Nama
: Sri Rahayu
Nim : 14142321114
Smt/Jurusan : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata
Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
Pembahasan:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (4)
Artinya:
Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya.(an-nisa:4)
Makna umum ayat 4:
Khithab ayat ini ditujukan untuk suami dan wali
perempuan. Allah
memerintahkan kepada mereka untuk memberikan mahar kepada wanita/istri sebagai
pemberian suka rela. Perintah ini merupakan kewajiban. Dan kalau si istri
berbaik hati, memberikan secara ikhlas dari mahar tersebut, baik sebagian atau
malah seluruhnya, maka suami/wali boleh memakannya dengan penuh kelahapan dan
berharap makanan tersebut akan membawa akibat baik.
Menurut
Prof.Dr. Hamka dalam tafsir Al Azhar menyatakan bahwa:
وَآَتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Di dalam ayat ini maskawin itu disebut shaduqat, dan dalam kesempatan
yang lain dia juga disebut juga shadaq , atau mahar.
Untuk
mengetahui hikmat yang dalam pemberian shadaq, atau shadaqut itu lebih
baik kita gali pula apa arti asalnya, kata shadaq atau shaduqah yang terkenal.
Didalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya ialah
harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada calon
isteri akan menikah. Memang, dibeberapa
negeri di Indonesia ini, seumpama di sumatera timur, uang mahar itu mereka
namai “uang jujur”. Kadang-kadang disebut mahar. Arti yang mendalam mahar
itupun ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan.
Kemudian didalam ayat inidisebut “nihlah”, yang kita artikan kewajiban. Supaya
cepat saja difahami, karena memang mahar itu wajib dibayar. Qatadah memeng
memberi arti: pemberian fardhu. Ibnu Juraij memberi arti: pemberian
yang ditentukan jumlahnya. Dan ada pula yang berpendapat, bahwa kaat nihlah
itu dari rumpunan kata an-Nahl, bermakna lebah. Lelaki mencari harta
yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak menjadi madu (manisan
lebah). Hasil usaha jerih- payah sucinya itulah yang diserhkan kepada calon
isterinya.
Demikianlah kita berjumpa asal kata
hikmat maskawin itu dalam al-Qur’an sendiri, yang bersua dalam dua kata pertama
shadugat, pemberian kepada isteri dengan hati suci, bersih, sebagai tanda telah
bertali cinta. Dan kedua kata nihlah, laksana madu yang disarikan lebah
dri berbagai kembang, diserahkan kepada isteri sebagai satu kewajiban. Tetapi
setelah ayat ini dimasukkan kepada isteri sebagai suatu kewajiban. Tetapi
setelah ayat ini dimasukkan ke dalam pencernaan ahli fiqh, hilanglah rasa yang
asal oleh fikiran fiqh yang gersang itu, lalu timbul pendapat, bahwa mahar atau
maskawin itu adalah “iwadh atau ganti kerugian atau harga kehormatan
perempuan itu. Mendengarkan keterangan ahli fiqh yang demikian, banyaklah
perempuan yang mendengarkan keterangan ahli fiqh yang demikian, banyaklah
perempuan yang tahu harga diri amar bekeberatan, jika dikatakan, bahwa uang
maskawin ialah untuk membeli kehormatannya.
Selanjutnya فَإِنْ
طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Yang
artinya “Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi
baik akibatnya.”
Setelah
mas-nikah diberikan , yang timbul dari hati suci bersih tadi, maka ma-nikah
itu, telah menjadi hak perempuan itu. Telah menjadi dia yang empunya.
Sebagaimana juga barang-barang didalam rumah itu, baik pemebrian ayah bundanya
atau hadiah suaminya sendiri, mana yang telah diberikan kepadanya itu, adalah
haknya mutlak. Laki-laki yang beriman dan berbudi tidk akan mengganggu hak itu.
Mas-nikah itu telah dia empunya. Tetapi kalau dia sudi pula memberikan sebagian
daripadanya, karena kasih saying yang telah berjalin tidaklah mengapa; yaitu
setelah jelas, bahwa itu telah ke tangannya. Tetapi denga ini tidak berarti bahwa perempuan itu
atau walinya dibolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih
tidaklah berarti, bahwa ketentuan agama boleh diubah. Terima dahulu mas nikah
itu, maka setelah dalam tangan, bolehlah kalau hendak memeberi pula kepada
suami dengan hati cinta.
Kalau
telah diketahui, bahwa mas nikah itu adlaah shdaqat atau shidiq, yang
berarti alamat kejujruan hati dan diberikan sebagai nihlah, kewajiban
yang laksana air madu, dan telah diketahui pula, bahwa kata ‘iwadh, yang
disebut oleh beberapa ahli Fiqh sebagai ganti kerugian atau harga kehormatan,
kuranglah sebagai dengan persaan halus, maka sekarang terserahlah kepada yang
bersangkutan berapa mahar iru akan dibayar. Bayarlah secara patut dan mungkin.
Khalifah
Al-Ma’mun dari bani abbas ketika menikah dengan puteri bauran, anak wazir besar
baginda yang bernama Fadhl bin Shal, telah membayar maskawinnya dengan
berates-ratus talam emas yang masing-masing penuh dengan uaang emas (dinar).
Dan semua pelita lilin di istana menyala-nyala. Sedang minak daripada
lilin-lilin itu dari minyak ‘Anbar yang harum semerbak dicampuri lagi dengan kesturi
yang telah digiling halus. Sehigga hari-hari pernikahan itu dicatat orang-orang
dalam sejarah sebagai suatu perjamuan yang sangat mewah dan mahar yang sangat
mahal. Itu semuanya adalah sesuai dengan kekayaan Al-Ma’mun yang
berlimpah-limpah.
Dan
boleh pula menikah denganhanya membayar mas nikah sebentuk cincin dari besi
ataupun lebih ganjil lagi, yaitu membayar mahar dengan hanya mempelai laki-laki
mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an kepada mempelai perempuan. Yang demikian
boleh belaka, asal ridha sama ridha.
Pada
suatu hari datanglah seorang perempuan ke hadapan majlis Rasulallah,
menghadiahkan dirinya kepada Rasulallah s.a.w. artinya kalau beliau sudi
mengambilnya jadi isterinya. Permepuan itu dating ke majlis Rasulallah yang
dihadiri oleh banyak sahabat beliau. Dan perempuan itupun bersedia menerima
keputusan Rasulallah s.a.w. , jika beliau nikahkan dengan laki-laki lain.
Sebelum
Rasulallah memberikan jawabannya untuk mengabulkan atau menolak kesediaan
perempuan itu tiba-tiba masuklah seorang laki-laki muda, yang pada pakaian
lahirnya kelihatan, bahwa dia seorang yang miskin, tetapi pada wajahnya
terbayang ketulusan dan kejujuran. Belum beberapa saat dia duduk, dia
menyatakan kepada Rasulallah s.a.w. suatu keinginan yang besar, yaitu hendak
menikah. Kalau dia dapat isteri, mugkin keadaan hidupnya akan lebih baik dan
tenteram, sebab sudah ada tanggung jawab.
Dengan
kedatangan laki-laki ini Rasulallah mendapat jalan yang baik sekali untuk
meladeni keinginan perempuan itu. Lalu beliau bertanya sudikah dia jika
Rasulallah carikan seorang suami. Dan suami itu adalah pemuda yang ingin
dicarikan isteri ini.
Perempuan
itu menjawab, bahwa kalau Rasulallah tidak suka menerimanya menjadi isteri
beliau, diapun rela menerima laki-laki lain yang ditunjuk oleh Rasulallah.
Inilah
alamat ketaatan yang amat mesra dari seorang ummat terhadap Rasulallah s.a.w.
Lalu
beliau tanyakan pula, sudah pemuda itu menikah dengan perempuan ini.
Pemuda
itupun menyatakan suka, kalau Rasulallah yang menunjuk.
Lalu
Rasulallah memperingatkan, bahwa kalau menikah hendaklah membayar shadaq atau
mas nikah. Tidak ada mas nikah bagaimana bisa menikah? Pemuda itu menjawab,
bahwa dia tidak mempunyai apa-apa yang akan diberikannya kepada calon isterinya
sebagai shadaq.
Rasulallah
s.a.w. memperingatkan lagi kepadanya, bahwa mahar itu perlu. Mahar adalah salah
satu rukun atau bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu pernikahan. Dia
mesti berusaha mencarinya. Lebih lekas, lebih baik. Kalau mahar itu ada
sekarang, sekarang jugapun dia dapat dinikahkan. Maka berkatalah beliau:
اِلْتَمِسْ وَلَوْخَاتَمًامِنْ حَدِيْدٍ
“pergilah cari,
walaupun sebentuk cincin besi”
Pemuda itupun keluarlah dari majlis, pergi
mencari mahar untuk mahar, walaupun hanya sebentuk cincin besi. Entah dia
betul-betul mencari entah tidak, ahli riwayat tidaklah menerangkan. Cuma
beberapa saat kemudian diapun kembali. Mengatakan terus terang kepada
Rasulallah sebentuk cincin besipun tidak ada didapatnya.
Dengan senyumnya Rasulallah
bertanya: “Adakah engkau menghafal al-Qur’an? Dan kalau ada, berapa yang engkau
hafal?”
Dengan gembira pemuda itu menjawab:
“Balaa ya Rasulallah!” Artinya yang tepat “kalau itu yang engkau tanyakan ya
Rasulallah, itu ada padaku. Aku hafal surat al-Baqarah seluruhnya demikian juga
dengan surat ali Imran dan beberapa surat panjang yang lain.”
“kalau begitu, aku nikahkanlah
engkau dengan perempuan ini, dengan mahar-mahar ayat al-Qur’an yang engkau
hafal itu!” (aku nikahkanlah engkau dengan dia dengan (mahar) ayat-ayat
al-Qur’an yang ada pada engkau itu).
Perempuan itupun sekali-kali tidak
membantah. Dia terima dengan senang hati apa yang telah diputuskan oleh
Rasulallah s.a.w sebab menyerahkan diri yang dia maksud bukanlah semata-mata
supaya Nabi yang memperisterinya. Bahkan lebih luas dari itu. Yaitu menyerahkan
diri juga untuk dinikahkan oleh Rasulallah s.a.w. dengan laki-laki lain yang
beliau tunjuk. Si laki-lakipun berjanji akan mengajarkan segala ayat yang telah
dihafalnya itu kepada isterinya apabila mereka sudah mendirikan rumah tangga.
Maka keluarlah mereka dari dalam
majlis Rasul dengan muka yang berseri-seri, karena rasa bahagia. Dapat mengisi
perintah agama, yaitu taat kepada Rasul atas putusan yang telah beliau
keluarkan, lagi yakin bahwasanya apa yang telah diputuskan Rasul itu adalah
lebih baik bagi ereka untuk selama-lamanya.
Disini nyatalah, bahwa kita dapat
menerima pendapat setengah ahli-ahli fiqh, bahwa mahar tau shadaq, shaduqat
atau mas nikah itu adalah ‘iwadh, ganti kerugian atau ganti kehormatan yang
menyebabkan faraj merempuan yang semula haram menjadi halal. Teranglah
sekarang, bahwa shadaq adalah alamat rumah tangga yang mulai didirikan atas
dasar kejujuran. Dengan mengingat, bahwa rumpun kata shadaq dengan kata shidiq
dan shadaqah adalah satu, dan artinyapun adalah satu, yaitu kejujuran.
Sesuailah dengan isi pesan Rasulallah s.a.w. kepada setiap laki-laki, agar
memelihara isterinya baik-baik, dengan jujur dan setia.
Sebab perempuan adalah amanat Allah
di atas pundak suaminya. Dan dengan kalimat Allahlah kehormatan perempuan itu
menjadi halal bagi si laki-laki. Kalimat Allah lebih mahal daripada penilaian
cincin besi, atau ayat al-Qur’an atau dinar emas di dalam berates-ratus talam
emas, dibawah semerbak bau anbar dan kesturi.
Teringat pula kita salinan yang
indah atas shadaq itu di Indonesia ini. Orang-orang melayu sumatera timur
menamainya mahar atau mas itu, uang jujur. Buka ganti kerugian “kehormatan”
(iwadh), sebagai kata setengah ahli fiqh itu.
Sebaliknya apabila intisari maksud
shadaq atau nihlah tidak diperhatikan lagi, dan iman kepada Allah tidak
lagi menjadi parti suatu pernikahan sehingga menikahkan seorang anak perempuan
sudah dipandang menjadi suatu perniagaan, meminta mahar yang tinggi tidak
terpikul oleh laki-laki yang meminang. Pada waktu demikian akan sulitlah
pernikahan padahal Rasulallah menyuruh mempermudahnya. Maka banyaklah gadis
yang sudah beruban, karena orang tuanya terlalu “menahan harga.” Beginilah yang
terjadi di beberapa negeri islam pada zaman kita ini, seumpama di Hejaz
(makkah, madinah) sendiri, atau dipakistan dan kalangan ummat islam di India.
Laki-laki lama baru menikah karena terlalu lama mengumpulkan harta untuk mahar.
Dan perempuan menjadi gadis tua, karena ayahnya terlalu tahan harga.
Adapun di negeri-negeri Islam yang
sudah kemasukan pengaruh barat timbul pula kesulitan nikah. Karena perempuan
sudah terlalu banyak keluar dan terlalu banyak kehendaknya, sehingga di dalam
membentuk suatu rumahtangga, perhatian orang
terlalu ditumpahkan kepada kemewahan benda, dan tidak ingat lagi bahwa pernikahan
adalah AMANAT ALLAH dan hanyalah pergaulan adalah setelah dibuka kuncinya
dengan KALIMAT ALLAH.[1]
Menurut sayyid Quthb pada tafsir fi zhilalil Qur’an
tentang maskawin yakni bahwa ayat ini memeberikan hak yang jelas kepada wanita
dan hak keperdataan mengenai maskawinnya. Juga
menginformasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat jahiliah dimana hak ini
dirampas dalam berbagai bentuknya. Misalnya, pemegang hak maskawin ini ditangan
wali dan ia berhak mengambilnya untuk dirirnya, seakan-akan wanita itu
merupakan objek jual-beli, sedang si wali sebagai pemiliknya. Atau, misalnya,
apa yang disebut “nikah syighar”, yaitu siwali menikahkan wanita yang ada dalam
kewaliannya dengan lelaki lain, dengan catatan lelaki itu harus menikahkan
seorang wanita yang ada dalam kewalian nya kepadanya ( tanpa mas kawin ), satu
dengan satu, sebagai jual beli antara kedua wali itu. Kedua wanita itu tidak
mempunyai hak apa- apa sama sekali, seperti halnya tukar- menukar hewan. Maka,
islam mengharamkan pernikahan model ini secara total dan menjadikan pernikahan
sebagai pertemuan dua jiwa yang saling mencintai dan atas kehendak mereka. Juga
menjadikan maskawin sebagai hak wanita untuk dimilikinya, bukan milik si wali.
Islam mewajibkan
maskawin dan memastikannya, untuk dimiliki si wanita sebagai suatu kewajiban
dari lelaki kepadanya yang tidak boleh ditentang.islam mewajibkan si suami memberikan
maskawin sebagai “nihlah” ( pemberian yang khusus kepada si wanita ) dan harus
dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana halnya memberikan hibah dan
pemberian. Apakah si istri merelakan maskawin itu- sebagian atau merelakan
maskawin itu- seluruhnya kepada suaminya, maka si istri itu mempunyai hak penuh
untuk melakukannya dengan senang dan rela hati , dan si suami boleh menerima
dan memakan apa yang diberikan istrinya itu dengan senang hati. Karena hubungan
antara suami- istri seharusnya didasarkan pada kerelaan yang utuh, kebebasan
yang mutlak, kelapangan dada, dan kasih saying yang tidak terluka dari kedua
belah pihak.
Dengan
memberlakukan aturan seperti ini, islam hendak menjauhkan sisa- sisa system
jahiliah mengenai urusan wanita dan maskawin nya, hak-haknya terhadap dirinya
dan harta bendanya, kehormatan dan kedudukannya. Pada waktu yang sama, islam
tidak mengeringkan hubungan antara wanita dan suaminya, dan tidak menegakkan
kehidupan rumah tangganya dengan semata-mata memberlakukan peraturan secara
kaku, melainkan memberinya kelapangan dan keleluasaan, saling merelakan, dan
kasih saying untuk mewarnai kehidupan bersamanya, dan untuk menyegarkan suasana
kehidupannya.[2]
Pendapat saya, Setelah para mufassir menjelaskan panjang lebar tentang
surah an-Nisa ayat 4 tentang mahar atau maskawin yang dimana sebagai salah satu
dibidang ekonomi wanita diposisikan sebagai konsumen dari calon mempelai pria.
Sebagaimaan telah
dipaparkan bahwa maskawin sangatlah penting bahkan bisa juga disebut wajib
diberbagai kalangan termasuk Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atau ganti
rugi yang semula farj wanita haram menjadikannya halal.
Dan tidak serta
merta maskawin yang diberikan oleh calon suami kepada calon isteri diberikan
dengan kesewenang-wenangan atau pembeda mana yang kaya dan mana yang miskin
dari dzat karat yang dikandung emas sebagai mahar tersebut, melainkan dari hati
yang tulus, tanpa ada paksaan, dan ikhlas disertai lapang dada.
Konsentrasi sebuah
ayat yang secara jamblang ditafsirkan oleh Prof.Dr. Hamka dan
sayyid Quthb merupakan bentuk nyata dari paradigm bahwa begitu dimuliakannya
seorang perempuan dalam suatu pernikahan yang dihargai dengan mahar atau biasa
disebut mas-kawin.
Begitupun islam ia
sangat menjunjung harkat dan mar`tabat perempuan yang tidak sewenang-wenang
atas ketidak berdayaan suatu ummah, dengan filosofi yang menjadikannya lebih
bernilai dimata keberagaman agama dan sucinya farj perempuan yang harus
dihalalkan terlebih dahulu dengan ganti rugi berupa mahar/mas kawin. Adapun
hikmahnya, yaitu:
1. Dalam ayat
sebelumnya, diterangkan keharaman kedhaliman terhadap anak yatim yang dinikahi,
dengan berbagai bentuk kedhaliman termasuk diantaranya adalah dengan tidak memberikan
mahar yang lanyak untuknya.Maka, pada ayat ini Allah menegaskan perintah
pemberian mahar untuk istri.
2. Perintah
memberikan mahar tidak hanya tertuju bagi suami yang menikahi perempuan, tetapi
juga untuk orang tua. Hal ini karena dalam tradisi Arab jahiliah, anak perempuan itu seperti
diperdagangkan. Kalau mau menikahkan, orang tua minta mahar yang mahal agar
bisa menguasai harta tersebut. Bahkan tradisi buruk semacam itu masih
berlangsung samapai sekarang dibeberapa
kalangan masyarakat. Karenanya Islam dengan
tegas menghapus tradisi itu, dan mahar dijadikan hak mutlak istri (wanita). Menurut Imam
Al-Qurthubi, kewajiban memeberikan mahar kepada
isteri, merupakan sesuatu yang telah disepakati para
ulama.
3. Kata نِحْلَةً
:walaupun
artinya adalah pemberian suka
rela. Tapi disini dijadikan sesuatu kewajiban. Penggunaan kata tersebut, dimaksudkan bahwa ketika suami memberikan mahar kepada
istri itu harus penuh keikhalasan. Didasari kecintaan dan kesenangan
hati untuk memberikan dengan tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun dari pihak
manapun.
4. Secara umum,
kita diperintahkan untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Sebagaimana
dalam kalam Allah (Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.). Termasuk dalam hal ini adalah apa yang diberikan kepada istri berupa
mahar.
Meskipun ada hadits ”Sebaik-baik wanita adalah yang paling
mudah maharnya”
(HR. Ibnu Hibban).
Hal Itu bukan berarti pihak laki-laki semena-mena dalam memberikan mahar.
Karena hadis ini lebih tertuju kepada pihak perempuan atau walinya untuk tidak
mempersulit dan meninggikan mahar yang diinginkan. Sehingga mempersulit
terjadinya pernikahan yang mengakitbatkan berbagai kerusakan dimasyarakat.
Seperti banyaknya perawan tua, berbagai pelecehan seksual dan kerusakan akhlak
pemuda. Maka kewajiban bagi pemerintah atau individu yang mampu untuk
memberikan solusi terhadap kendala sulitnya pernikahan.
5. Mahar adalah hak mutlak istri, suami tidak boleh memintanya. Kalaupun
meminjamnya haruslah dengan izin sang Istri. Karena pernikahan itu bukan
berarti menghilangkan hak-hak Istri. Walaupun bagi suami istri berhak untuk
membuat kelonggaran diantara mereka. Yang penting tidak terjadi kedholiman
dalam kelarga. Karenanya, mahar yang diberikan secara hutang (tidak kontan)
tetapsudah menjadi hak istri walaupun belum diterima, sehingga kapanpun istri
memintanya, suami wajib memberikannya. Menurut Imam
Zamakhsyari ”ayat ini untuk memperketat agar suami tidak
semena-mena kepada istri, lalu meminta atau memaksa istri untuk memberikan
maharnya.”
6. Seorang istri apabila memberikan maharnya –seluruh atau
sebagian- dengan ikhlas tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka suami boleh
menerimanya, untuk apa saja, meskipun dalam ayat ini memakai redaksi
“makanlah”. Hal karena umumnya orang bekerja apa saja itu untuk mengisi perut.
7. هَنِيئًا
مَرِيئًا, artinya yang kamu makan itu 100% halal. Allah menyatakan ini
karena mungkin orang merasa tidak enak, kurang sreg untuk menggunakan mahar
istrinya meskipun si istri memberikannya secara suka rela. Sebagian ahli tafsir
menggunakan potongan ayat ini untuk menegaskan bahwa apa yang kita hasilkan
dari kerja yang halal akan membawa minimal dua
hal, yaitu kalau kita makan merasa tenang, dan membawa kesehatan dan
kesejahteraan. Berbeda dengan harta yang haram,
walaupun makanannya enak, belum tentu membawa mari`a (manfaat baik untuk tubuh
kita), secara fisik
maupun non fisik. Non fisik
seperti dimudahkan badan untuk beribadah dan berkarya mulia.
8. Tersirat dalam
ayat ini bahwa hukum aslinya mahar itu harus berupa materi, karena bisa diberikan dan
dirasakan kemanfaatannya oleh istri. Walaupun para ulama berdasarkan riwayat
beberapa hadits membolehkan mahar dengan berupa bacaan atau hafalan Al-Qur`an
selama istri rela. Hal
ini menunjukkan bahwa
Islam memudahkan kondisi seseorang yang kesulitan untuk menikah.
9. Bolehkah istri
meminta kembali mahar yang telah diberikanya kepada suami? Ada perbedaan
pendapat, namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa hak dia untuk menarik kembali
mahar yang telah diberikannya. Karena kalau dia betul-betul memberkan ikhlas karena Allah, pasti tidak akan meminta
lagi. Artinya, kalau meminta kembali itu berarti dia tidak ikhlas. Kholifah
Umar bin Khathab menulis untuk seluruh hakim, bahwa ketika wanita memberikan
hartanya, baik dengan suka rela atau terpaksa, kemudian menarik kembali maka dia berhak untuk
mengambilnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar