Nama:
Nurkhasanah
Tafsir
Ayat Ekonomi
Tema: Konsumsi
Allah dengan
Kemurahan Hati-Nya dalam Menyediaan Makanan di Laut
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ
وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ
الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُون
Terjemah:
Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya adalah
makanan lezat bagi kamu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan
diharamkan atas kamu binatang buruan darat, selama kamu dalam berihram. Dan
bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
Tafsir
QS. Al-Maidah ayat 96 menurut M. Quraish
Shihab dalam tafsir Al-Misabah
“Dihalalkan bagi kamu berburu binatang laut” Maksud ayat
tersebut bahwasannya bukan laut saja, melainkan sungai dan danau atau tambak
juga dihalalkan dalam pemburuan binatang laut. Ayat tersebut ulama sementara
memahami kata-kata binatang buruan laut dalam arti segala sesuatu yang
diperoleh dengan upaya atau usaha untuk mendapatkan binatang tersebut.
“Dan makanannya adalah makanan lezat bagi kamu” . Makanannya
berasal dari laut pula, seperti ikan, udang ataupun sejenisnya yang hidup di
sana dan binatang laut tersebut tidak dapat hidup didarat (hidup di dua alam).
Sedangkan yang mengapung dan terdampar tidak lagi diperoleh dengan memburunya.
Ada juga yang memahami kata Makanan tersebut dalam arti yang diasinkan
dan dikeringkan, sehingga dalam memakannya terasa lezat bagi penikmatnya.
“Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan
diharamkan atas kamu binatang buruan darat, selama kamu dalam berihram” Ketika seseorang dalam keadaan berikhram
selama pejalanannya di Tanah Haram (Makkah), diharamkan atas orang tersebut membunuh
binatang darat, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan”.
Dalam Mazhab Abu Hanifah berpendapat: yang halal dari binatang laut
atau sungai dan sejenisnya hanya ikan saja, dan tidak dibenarkannya untuk
memakan makanan yang mengapung di atasnya (laut, sungai, dll), antara lain
mereka berpendapat atas dasar bahwa binatang yang sudah mengapung tersebut
adalah bangkai. Namun Ulama lain mengecualikan pendapat tersebut dari larangan
memakan bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang, yang berdasarkan sabda Nabi
saw, tentang air laut bahwa: “Ia adalah yang suci airnya dan halal bangkainya.”
Mengulas sedikit bahwasannya, “Hukum
asal segala sesuatu adalah halal. Sesuatu itu tidaklah diharamkan kecuali jika
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Inilah kaedah yang disampaikan oleh
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah ketika mengawali pembahasan beliau
dalam kitab “Al Ath’imah”
Dalil dari kaedah di atas adalah
firman Allah Ta’ala,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي
مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
Terjemah:
Katakanlah: “ Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.” (QS. Al An’am: 145)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ
الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ مِنْ
أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Terjemah:
“Kaum muslimin yang paling besar
dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu, lantas sesuatu tersebut
diharamkan karena pertanyaannya, padahal sebelumnya tidak diharamkan.” (HR.
Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 2358).
Dalil di atas menunujukkan bahwa asal segala sesuatu itu
halal sampai ada dalil yang
mengharamkannya.
Melihat konteks Ayat tersebut:
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut.” Yang dimaksud dengan air di
sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena
pengertian “al bahru al maa’ “ adalah
kumpulan air yang banyak.
Tafsiran ini menjadi pendapat mayoritas
ulama.
Juga dalil dari
pendapat jumhur adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia
berkata,
غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ
وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ
حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا
مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ
الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا
يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا . فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا
أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ
{ بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .
“Kami
pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu
itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar
sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan.
Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia
pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah
mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu
‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah,
kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka
beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika
masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan
beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)
Ibnu Hajar Al Asqolani
rahimahullah menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan
air itu halal, baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di
air) atau mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama.”
Dalil lain tentang
halalnya hewan air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا
مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
Terjemah:
“Kami dihalalkan dua
bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR.
Ibnu Majah no. 3314, shahih)
Ketika menjelaskan
hadits di atas yang terdapat dalam kitab Bulughul Marom, Ash Shon’ani mengatakan,
وَكَذَلِكَ
يَدُلُّ عَلَى حِلِّ مَيْتَةِ الْحُوتِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ وُجِدَ ، طَافِيًا
كَانَ أَوْ غَيْرَهُ
Terjemah:
“Hadits tersebut juga
menunjukkan bahwa bangkai ikan itu halal dalam berbagai kondisi, baik ia mati
tanpa sebab lalu mengapung atau dengan cara lainnya.”
Adapun dalill ulama
yang memakruhkan memakan hewan air yang mati mengapung atau ditemukan di
pinggiran (pantai atau sungai) tanpa diketahui sebab matinya adalah dalil
berikut.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا أَلْقَى الْبَحْرُ أَوْ جَزَرَ عَنْهُ فَكُلُوهُ وَمَا مَاتَ فِيهِ
وَطَفَا فَلَا تَأْكُلُوهُ
Terjemahan:
Dari Jabir bin
‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,
“Apa yang didamparkan oleh laut atau yang tersingkap darinya maka makanlah, dan
apa yang mati padanya dalam keadaan mengapung maka janganlah engkau makan.”
(HR. Abu Daud no. 3815 dan Ibnu Majah no. 3247). Setelah Abu Daud membawakan
hadits tersebut dalam kitab sunannya, beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Sufyan Ats Tsauri dan Ayyub serta Hammad dari Abu Az
Zubair mereka menyandarkannya kepada Jabir. Dan hadits ini juga di sandarkan
dengan sanad yang lemah, dari jalur Ibnu Abu Dzi`b dari Abu Az Zubair dari
Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah mengetahui
pendapat para ulama Intinya, pendapat jumhur ulama dinilai lebih kuat, yaitu
meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu mengapung di air atau
terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi halal. Namun jika hewan
seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan dapat memberikan bahaya
ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.
Dilanjutkan dengan ayat berikut nya “Dan di
haramkan atas kamu binatang buruan darat ” Firmannnya tersebut ada yang
memahaminya terbatas pada menangkapnya, ada juga yang memperluas maknanya
sehingga mencakup segala aktivitas yang berkaitan dengan buruan dan perburuan
itu, sehingga tidak dibenarkan bagi yang dalam keadaan berihram disamping
membunuhnya, juga menerima hadiah, menjual atau membelinya.
Berdasarkan tafsir al misbah ini, Ayat diatas
menegaskan sekali lagi larangan berburu binatang darat dalam keadaan berihram
atau berada ditanah Haram. Pengulangan-pengulangan itu mengisyaratkan bahwa
larangan ini berlaku kapan saja, dan sepanjang makna berihram yang disandangkan
kepada orang yang sedang berihram, walaupun ia telah melakukan ihram secara
berulang kali.
Agaknya larangan berburu diatas, disamping
untuk menghindarkan sedapat mungkin yang berihram dari mengganggu makhluk Allah
sambil memberi penghormatan kepada Ka’bah dan Tanah Haram, juga karena
mengandalkan perburuan untuk jaminan hidup mereka. Jika dibenarkan bagi semua
yang datang dari segala penjuru, dan yang ada pada umumnya berihram itu, melakukan pemburuan, maka dikhawatirkan akan
punah atau sangat berkurang binatang-binatang itu yang merupakan sumber hidup
penduduk tanah Haram. Agaknya berdasarkan hal ini dapat dibenarkan menempuh
kebijaksanaan perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu guna
memeliharanya dari kepunahan.
Bahwasannya tidak adanya larangan untuk berburu
binatang laut atau sungai, bukan saja karena binatang laut sangat melimpah
tetapi juga karena di Mekah dan sekitah tanah Haram tidak terdapat laut dan
sungai.
Binatang yang hidup dalam dua alam (air dan
darat), tidak termasuk dalam pengertian binatang laut / sungai, karena kodok
dan kura-kura merupakan dalam pengertian binatang yang tidak boleh dibunuh atau
pun diburu oleh siapa yang berihram. Bahwa dia terlarang diburu.
Hal itu berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
[ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَقۡتُلُواْ ٱلصَّيۡدَ وَأَنتُمۡ حُرُمٞۚ [ المائدة: ٩٥
Terjemah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram". (QS al-Maaidah: 95).
Dan berdasarkan firman Allah ta'ala yang lain:
غَيۡرَ مُحِلِّي ٱلصَّيۡدِ وَأَنتُمۡ
حُرُمٌۗ [ المائدة: ١ ]
Terjemah:
Yang demikian itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji". (QS al-Maaidah: 1).
Dan juga firman Allah ta'ala:
وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ
[ المائدة: ٢ ]
Terjemah:
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah
berburu". (QS al-Maaidah: 2).
Ayat-ayat di atas tadi,
semuanya menunjukan bahwa seorang muhrim, semenjak niat masuk manasik sampai
dirinya selesai, maka tidak boleh baginya untuk berburu binatang darat,
begitu pula tidak boleh membantu dalam proses berburu, baik dengan ikut
langsung atau hanya sekedar menunjukan tempatnya, pada orang yang tidak
berihram.
Hal itu, didasari dengan haditsnya Abu Qatadah, yang mana
diceritakan bahwasannya beliau sedang bersama beberapa para sahabat dalam
perjalanan, ketika itu mereka sedang berihram, dan cuma dia seorang yang tidak.
Selanjutnya mereka melihat ada keledai liar, maka Abu Qatadah
berhasil menangkapnya lantas beliau menyembelih dan memasaknya, lalu
menghidangkan pada mereka. Kemudian mereka pun memakannya. Lalu ada seseorang
yang berkata: "Apakah kita memakan daging buruan sedang kita masih dalam
keadaan ihram?
Kemudian kami bawa sisa daging hewan buruan tadi menghadap Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا
قَالُوا لَا قَالَ فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا »
[أخرجه البخاري ومسلم]
Terjemah:
"Apakah ada salah seorang diantara kalian
yang menyuruhnya atau ikut mengejar atau menunjukan tempatnya? Mereka menjawab:
"Tidak". Beliau melanjutkan: "Kalau demikian makanlah yang masih
tersisa dari dagingnya". HR Bukhari no: 1824. Muslim no: 1196.
Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan
yang paling mendasar bagi manusia, oleh karenanya, manusia rela untuk
menghabiskan seluruh waktunya untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya,
Terkadang manusia berharap jika seluruh kegiatan konsumsinya dapat terpenuhi
secara mewah dan berlebihan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan. Namun
ternyata, kebahagiaan tidak muncul bersamaan dengan semakin bertambahnya
kekanyaan. Penyebabnya karena sering kali manusia tidak menyadari kegiatan
konsumsinya pada nilai-nilai syariat islam.
Dalam hal ini kegiatan konsumsi merupakan
bagian yang tidak terpisah dengan ibadah , konsumsi tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan fisik, tetapi juga sebagian dar ibadahnya manusia. Oleh karena nya,
dalam berkonsumsi tidak bisa dilakukan sekehendak hati dengan tujuan untuk
nafsu semta, sehingga tidak memperkirakan kadar nya.
Konsumsi berasal dari kata bahasa Inggris,
yaitu to consume yang berarti memakai atau menghabiskan. Dalam ekonomi
konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan
(utility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Utility secara bahasa berarti
berguna, membantu atau menguntungkan.
Dalam arti sempit, Konsumsi adalah
kegiatan pemanfaatan atau penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam arti luas, Konsumsi adalah kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan
nilai guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus maupun berangsur-angsur
untuk memenuhi kebutuhan.
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua
hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara
rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia
tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif
ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat
(interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian? Hak ini
dikarenakan etika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap
komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang
tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga
harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari
kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
Menurut (Misbahul Munir 2007: 65) Konsumsi
merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam kehidupan
manusia, dan dalam ilmu ekonomi konsumsi didefinisikan sebagai perilaku
seseorang dalam mengunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, seperti perilaku konsumsi dalam aktifitas makan, minum,
membeli atau memakai barang.
Hadist Nabi yang menerangkan tentang
konsumsi yang artinya:
“Dari Miqdam bin Makhdi Karib berkata;”
saya mendengar Rosulullah saw bersabda “Tidak ada tempat yang paling jelek
untuk dipenuhi isinya daripada perut anak Adam. Cukup bagi anak Adam beberapa
suap makanan yang bisa meluruskan punggungnya, Apabila ia harus mengisi
perutnya, maka sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk minuman dan
sepertiga untuk nafas.
Khusus dalam hal makan dan minum,
Rosulullah SAW. Memberikan pentunjuk yang ideal bagi seseorang yang melakukan
aktifitas konsumsi, yaitu: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman,
dan sepertiga untuk ronga bernafas . kenyataan ini disampaikan oleh Rosulullah
SAW jauh sebelum adanya ilmi kedokteran yang membuktikan bahwa pola makan
ideal yang akan menjamin bagi kesehatan dan keseimbangan kebutuhan tubuh
seseorang.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa
beliau mengatakan demikian:
1.
Secara ekonomi orang yang berlebih-lebihan
dalam pola konsumsi makananya dianggap sebagai tindakan pemborosan
2.
Secara social orang yang berlebih- lebihan
dalam konsumsi cenderung kehilanggan kepekaan social. Ia tidak bisa merasakan
betapa susahnya orang yang serba kekuranga
3.
Secara kesehatan, pola makan dan minum
yang tidak seimbang terbukti telah menjadi sebab utama munculnya berbagai
penyakit dan gangguan kesehatan.
4.
Secara psikologis, orang yang
berlebihan dalam konsumsi cenderung memiliki sifat menuruti hawa nafsunya
dan lupa akan hakikat dan tujuan konsumsi itu sendiri. Orang yang demikian
dijelaska dalam Al-Qur’an (QS Muhammad : 12) sebagai berikut:
“
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam
jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir
bersenan-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan
Jahannam adalah tempat tinggal mereka.”
Dalam
ilmu ekonomi, perilaku konsumsi dipahami sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan manusia untuk mencapai kepuasan optimal. Ketidakseimbangan dalam
pola konsumsi menyebaban hilangnya norma dan etika dalam ekonomi konvensional
sehinga menjadikan kepuasan optimal sebagai tujuan utama yang selalu dibarengi
sifat hedonism, matrealisme, konsumerisme. Sedangkan system ekonomi islam
memaknai perilaku konsumsi sebagai berikut:
1.
Menganggap bahwa perilaku konsumsi
merupakan sarana dan bukan tujuan dari konsumsi itu sendiri.
2.
Terdapat dua unsur yang dapat dipisahkan
dalam perilaku konsumsi, yaitu unsure materi dan inmateri. Unsur materi
berupa barang–barang kebutuhan yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani kita, dan
unsur inmateri berupa nilai keberkahan dan kebahagiaan yang bersifat abstrak
namun bisa dirasakan manafaatnya.
Dari dua
karakteristik perilaku konsumsi tersebut dikembangkan beberapa norma dan etika
dalam konsumsi yang ada dalam ekonomi Islam. Etika ekonomi islam berusaha untuk
mengurangi material yang luar biasa sekarang ini, untuk menghasilkan energy
manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya (Tanjung, 2006).
Berdasarkan hal diatas Islam menciptakan manajemen konsumsi dalam
5 prinsip:
1.
Kehalalan (QS Al-Baqarah :169) “ Hai
sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi.
2.
Kualitas fisik, meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan kebersihan, gizi, dan mutu barang.
3.
Kesederhanaan, kesederhanaan ini bermakana
tidak berlebih-lebihan.
4.
Kemurahan hati “Allah dengan
kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia.” (QS.
Al-Maidah : 96)
5.
Moralitas, Allah SWT memberikan makanan
dan minuman untuk keberlangsungan hidup manusia agar dapat meningkatkan
leberlangsungan hidup umat.Rasionalitas, konsep rasionalitas dalam ekonomi
Islam berbeda dengan konsep rasionalitas konvensional. Dalam konsep
rasionalitas Islam berdasarkan atas nilai-nilai syariah dan berusaha untuk
mengakomodasi kebutuhan materi dan spiritual demi tegaknya sebuah kemaslahatan
Setelah mengetahui dasar-dasar dalam berkonsumsi, diharapkan
manusia bisa mengaplikasikannya dengan baik, dengan begitu kebutuhannya akan
terpenuhi.
Dalam QS Al-Maidah ditutup dengan firman-Nya: Dan bertakwalah
kepada Allah yang kepadanya-Nyalah kamu akan dikumpulkan, untuk mengisyaratkan
bahwa pakaian ihram yang dipakai seseorang saat melaksanakan haji atau umrah,
setelah menanggalkan pakaian sehari-hari dan kesibukan duniawa guna menuju
kepada Allah, serupa dengan keadaan pada hari Kiamat nanti saat seseorang
meninggalkan segala sesuau dan hanya menghadapkan diri kepada Allah semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar