam masyarakat Islami harus di atur. Sehingga,
tidak menciptakan kondisi seperti ini, lalu mempertahankannya bila sudah
terbentuk.
Islam telah membuktikan
bahwa secara praktis sistem nya atas dasar kaidah ini. Islam mewajibkan zakat,
dan menetapkan dua setengah persen pertahun dari pokok harta benda yang berupa
uang, dan sepuluh atau lima persen dari hasil-hasil bumi. Dan, hitunhan yang
semisal dan seharga dengannya juga ditetapkan oada hewan ternak. Penghasilan
dari harta temuan rikaz adalah dua puluh persen dan porsi itu sangat besar.
Kemudian ditetapkan bahwa empat perlima dari harta ghanimah bagi para mujahidin
baik kaya maupun miskin, sementara harta fa-i hanya di peruntukkan bagi
orang-orang yang fakir saja. Sistem yang di pilih dalam pembagian hasil
pertanian adalah muzara'ah atau musyarakah.
Seorang pemimpin berhak
mengambil kelebihan harta orang-orang yang kaya umtuk diberikan kepada fakir
miskin. Islam juga membolehkan seorang pemimpin menetapkan pajak dan beberapa
bagian dalam harta orang-orang yang kaya ketika baitul maal sedang kosong.
Islam mengharamkan riba yang keduanya merupakan sarana yang menjadikan harta
benda hanya beredar dan berputar di antara orang-orang kaya saja.
Intinya, Islam telah
membangun sistem ekonominya yang dapat merealisasikan kaidah besar di atas yang
membatasi kepemilikan pribadi di samping batasan-batasan ini.
Oleh karena itu, sistem
Islami adalah sistem yang membolehkan kepemilikan pribadi, namun ia bukanlah
seperti sistem kapitalis, sebagaimana sistem kapitalis pun tidak di nukilkan
darinya. Sistem kapitalis tidak akan langgeng tanpa sistem riba dan sistem
penimbunan. Sesungguhnya Islam itu merupakan sistem tersendiri yang berasal
dari Allah Yang Maha tahu dan Maha bijaksana. Ia tumbuh sendiri,. Berlaku
sendiri, dan bertahan hingga saat ini juga sendiri. Ia merupakan sistem yang
langja dan seimbang segala aspek-aspeknya dan sangat adil antara hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya. Juga serasi seperti serasinya alam semesta, karena ia
berasal dari sumber pencipta alam semesta ini dan alam ini serasi dan seimbang.
Sedangkan, kaidah kedua yaitu
kaidah pengambilan syariat dari sumber yang satu,
"...Apa yang di berikan Rasul
kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang di larangnya bagimu, maka
tinggalkanlah,..."
Ia mewakili sistem
hukum dan syariat dalam Islam. Jadi, kekuasaan hukum dalam Islam bersumber
kepada apa yang di bawa oleh Rasulullah baik berupa Al-Quran maupun hadits.
Umat Islam dan pemimpin tidak berhak menentang dan melanggar apa yang di bawa
oleh Rasulullah. Bila ada syariat lain yang bertentangan dengannya, maka ia
tidak memiliki kekuatan hukum, karena ia kehilangan sandaran pertama yang
darinya segala kekuatan bersumber. Dengan kata lain, umat boleh membuat syariat
yang tidak menyimpang dari syariat Islam, dan apa yang disyariatkan pasti
memiliki kekuatan hukum.
Jadi, sumber syariat
dalam Islam adalah syariat Allah yang di bawa Rasulullah. Dan, umat Islam
berdiri di atas syariat ini dan memeliharanya serta melaksanakannya. Pemimpin
qtau imam menjadi wakil umat dalam pelaksanaannya. Dalam hal inilah, ruang
lingkup hak-hak umat. Jadi, mereka tidak berhak melanggar dan menyimpang dari
syariat yang di bawa oleh Rasulullah.
Sedangkan, bila tidak
ada nash khusu yang datang dari Rasulullah mengenai permasalahan yang baru
muncul saat ini, maka caranya adalah menetapkan syariat yang tidak menyimpang
dari salah satu pokok-pokok di syariat yang di bawa oleh Rasulullah. Hal ini
tidaklah membatalkan kaidah sistem di atas, namun ia merupakan cabang darinya.
Jadi rujukan dalam setiap penetapan hukum adalah mengikuti apa yang dibawa oleh
Rasulullah.
Ayat di atas mengaitkan
dua kaidah dalam hati orang-orang yang beriman dengan sumbernya yang pertama,
yaitu Allah. Maka, mereka pun di serukan untuk bertakwa dan menakutkan mereka
dengan hukuman Allah,
"...Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."
(al-Hasyr :7)
Takwa ini merupakan
jaminan terbesar yang tidak mungkin ada tipuan di dalam nya dan manusia tidak
akan lari daripadanya. Pembagian harta fa-i dari banu Nadhir itu dibagikan
kepada para Muhajirin selain dua orang Anshar sebagai kebijaksanaan khusus, dan
untuk merealisasikan kaidah, "supaya harta itu jangam hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu." sedangkan hukum umumnya
adalah bahwa harta itu menjadi jatah bagi seluruh orang-orang yang fakir secara
umum.[1]
- Tafsir Ibnu Katsir Karya Ibnu Katsir
Firman Allah ini
menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta
benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa
mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani an-Nadhir ini, dimana
kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka
dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu
mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan
ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah. Kemudian Allah memberikan harta
benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, beliau
mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani an-Nadhir sekehendak
hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum muslimin untuk dibelanjakan
dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan oleh Allah
dalam ayat-ayat ini.
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan
kepada Rasul-Nya dari ahli qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu
untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut ayat ini,
al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan
ketentuan: 1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk
Allah dan Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama
hayatnya, dan kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin
sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim
dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang
miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang
4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah
beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum
Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar
memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar,
ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada
Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk
mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu
hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai
nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang
dan persenjataan di jalan-Nya.”
Firman-Nya,
ös1) w tbqä3t
P's!rß
tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB
(
Telah dijadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini
agar tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan
sesuai kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut
kepada fakir miskin sedikitpun.
Ketentuan hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam
beberapa kelompok sosial itu, di antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan
peredaran harta kekayaan (ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau
selamanya bergulir dan bergilir pada segelintir tangan orang-orang kaya saja
diantara mereka. Disinilah pula terletak kelebihan
esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat mementingkan asas
pemerataan disamping prinsip keadilan dan terutama keberkahan. Usaha
memeratakan peredaran ekonomi sebagaimana yang mudah disaksikan maupun terutama
dirasakan memang yang paling sulit, betapa banyak ketimpangan sosial ekonomi
dan keuangan di tengah-tengah masyarakat ini.
Kebijakan Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai
hanya kepada kaum Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum
Anshar yang kebanyakan sudah kaya atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu
atau dua orang yang benar-benar fakir. Jadi asas pemerataan
ekonomi dan keuangan model Rasulullah itu jelas dan tegas. Lebih didasarkan
atas pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan kemiskinan masyarakat, bukan
karena pertimbangan etnik dalam hal ini keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin
dan pengabaian kaum Anshar. Namun alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika
itu apalagi di zaman sekarang ini, tampaknya akan tetap terus dan terus tetap
menuai kecemburuan pihak yang tidak mendapatkan dana fai maupun dana sosial
lainnya. Hal yang maklum karena al-mal (harta), sesuai dengan makna dasarnya,
selalu memikat semua dan setiap orang tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin
ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat yang seringkali diambil oleh pemangku
kebijakan, seringkali mengabaikan asas pemerataan dan keadilan ini, meskipun
pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu jagat itu seolah-olah berasas pemerataan.
Ambil contoh pembebasan biaya pendidikan yang tidak lagi memandang perbedaan
antara yang kaya dan yang miskin atau antara yang mampu dan tidak mampu,
semuanya dibebaskan dari biaya sekolah.
!$tBur
ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Disini tampak Al-Quran
memberikan tuntunan kepada orang-orang beriman untuk bersikap tulus tanpa
embel-embel apapun dalam menerima dan mengamalkan hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk penetapan hukum tentang pembagian harta fai
yang secara lahiriah seolah-olah tidak adil itu lantaran hanya diperuntukkan
kaum Muhajirin dan tidak untuk kaum Anshar kebanyakan. Padahal, kaum Anshar
demikian besar pengorbanannya kepada penduduk asal Muhajirin.
Namun, hukum fai yang pembagiannya seperti demikian itu,
bukanlah berdasarkan kepada etnik karena Muhajirin atau disebabkan Anshar,
melainkan lebih kepada pertimbangan perwujudan keseimbangan dan pemerataan
kehidupan sosial ekonomi yang harus ditempuh dengan cara memberikan bagian
lebih kepada kaum fakir miskin yang kebetulan kala itu didominasi oleh kaum
Muhajirin yang sewaktu hijrah ke Madinah memang tidak mungkin membawa harta
kekayaan yang mereka miliki di Mekah. Sehingga apa pun yang
beliau perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang dilarangnya
maka tinggalkanlah. Karena beliau hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan
melarang keburukan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan
hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
((اذ امرتكم يامر فاتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فا جتنبوه))
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka
kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas,
bahwa keduanya telah menyaksikan Rasulullah melarang penggunaan dubba’ (sejenis
labu), hantam (guji hijau), naqir (batang kurma yang dilubangi), dan muzaffat
(tempurung yang dilumuri tir). Setelah itu Rasulullah membaca
ayat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(#qà)¨?$#ur ©!$# (
¨bÎ) ©!$# ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
ÇÐÈ
Hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dalam hal
menerima ketetepan hukum-hukum-Nya dan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya
serta meninggalkan larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah itu sangat dahsyat
hukuman-Nya mana kala hukum-hukumnya dilanggar oleh manusia.[2]
F. Istinbat Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya
diproyeksikan untuk kemaslahatan umum seperti yang dipraktikkan melalui
kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian untuk masyarakat miskin tertentu
dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
2.
Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima
bagian) yang dilakukan secara profesional, proporsional, dan prosedural itu,
semata-mata untuk mencegah kemungkinan peredaran harta kekayaan yang selalu dan
selamanya berada di dalam genggaman segelintir orang-orang kaya.
3.
Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib
diikuti oleh umatnya. Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah,
wajib dijauhi oleh umatnya.
4.
Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari
perintah ketakwaan kepada Allah, melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa
yang akan disiksa oleh Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Terjemahan. Bogor.
Pustaka Imam Asy-Syafi’i.2004
Qutbh, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an di Bawah Naungan
Al-Qur’an Jilid IX. Jakarta. Gema Insani Press. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar