Senin, 14 Maret 2016

TAFSIR AYAT PEMBAGIAN HARTA SECARA ADIL



Septiyah Andong Kamulyan
1414231104
Perbankan Syariah 3/Semester 4
Tafsir Ayat Ekonomi
Pembagian Harta Secara Adil
Surat Al Hasyr Ayat 7
A.    Teks dan Terjemahannya
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya :

“apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”





B.     Makna Mufradat

1.       ( ﺍﻟﻔَﻲْﺀُ ) Al-Fa’i , dalam istilah para ulama Islam ialah sesuatu (khusus harta) yang diambil/ditarik dari orang-orang kafir (non muslim) tanpa melalui kekerasan (peperangan) dan/atau tanpa menggerakkan pasukan kuda (mesin perang di zaman modern sekarang). Lain halnya dengan ghanimah yang diperoleh dengan jalan kekerasan (peperangan).namun demikian, ada juga ahli tafsir yang memaknakan al-fai dengan harta yang diperoleh orang-orang mukmin dari orang-orang kafir, tanpa mempersoalkan apakah itu diperoleh secara damai (al-shulh) maupun peperangan. Sementara sebagian yang lain, ada yang mendefinisikan al-fai dengan harta yang diperoleh melalui jalan kekerasan (peperangan) dengan merujuk kepada surat Al-Anfaal ayat 41.
2.      ( 's!rߊال ) Al-daulah atau Al-duulah, Makna asalnya adalah sesuatu yang dipergilirkan sebagaimana terdapat dalam surat Ali ‘Imran ayat 140. Kata daulah juga bisa diartikan dengan negara dan/atau pemerintah.
3.      (Ïä!$uŠÏYøîF{$) Al-Aghnia’ Yaitu orang-orang kaya.

C.    Makna Global
Meskipun ayat di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam kehidupan sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru perilah pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya.
Asas pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran. Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasulullah.
D.    Sabab al-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah. Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata. Mereka pun kemudian pergi sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng. Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.



E.     Tafsir Ayat
  1. Tafsiran Fi-Zhilalil Qur’an Karya Sayyid Qutbh
Surah al_Hasyr Ayat 7 menjelaskan tentang Hukum Fa’i (Harta Rampasan Perang) dan Pembagiannya
Ayat ini menjelaskan tentang hukum fa-i secara terperinci. Ia memberikan penjelasan tentang sebab pembagian itu, dan meletakan kaidah besar dalam sisten ekonomi dan sosial dalam masyarakat muslim.
"...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..."
Sebagaimana ia pun meletakkan kaidah besar dalam sistem hukum dan syariat
"...apa yang di berikan Rasul kepadamu, maja terimalah dia. Dan, apa yang di larangnya bagimu, maka tinggalkanlah,..."
Walaupun dua kaidah ini kuncul berkenaan dengan penjelasan hukum fa-i dan pembagiannya, namun sesungguhnya keduanya melampaui kasus yang terjadi itu hingga ruang-ruang yang banyak dalam sistem sosial yang islami.
Kaidah Pertama adalah kaidah penataan sistem ekonomi, yang mewakili salah satu bagian besar dari asas-asas ekonomi islamk. Kepemilikan pribadi diakui dalam sistem ini, namun dibatasi dengan kaidah ini. Yaitu kaidah,
"...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. ..."
Sehingga, ia terhalang beredar di antara orang-orang yang miskin. Jadi, setiap sistem yang bertujuan agar harta benda hanya beredar di antara orang-orang yang kaya saja adalah sistem yang bertentangan dengan tata ekonomi islami se-bagaimana ia pun bertentangan dengan tujuan puncak dari seluruh sistem sosial kemasyarakatan. Setiap ikatan dan muamalah dalam masyarakat Islami harus di atur. Sehingga, tidak menciptakan kondisi seperti ini, lalu mempertahankannya bila sudah terbentuk.
Islam telah membuktikan bahwa secara praktis sistem nya atas dasar kaidah ini. Islam mewajibkan zakat, dan menetapkan dua setengah persen pertahun dari pokok harta benda yang berupa uang, dan sepuluh atau lima persen dari hasil-hasil bumi. Dan, hitunhan yang semisal dan seharga dengannya juga ditetapkan oada hewan ternak. Penghasilan dari harta temuan rikaz adalah dua puluh persen dan porsi itu sangat besar. Kemudian ditetapkan bahwa empat perlima dari harta ghanimah bagi para mujahidin baik kaya maupun miskin, sementara harta fa-i hanya di peruntukkan bagi orang-orang yang fakir saja. Sistem yang di pilih dalam pembagian hasil pertanian adalah muzara'ah atau musyarakah.
Seorang pemimpin berhak mengambil kelebihan harta orang-orang yang kaya umtuk diberikan kepada fakir miskin. Islam juga membolehkan seorang pemimpin menetapkan pajak dan beberapa bagian dalam harta orang-orang yang kaya ketika baitul maal sedang kosong. Islam mengharamkan riba yang keduanya merupakan sarana yang menjadikan harta benda hanya beredar dan berputar di antara orang-orang kaya saja.
Intinya, Islam telah membangun sistem ekonominya yang dapat merealisasikan kaidah besar di atas yang membatasi kepemilikan pribadi di samping batasan-batasan ini.
Oleh karena itu, sistem Islami adalah sistem yang membolehkan kepemilikan pribadi, namun ia bukanlah seperti sistem kapitalis, sebagaimana sistem kapitalis pun tidak di nukilkan darinya. Sistem kapitalis tidak akan langgeng tanpa sistem riba dan sistem penimbunan. Sesungguhnya Islam itu merupakan sistem tersendiri yang berasal dari Allah Yang Maha tahu dan Maha bijaksana. Ia tumbuh sendiri,. Berlaku sendiri, dan bertahan hingga saat ini juga sendiri. Ia merupakan sistem yang langja dan seimbang segala aspek-aspeknya dan sangat adil antara hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Juga serasi seperti serasinya alam semesta, karena ia berasal dari sumber pencipta alam semesta ini dan alam ini serasi dan seimbang.
Sedangkan, kaidah kedua yaitu kaidah pengambilan syariat dari sumber yang satu,
"...Apa yang di berikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang di larangnya bagimu, maka tinggalkanlah,..."
Ia mewakili sistem hukum dan syariat dalam Islam. Jadi, kekuasaan hukum dalam Islam bersumber kepada apa yang di bawa oleh Rasulullah baik berupa Al-Quran maupun hadits. Umat Islam dan pemimpin tidak berhak menentang dan melanggar apa yang di bawa oleh Rasulullah. Bila ada syariat lain yang bertentangan dengannya, maka ia tidak memiliki kekuatan hukum, karena ia kehilangan sandaran pertama yang darinya segala kekuatan bersumber. Dengan kata lain, umat boleh membuat syariat yang tidak menyimpang dari syariat Islam, dan apa yang disyariatkan pasti memiliki kekuatan hukum.
Jadi, sumber syariat dalam Islam adalah syariat Allah yang di bawa Rasulullah. Dan, umat Islam berdiri di atas syariat ini dan memeliharanya serta melaksanakannya. Pemimpin qtau imam menjadi wakil umat dalam pelaksanaannya. Dalam hal inilah, ruang lingkup hak-hak umat. Jadi, mereka tidak berhak melanggar dan menyimpang dari syariat yang di bawa oleh Rasulullah.
Sedangkan, bila tidak ada nash khusu yang datang dari Rasulullah mengenai permasalahan yang baru muncul saat ini, maka caranya adalah menetapkan syariat yang tidak menyimpang dari salah satu pokok-pokok di syariat yang di bawa oleh Rasulullah. Hal ini tidaklah membatalkan kaidah sistem di atas, namun ia merupakan cabang darinya. Jadi rujukan dalam setiap penetapan hukum adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah.
Ayat di atas mengaitkan dua kaidah dalam hati orang-orang yang beriman dengan sumbernya yang pertama, yaitu Allah. Maka, mereka pun di serukan untuk bertakwa dan menakutkan mereka dengan hukuman Allah,
"...Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (al-Hasyr :7)
Takwa ini merupakan jaminan terbesar yang tidak mungkin ada tipuan di dalam nya dan manusia tidak akan lari daripadanya. Pembagian harta fa-i dari banu Nadhir itu dibagikan kepada para Muhajirin selain dua orang Anshar sebagai kebijaksanaan khusus, dan untuk merealisasikan kaidah, "supaya harta itu jangam hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." sedangkan hukum umumnya adalah bahwa harta itu menjadi jatah bagi seluruh orang-orang yang fakir secara umum.[1]
  1. Tafsir Ibnu Katsir Karya Ibnu Katsir
Firman Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani an-Nadhir ini, dimana kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah. Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani an-Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum muslimin untuk dibelanjakan dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan oleh Allah dalam ayat-ayat ini.
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan: 1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang 4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”
Firman-Nya,
ös1) Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB (
Telah dijadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini agar tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut kepada fakir miskin sedikitpun.
Ketentuan hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam beberapa kelompok sosial itu, di antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan peredaran harta kekayaan (ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir dan bergilir pada segelintir tangan orang-orang kaya saja diantara mereka. Disinilah pula terletak kelebihan esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat mementingkan asas pemerataan disamping prinsip keadilan dan terutama keberkahan. Usaha memeratakan peredaran ekonomi sebagaimana yang mudah disaksikan maupun terutama dirasakan memang yang paling sulit, betapa banyak ketimpangan sosial ekonomi dan keuangan di tengah-tengah masyarakat ini.
Kebijakan Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai hanya kepada kaum Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan sudah kaya atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu atau dua orang yang benar-benar fakir. Jadi asas pemerataan ekonomi dan keuangan model Rasulullah itu jelas dan tegas. Lebih didasarkan atas pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan kemiskinan masyarakat, bukan karena pertimbangan etnik dalam hal ini keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin dan pengabaian kaum Anshar. Namun alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika itu apalagi di zaman sekarang ini, tampaknya akan tetap terus dan terus tetap menuai kecemburuan pihak yang tidak mendapatkan dana fai maupun dana sosial lainnya. Hal yang maklum karena al-mal (harta), sesuai dengan makna dasarnya, selalu memikat semua dan setiap orang tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat yang seringkali diambil oleh pemangku kebijakan, seringkali mengabaikan asas pemerataan dan keadilan ini, meskipun pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu jagat itu seolah-olah berasas pemerataan. Ambil contoh pembebasan biaya pendidikan yang tidak lagi memandang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin atau antara yang mampu dan tidak mampu, semuanya dibebaskan dari biaya sekolah.
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Disini tampak Al-Quran memberikan tuntunan kepada orang-orang beriman untuk bersikap tulus tanpa embel-embel apapun dalam menerima dan mengamalkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk penetapan hukum tentang pembagian harta fai yang secara lahiriah seolah-olah tidak adil itu lantaran hanya diperuntukkan kaum Muhajirin dan tidak untuk kaum Anshar kebanyakan. Padahal, kaum Anshar demikian besar pengorbanannya kepada penduduk asal Muhajirin.
Namun, hukum fai yang pembagiannya seperti demikian itu, bukanlah berdasarkan kepada etnik karena Muhajirin atau disebabkan Anshar, melainkan lebih kepada pertimbangan perwujudan keseimbangan dan pemerataan kehidupan sosial ekonomi yang harus ditempuh dengan cara memberikan bagian lebih kepada kaum fakir miskin yang kebetulan kala itu didominasi oleh kaum Muhajirin yang sewaktu hijrah ke Madinah memang tidak mungkin membawa harta kekayaan yang mereka miliki di Mekah. Sehingga apa pun yang beliau perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena beliau hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang keburukan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
((اذ امرتكم يامر فاتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فا جتنبوه))
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, bahwa keduanya telah menyaksikan Rasulullah melarang penggunaan dubba’ (sejenis labu), hantam (guji hijau), naqir (batang kurma yang dilubangi), dan muzaffat (tempurung yang dilumuri tir). Setelah itu Rasulullah membaca ayat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ 
Hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dalam hal menerima ketetepan hukum-hukum-Nya dan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah itu sangat dahsyat hukuman-Nya mana kala hukum-hukumnya dilanggar oleh manusia.[2]
F.     Istinbat Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk kemaslahatan umum seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
2.      Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan secara profesional, proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk mencegah kemungkinan peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada di dalam genggaman segelintir orang-orang kaya.
3.      Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi oleh umatnya.
4.      Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah, melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa oleh Allah.










DAFTAR PUSTAKA


Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Terjemahan. Bogor. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.2004
Qutbh, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid IX. Jakarta. Gema Insani Press. 2003




[1] Sayyid Qutbh. Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid IX. Jakarta. Gema Insani Press. 2003. Hal.211-213.

[2] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Terjemahan. Bogor. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar