Senin, 14 Maret 2016

TAFSIR AYAT MAHAR (AN-NISA:4)



Nama              : Sri Rahayu
Nim                 : 14142321114
Smt/Jurusan  : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata Kuliah  : Tafsir Ayat Ekonomi



Pembahasan:

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (4) 

Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya.(an-nisa:4)
Makna umum ayat 4:
Khithab ayat ini ditujukan untuk suami dan wali perempuan. Allah memerintahkan kepada mereka untuk memberikan mahar kepada wanita/istri sebagai pemberian suka rela. Perintah ini merupakan kewajiban. Dan kalau si istri berbaik hati, memberikan secara ikhlas dari mahar tersebut, baik sebagian atau malah seluruhnya, maka suami/wali boleh memakannya dengan penuh kelahapan dan berharap makanan tersebut akan membawa akibat baik.



 Menurut Prof.Dr. Hamka dalam tafsir Al Azhar menyatakan bahwa:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Di dalam ayat ini maskawin itu disebut shaduqat, dan dalam kesempatan yang lain dia juga disebut juga shadaq , atau mahar.
            Untuk mengetahui hikmat yang dalam pemberian shadaq, atau shadaqut itu lebih baik kita gali pula apa arti asalnya, kata shadaq atau shaduqah yang terkenal. Didalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya ialah harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada calon isteri akan menikah. Memang, dibeberapa negeri di Indonesia ini, seumpama di sumatera timur, uang mahar itu mereka namai “uang jujur”. Kadang-kadang disebut mahar. Arti yang mendalam mahar itupun ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan. Kemudian didalam ayat inidisebut “nihlah”, yang kita artikan kewajiban. Supaya cepat saja difahami, karena memang mahar itu wajib dibayar. Qatadah memeng memberi arti: pemberian fardhu. Ibnu Juraij memberi arti: pemberian yang ditentukan jumlahnya. Dan ada pula yang berpendapat, bahwa kaat nihlah itu dari rumpunan kata an-Nahl, bermakna lebah. Lelaki mencari harta yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak menjadi madu (manisan lebah). Hasil usaha jerih- payah sucinya itulah yang diserhkan kepada calon isterinya.
            Demikianlah kita berjumpa asal kata hikmat maskawin itu dalam al-Qur’an sendiri, yang bersua dalam dua kata pertama shadugat, pemberian kepada isteri dengan hati suci, bersih, sebagai tanda telah bertali cinta. Dan kedua kata nihlah, laksana madu yang disarikan lebah dri berbagai kembang, diserahkan kepada isteri sebagai satu kewajiban. Tetapi setelah ayat ini dimasukkan kepada isteri sebagai suatu kewajiban. Tetapi setelah ayat ini dimasukkan ke dalam pencernaan ahli fiqh, hilanglah rasa yang asal oleh fikiran fiqh yang gersang itu, lalu timbul pendapat, bahwa mahar atau maskawin itu adalah “iwadh atau ganti kerugian atau harga kehormatan perempuan itu. Mendengarkan keterangan ahli fiqh yang demikian, banyaklah perempuan yang mendengarkan keterangan ahli fiqh yang demikian, banyaklah perempuan yang tahu harga diri amar bekeberatan, jika dikatakan, bahwa uang maskawin ialah untuk membeli kehormatannya.
            Selanjutnya فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا          
            Yang artinyaKemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya.
            Setelah mas-nikah diberikan , yang timbul dari hati suci bersih tadi, maka ma-nikah itu, telah menjadi hak perempuan itu. Telah menjadi dia yang empunya. Sebagaimana juga barang-barang didalam rumah itu, baik pemebrian ayah bundanya atau hadiah suaminya sendiri, mana yang telah diberikan kepadanya itu, adalah haknya mutlak. Laki-laki yang beriman dan berbudi tidk akan mengganggu hak itu. Mas-nikah itu telah dia empunya. Tetapi kalau dia sudi pula memberikan sebagian daripadanya, karena kasih saying yang telah berjalin tidaklah mengapa; yaitu setelah jelas, bahwa itu telah ke tangannya. Tetapi  denga ini tidak berarti bahwa perempuan itu atau walinya dibolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih tidaklah berarti, bahwa ketentuan agama boleh diubah. Terima dahulu mas nikah itu, maka setelah dalam tangan, bolehlah kalau hendak memeberi pula kepada suami dengan hati cinta.
            Kalau telah diketahui, bahwa mas nikah itu adlaah shdaqat atau shidiq, yang berarti alamat kejujruan hati dan diberikan sebagai nihlah, kewajiban yang laksana air madu, dan telah diketahui pula, bahwa kata ‘iwadh, yang disebut oleh beberapa ahli Fiqh sebagai ganti kerugian atau harga kehormatan, kuranglah sebagai dengan persaan halus, maka sekarang terserahlah kepada yang bersangkutan berapa mahar iru akan dibayar. Bayarlah secara patut dan mungkin.
            Khalifah Al-Ma’mun dari bani abbas ketika menikah dengan puteri bauran, anak wazir besar baginda yang bernama Fadhl bin Shal, telah membayar maskawinnya dengan berates-ratus talam emas yang masing-masing penuh dengan uaang emas (dinar). Dan semua pelita lilin di istana menyala-nyala. Sedang minak daripada lilin-lilin itu dari minyak ‘Anbar yang harum semerbak dicampuri lagi dengan kesturi yang telah digiling halus. Sehigga hari-hari pernikahan itu dicatat orang-orang dalam sejarah sebagai suatu perjamuan yang sangat mewah dan mahar yang sangat mahal. Itu semuanya adalah sesuai dengan kekayaan Al-Ma’mun yang berlimpah-limpah.
            Dan boleh pula menikah denganhanya membayar mas nikah sebentuk cincin dari besi ataupun lebih ganjil lagi, yaitu membayar mahar dengan hanya mempelai laki-laki mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an kepada mempelai perempuan. Yang demikian boleh belaka, asal ridha sama ridha.
            Pada suatu hari datanglah seorang perempuan ke hadapan majlis Rasulallah, menghadiahkan dirinya kepada Rasulallah s.a.w. artinya kalau beliau sudi mengambilnya jadi isterinya. Permepuan itu dating ke majlis Rasulallah yang dihadiri oleh banyak sahabat beliau. Dan perempuan itupun bersedia menerima keputusan Rasulallah s.a.w. , jika beliau nikahkan dengan laki-laki lain.
            Sebelum Rasulallah memberikan jawabannya untuk mengabulkan atau menolak kesediaan perempuan itu tiba-tiba masuklah seorang laki-laki muda, yang pada pakaian lahirnya kelihatan, bahwa dia seorang yang miskin, tetapi pada wajahnya terbayang ketulusan dan kejujuran. Belum beberapa saat dia duduk, dia menyatakan kepada Rasulallah s.a.w. suatu keinginan yang besar, yaitu hendak menikah. Kalau dia dapat isteri, mugkin keadaan hidupnya akan lebih baik dan tenteram, sebab sudah ada tanggung jawab.
            Dengan kedatangan laki-laki ini Rasulallah mendapat jalan yang baik sekali untuk meladeni keinginan perempuan itu. Lalu beliau bertanya sudikah dia jika Rasulallah carikan seorang suami. Dan suami itu adalah pemuda yang ingin dicarikan isteri ini.
            Perempuan itu menjawab, bahwa kalau Rasulallah tidak suka menerimanya menjadi isteri beliau, diapun rela menerima laki-laki lain yang ditunjuk oleh Rasulallah.
            Inilah alamat ketaatan yang amat mesra dari seorang ummat terhadap Rasulallah s.a.w.
            Lalu beliau tanyakan pula, sudah pemuda itu menikah dengan perempuan ini.
            Pemuda itupun menyatakan suka, kalau Rasulallah yang menunjuk.
            Lalu Rasulallah memperingatkan, bahwa kalau menikah hendaklah membayar shadaq atau mas nikah. Tidak ada mas nikah bagaimana bisa menikah? Pemuda itu menjawab, bahwa dia tidak mempunyai apa-apa yang akan diberikannya kepada calon isterinya sebagai shadaq.
            Rasulallah s.a.w. memperingatkan lagi kepadanya, bahwa mahar itu perlu. Mahar adalah salah satu rukun atau bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu pernikahan. Dia mesti berusaha mencarinya. Lebih lekas, lebih baik. Kalau mahar itu ada sekarang, sekarang jugapun dia dapat dinikahkan. Maka berkatalah beliau:

اِلْتَمِسْ وَلَوْخَاتَمًامِنْ حَدِيْدٍ
“pergilah cari, walaupun sebentuk cincin besi”
Pemuda itupun keluarlah dari majlis, pergi mencari mahar untuk mahar, walaupun hanya sebentuk cincin besi. Entah dia betul-betul mencari entah tidak, ahli riwayat tidaklah menerangkan. Cuma beberapa saat kemudian diapun kembali. Mengatakan terus terang kepada Rasulallah sebentuk cincin besipun tidak ada didapatnya.
            Dengan senyumnya Rasulallah bertanya: “Adakah engkau menghafal al-Qur’an? Dan kalau ada, berapa yang engkau hafal?”
            Dengan gembira pemuda itu menjawab: “Balaa ya Rasulallah!” Artinya yang tepat “kalau itu yang engkau tanyakan ya Rasulallah, itu ada padaku. Aku hafal surat al-Baqarah seluruhnya demikian juga dengan surat ali Imran dan beberapa surat panjang yang lain.”
            “kalau begitu, aku nikahkanlah engkau dengan perempuan ini, dengan mahar-mahar ayat al-Qur’an yang engkau hafal itu!” (aku nikahkanlah engkau dengan dia dengan (mahar) ayat-ayat al-Qur’an yang ada pada engkau itu).
            Perempuan itupun sekali-kali tidak membantah. Dia terima dengan senang hati apa yang telah diputuskan oleh Rasulallah s.a.w sebab menyerahkan diri yang dia maksud bukanlah semata-mata supaya Nabi yang memperisterinya. Bahkan lebih luas dari itu. Yaitu menyerahkan diri juga untuk dinikahkan oleh Rasulallah s.a.w. dengan laki-laki lain yang beliau tunjuk. Si laki-lakipun berjanji akan mengajarkan segala ayat yang telah dihafalnya itu kepada isterinya apabila mereka sudah mendirikan rumah tangga.
            Maka keluarlah mereka dari dalam majlis Rasul dengan muka yang berseri-seri, karena rasa bahagia. Dapat mengisi perintah agama, yaitu taat kepada Rasul atas putusan yang telah beliau keluarkan, lagi yakin bahwasanya apa yang telah diputuskan Rasul itu adalah lebih baik bagi ereka untuk selama-lamanya.
            Disini nyatalah, bahwa kita dapat menerima pendapat setengah ahli-ahli fiqh, bahwa mahar tau shadaq, shaduqat atau mas nikah itu adalah ‘iwadh, ganti kerugian atau ganti kehormatan yang menyebabkan faraj merempuan yang semula haram menjadi halal. Teranglah sekarang, bahwa shadaq adalah alamat rumah tangga yang mulai didirikan atas dasar kejujuran. Dengan mengingat, bahwa rumpun kata shadaq dengan kata shidiq dan shadaqah adalah satu, dan artinyapun adalah satu, yaitu kejujuran. Sesuailah dengan isi pesan Rasulallah s.a.w. kepada setiap laki-laki, agar memelihara isterinya baik-baik, dengan jujur dan setia.
            Sebab perempuan adalah amanat Allah di atas pundak suaminya. Dan dengan kalimat Allahlah kehormatan perempuan itu menjadi halal bagi si laki-laki. Kalimat Allah lebih mahal daripada penilaian cincin besi, atau ayat al-Qur’an atau dinar emas di dalam berates-ratus talam emas, dibawah semerbak bau anbar dan kesturi.
            Teringat pula kita salinan yang indah atas shadaq itu di Indonesia ini. Orang-orang melayu sumatera timur menamainya mahar atau mas itu, uang jujur. Buka ganti kerugian “kehormatan” (iwadh), sebagai kata setengah ahli fiqh itu.
            Sebaliknya apabila intisari maksud shadaq atau nihlah tidak diperhatikan lagi, dan iman kepada Allah tidak lagi menjadi parti suatu pernikahan sehingga menikahkan seorang anak perempuan sudah dipandang menjadi suatu perniagaan, meminta mahar yang tinggi tidak terpikul oleh laki-laki yang meminang. Pada waktu demikian akan sulitlah pernikahan padahal Rasulallah menyuruh mempermudahnya. Maka banyaklah gadis yang sudah beruban, karena orang tuanya terlalu “menahan harga.” Beginilah yang terjadi di beberapa negeri islam pada zaman kita ini, seumpama di Hejaz (makkah, madinah) sendiri, atau dipakistan dan kalangan ummat islam di India. Laki-laki lama baru menikah karena terlalu lama mengumpulkan harta untuk mahar. Dan perempuan menjadi gadis tua, karena ayahnya terlalu tahan harga.
            Adapun di negeri-negeri Islam yang sudah kemasukan pengaruh barat timbul pula kesulitan nikah. Karena perempuan sudah terlalu banyak keluar dan terlalu banyak kehendaknya, sehingga di dalam membentuk suatu rumahtangga, perhatian orang  terlalu ditumpahkan kepada kemewahan benda, dan tidak ingat lagi bahwa pernikahan adalah AMANAT ALLAH dan hanyalah pergaulan adalah setelah dibuka kuncinya dengan KALIMAT ALLAH.[1]


Menurut sayyid Quthb pada tafsir fi zhilalil Qur’an tentang maskawin yakni bahwa ayat ini memeberikan hak yang jelas kepada wanita dan hak keperdataan mengenai maskawinnya. Juga menginformasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat jahiliah dimana hak ini dirampas dalam berbagai bentuknya. Misalnya, pemegang hak maskawin ini ditangan wali dan ia berhak mengambilnya untuk dirirnya, seakan-akan wanita itu merupakan objek jual-beli, sedang si wali sebagai pemiliknya. Atau, misalnya, apa yang disebut “nikah syighar”, yaitu siwali menikahkan wanita yang ada dalam kewaliannya dengan lelaki lain, dengan catatan lelaki itu harus menikahkan seorang wanita yang ada dalam kewalian nya kepadanya ( tanpa mas kawin ), satu dengan satu, sebagai jual beli antara kedua wali itu. Kedua wanita itu tidak mempunyai hak apa- apa sama sekali, seperti halnya tukar- menukar hewan. Maka, islam mengharamkan pernikahan model ini secara total dan menjadikan pernikahan sebagai pertemuan dua jiwa yang saling mencintai dan atas kehendak mereka. Juga menjadikan maskawin sebagai hak wanita untuk dimilikinya, bukan milik si wali.
            Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya, untuk dimiliki si wanita sebagai suatu kewajiban dari lelaki kepadanya yang tidak boleh ditentang.islam mewajibkan si suami memberikan maskawin sebagai “nihlah” ( pemberian yang khusus kepada si wanita ) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana halnya memberikan hibah dan pemberian. Apakah si istri merelakan maskawin itu- sebagian atau merelakan maskawin itu- seluruhnya kepada suaminya, maka si istri itu mempunyai hak penuh untuk melakukannya dengan senang dan rela hati , dan si suami boleh menerima dan memakan apa yang diberikan istrinya itu dengan senang hati. Karena hubungan antara suami- istri seharusnya didasarkan pada kerelaan yang utuh, kebebasan yang mutlak, kelapangan dada, dan kasih saying yang tidak terluka dari kedua belah pihak.
            Dengan memberlakukan aturan seperti ini, islam hendak menjauhkan sisa- sisa system jahiliah mengenai urusan wanita dan maskawin nya, hak-haknya terhadap dirinya dan harta bendanya, kehormatan dan kedudukannya. Pada waktu yang sama, islam tidak mengeringkan hubungan antara wanita dan suaminya, dan tidak menegakkan kehidupan rumah tangganya dengan semata-mata memberlakukan peraturan secara kaku, melainkan memberinya kelapangan dan keleluasaan, saling merelakan, dan kasih saying untuk mewarnai kehidupan bersamanya, dan untuk menyegarkan suasana kehidupannya.[2]




Pendapat saya, Setelah para mufassir menjelaskan panjang lebar tentang surah an-Nisa ayat 4 tentang mahar atau maskawin yang dimana sebagai salah satu dibidang ekonomi wanita diposisikan sebagai konsumen dari calon mempelai pria.
            Sebagaimaan telah dipaparkan bahwa maskawin sangatlah penting bahkan bisa juga disebut wajib diberbagai kalangan termasuk Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atau ganti rugi yang semula farj wanita haram menjadikannya halal.
            Dan tidak serta merta maskawin yang diberikan oleh calon suami kepada calon isteri diberikan dengan kesewenang-wenangan atau pembeda mana yang kaya dan mana yang miskin dari dzat karat yang dikandung emas sebagai mahar tersebut, melainkan dari hati yang tulus, tanpa ada paksaan, dan ikhlas disertai lapang dada.
            Konsentrasi sebuah ayat yang secara jamblang ditafsirkan oleh Prof.Dr. Hamka dan sayyid Quthb merupakan bentuk nyata dari paradigm bahwa begitu dimuliakannya seorang perempuan dalam suatu pernikahan yang dihargai dengan mahar atau biasa disebut mas-kawin.
            Begitupun islam ia sangat menjunjung harkat dan mar`tabat perempuan yang tidak sewenang-wenang atas ketidak berdayaan suatu ummah, dengan filosofi yang menjadikannya lebih bernilai dimata keberagaman agama dan sucinya farj perempuan yang harus dihalalkan terlebih dahulu dengan ganti rugi berupa mahar/mas kawin. Adapun hikmahnya, yaitu:
1. Dalam ayat sebelumnya, diterangkan keharaman kedhaliman terhadap anak yatim yang dinikahi, dengan berbagai bentuk kedhaliman termasuk diantaranya adalah dengan tidak memberikan mahar yang lanyak untuknya.Maka, pada ayat ini Allah menegaskan perintah pemberian mahar untuk istri.

2. Perintah memberikan mahar tidak hanya tertuju bagi suami yang menikahi perempuan, tetapi juga untuk orang tua. Hal ini karena dalam tradisi Arab jahiliah, anak perempuan itu seperti diperdagangkan. Kalau mau menikahkan, orang tua minta mahar yang mahal agar bisa menguasai harta tersebut. Bahkan tradisi buruk semacam itu masih berlangsung samapai sekarang dibeberapa kalangan masyarakat. Karenanya Islam dengan tegas menghapus tradisi itu, dan mahar dijadikan hak mutlak istri (wanita). Menurut Imam Al-Qurthubi, kewajiban memeberikan mahar kepada isteri, merupakan sesuatu yang telah disepakati para ulama.

3. Kata نِحْلَةً :walaupun artinya adalah pemberian suka rela. Tapi disini dijadikan sesuatu kewajiban. Penggunaan kata tersebut, dimaksudkan bahwa ketika suami memberikan mahar kepada istri itu harus penuh keikhalasan. Didasari kecintaan dan kesenangan hati untuk memberikan dengan tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun dari pihak manapun.

4.  Secara umum, kita diperintahkan untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Sebagaimana dalam kalam Allah (Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.). Termasuk dalam hal ini adalah apa yang diberikan kepada istri berupa mahar. Meskipun ada hadits ”Sebaik-baik wanita adalah yang paling mudah maharnya” (HR. Ibnu Hibban). Hal Itu bukan berarti pihak laki-laki semena-mena dalam memberikan mahar. Karena hadis ini lebih tertuju kepada pihak perempuan atau walinya untuk tidak mempersulit dan meninggikan mahar yang diinginkan. Sehingga mempersulit terjadinya pernikahan yang mengakitbatkan berbagai kerusakan dimasyarakat. Seperti banyaknya perawan tua, berbagai pelecehan seksual dan kerusakan akhlak pemuda. Maka kewajiban bagi pemerintah atau individu yang mampu untuk memberikan solusi terhadap kendala sulitnya pernikahan.

5.  Mahar adalah hak mutlak istri, suami tidak boleh memintanya. Kalaupun meminjamnya haruslah dengan izin sang Istri. Karena pernikahan itu bukan berarti menghilangkan hak-hak Istri. Walaupun bagi suami istri berhak untuk membuat kelonggaran diantara mereka. Yang penting tidak terjadi kedholiman dalam kelarga. Karenanya, mahar yang diberikan secara hutang (tidak kontan) tetapsudah menjadi hak istri walaupun belum diterima, sehingga kapanpun istri memintanya, suami wajib memberikannya. Menurut Imam Zamakhsyari ”ayat ini untuk memperketat agar suami tidak semena-mena kepada istri, lalu meminta atau memaksa istri untuk memberikan maharnya.”

6.   Seorang istri apabila memberikan maharnya –seluruh atau sebagian- dengan ikhlas tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka suami boleh menerimanya, untuk apa saja, meskipun dalam ayat ini memakai redaksi “makanlah”. Hal karena umumnya orang bekerja apa saja itu untuk  mengisi perut.

7.     هَنِيئًا مَرِيئًا, artinya yang kamu makan itu 100% halal. Allah menyatakan ini karena mungkin orang merasa tidak enak, kurang sreg untuk menggunakan mahar istrinya meskipun si istri memberikannya secara suka rela. Sebagian ahli tafsir menggunakan potongan ayat ini untuk menegaskan bahwa apa yang kita hasilkan dari kerja yang halal akan membawa minimal dua hal, yaitu kalau kita makan merasa tenang, dan membawa kesehatan dan kesejahteraan. Berbeda dengan harta yang haram, walaupun makanannya enak, belum tentu membawa mari`a (manfaat baik untuk tubuh kita), secara fisik maupun non fisik. Non fisik seperti dimudahkan badan untuk beribadah dan berkarya mulia.

8. Tersirat dalam ayat ini bahwa hukum aslinya mahar itu harus berupa materi, karena bisa diberikan dan dirasakan kemanfaatannya oleh istri. Walaupun para ulama berdasarkan riwayat beberapa hadits membolehkan mahar dengan berupa bacaan atau hafalan Al-Qur`an selama istri rela. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan kondisi seseorang yang kesulitan untuk menikah.

9. Bolehkah istri meminta kembali mahar yang telah diberikanya kepada suami? Ada perbedaan pendapat, namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa hak dia untuk menarik kembali mahar yang telah diberikannya. Karena kalau dia betul-betul memberkan ikhlas karena Allah, pasti tidak akan meminta lagi. Artinya, kalau meminta kembali itu berarti dia tidak ikhlas. Kholifah Umar bin Khathab menulis untuk seluruh hakim, bahwa ketika wanita memberikan hartanya, baik dengan suka rela atau terpaksa, kemudian  menarik kembali maka dia berhak untuk mengambilnya lagi.



[1] Hamka. Tafsir al-Azhar juz 4. Pt pustaka panjimas. Jakarta. 1983. Hal. 261-264
[2] Tafsir fi zhilalil-Qur’an IV. sayyid Quthb. Gema Insani Press. Jl. Kalibata utara. 2001 hal 123-124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar