Senin, 14 Maret 2016

TAFSIR AYAT KONSUMSI (AL-MAIDAH: 96)



Nama: Nurkhasanah
Tafsir Ayat Ekonomi
Tema: Konsumsi
Allah dengan Kemurahan Hati-Nya dalam Menyediaan Makanan di Laut

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُون
Terjemah:
Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya adalah makanan lezat bagi kamu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atas kamu binatang buruan darat, selama kamu dalam berihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
Tafsir QS. Al-Maidah ayat 96  menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misabah
Dihalalkan bagi kamu berburu binatang laut” Maksud ayat tersebut bahwasannya bukan laut saja, melainkan sungai dan danau atau tambak juga dihalalkan dalam pemburuan binatang laut. Ayat tersebut ulama sementara memahami kata-kata binatang buruan laut dalam arti segala sesuatu yang diperoleh dengan upaya atau usaha untuk mendapatkan binatang tersebut.
Dan makanannya adalah makanan lezat bagi kamu” . Makanannya berasal dari laut pula, seperti ikan, udang ataupun sejenisnya yang hidup di sana dan binatang laut tersebut tidak dapat hidup didarat (hidup di dua alam). Sedangkan yang mengapung dan terdampar tidak lagi diperoleh dengan memburunya. Ada juga yang memahami kata Makanan tersebut dalam arti yang diasinkan dan dikeringkan, sehingga dalam memakannya terasa lezat bagi penikmatnya.
Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atas kamu binatang buruan darat, selama kamu dalam berihram  Ketika seseorang dalam keadaan berikhram selama pejalanannya di Tanah Haram (Makkah), diharamkan atas orang tersebut membunuh binatang darat, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”.

Dalam Mazhab Abu Hanifah berpendapat: yang halal dari binatang laut atau sungai dan sejenisnya hanya ikan saja, dan tidak dibenarkannya untuk memakan makanan yang mengapung di atasnya (laut, sungai, dll), antara lain mereka berpendapat atas dasar bahwa binatang yang sudah mengapung tersebut adalah bangkai. Namun Ulama lain mengecualikan pendapat tersebut dari larangan memakan bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang, yang berdasarkan sabda Nabi saw, tentang air laut bahwa: “Ia adalah yang suci airnya dan halal bangkainya.”
Mengulas sedikit bahwasannya, “Hukum asal segala sesuatu adalah halal. Sesuatu itu tidaklah diharamkan kecuali jika diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Inilah kaedah yang disampaikan oleh Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah ketika mengawali pembahasan beliau dalam kitab “Al Ath’imah”
Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
Terjemah:
Katakanlah: “ Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,   sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.” (QS. Al An’am: 145)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Terjemah:
“Kaum muslimin yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu, lantas sesuatu tersebut diharamkan karena pertanyaannya, padahal sebelumnya tidak diharamkan.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 2358).
Dalil di atas  menunujukkan bahwa asal segala sesuatu itu halal sampai ada dalil   yang mengharamkannya.
Melihat konteks Ayat tersebut: 
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.”  Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “al bahru al maa’ “   adalah kumpulan air yang banyak.
Tafsiran ini menjadi pendapat mayoritas ulama.
Juga dalil dari pendapat jumhur adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا . فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ { بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .
Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan air itu halal, baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di air) atau mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.”
Dalil lain tentang halalnya hewan air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
Terjemah:
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR. Ibnu Majah no. 3314, shahih)
Ketika menjelaskan hadits di atas yang terdapat dalam kitab Bulughul Marom, Ash Shon’ani mengatakan,
وَكَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى حِلِّ مَيْتَةِ الْحُوتِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ وُجِدَ ، طَافِيًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ
Terjemah:
“Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa bangkai ikan itu halal dalam berbagai kondisi, baik ia mati tanpa sebab lalu mengapung atau dengan cara lainnya.”
Adapun dalill ulama yang memakruhkan memakan hewan air yang mati mengapung atau ditemukan di pinggiran (pantai atau sungai) tanpa diketahui sebab matinya adalah dalil berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَلْقَى الْبَحْرُ أَوْ جَزَرَ عَنْهُ فَكُلُوهُ وَمَا مَاتَ فِيهِ
 وَطَفَا فَلَا تَأْكُلُوهُ
Terjemahan:
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda, “Apa yang didamparkan oleh laut atau yang tersingkap darinya maka makanlah, dan apa yang mati padanya dalam keadaan mengapung maka janganlah engkau makan.” (HR. Abu Daud no. 3815 dan Ibnu Majah no. 3247). Setelah Abu Daud membawakan hadits tersebut dalam kitab sunannya, beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan Ats Tsauri dan Ayyub serta Hammad dari Abu Az Zubair mereka menyandarkannya kepada Jabir. Dan hadits ini juga di sandarkan dengan sanad yang lemah, dari jalur Ibnu Abu Dzi`b dari Abu Az Zubair dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah mengetahui pendapat para ulama Intinya, pendapat jumhur ulama dinilai lebih kuat, yaitu meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu mengapung di air atau terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi halal. Namun jika hewan seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan dapat memberikan bahaya ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.
Dilanjutkan dengan ayat berikut nya “Dan di haramkan atas kamu binatang buruan darat ” Firmannnya tersebut ada yang memahaminya terbatas pada menangkapnya, ada juga yang memperluas maknanya sehingga mencakup segala aktivitas yang berkaitan dengan buruan dan perburuan itu, sehingga tidak dibenarkan bagi yang dalam keadaan berihram disamping membunuhnya, juga menerima hadiah, menjual atau membelinya.
Berdasarkan tafsir al misbah ini, Ayat diatas menegaskan sekali lagi larangan berburu binatang darat dalam keadaan berihram atau berada ditanah Haram. Pengulangan-pengulangan itu mengisyaratkan bahwa larangan ini berlaku kapan saja, dan sepanjang makna berihram yang disandangkan kepada orang yang sedang berihram, walaupun ia telah melakukan ihram secara berulang kali.
Agaknya larangan berburu diatas, disamping untuk menghindarkan sedapat mungkin yang berihram dari mengganggu makhluk Allah sambil memberi penghormatan kepada Ka’bah dan Tanah Haram, juga karena mengandalkan perburuan untuk jaminan hidup mereka. Jika dibenarkan bagi semua yang datang dari segala penjuru, dan yang ada pada umumnya berihram itu,  melakukan pemburuan, maka dikhawatirkan akan punah atau sangat berkurang binatang-binatang itu yang merupakan sumber hidup penduduk tanah Haram. Agaknya berdasarkan hal ini dapat dibenarkan menempuh kebijaksanaan perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu guna memeliharanya dari kepunahan.
Bahwasannya tidak adanya larangan untuk berburu binatang laut atau sungai, bukan saja karena binatang laut sangat melimpah tetapi juga karena di Mekah dan sekitah tanah Haram tidak terdapat laut dan sungai.
Binatang yang hidup dalam dua alam (air dan darat), tidak termasuk dalam pengertian binatang laut / sungai, karena kodok dan kura-kura merupakan dalam pengertian binatang yang tidak boleh dibunuh atau pun diburu oleh siapa yang berihram. Bahwa dia terlarang diburu.
Hal itu berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
  [ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡتُلُواْ ٱلصَّيۡدَ وَأَنتُمۡ حُرُمٞۚ   [ المائدة: ٩٥ 
Terjemah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram". (QS al-Maaidah: 95).
Dan berdasarkan firman Allah ta'ala yang lain:
غَيۡرَ مُحِلِّي ٱلصَّيۡدِ وَأَنتُمۡ حُرُمٌۗ   [ المائدة: ١ ]
Terjemah:
Yang demikian itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji".  (QS al-Maaidah: 1).
Dan juga firman Allah ta'ala:
وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ   [ المائدة: ٢ ]
Terjemah:
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu".  (QS al-Maaidah: 2).
 Ayat-ayat di atas tadi, semuanya menunjukan bahwa seorang muhrim, semenjak niat masuk manasik sampai dirinya selesai, maka tidak boleh baginya untuk berburu binatang darat,  begitu pula tidak boleh membantu dalam proses berburu, baik dengan ikut langsung atau hanya sekedar menunjukan tempatnya, pada orang yang tidak berihram.
Hal itu, didasari dengan haditsnya Abu Qatadah, yang mana diceritakan bahwasannya beliau sedang bersama beberapa para sahabat dalam perjalanan, ketika itu mereka sedang berihram, dan cuma dia seorang yang tidak.
Selanjutnya mereka melihat ada keledai liar, maka Abu Qatadah berhasil menangkapnya lantas beliau menyembelih dan memasaknya, lalu menghidangkan pada mereka. Kemudian mereka pun memakannya. Lalu ada seseorang yang berkata: "Apakah kita memakan daging buruan sedang kita masih dalam keadaan ihram?
Kemudian kami bawa sisa daging hewan buruan tadi menghadap Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا قَالُوا لَا قَالَ فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا »
 [أخرجه البخاري ومسلم]

Terjemah:
"Apakah ada salah seorang diantara kalian yang menyuruhnya atau ikut mengejar atau menunjukan tempatnya? Mereka menjawab: "Tidak". Beliau melanjutkan: "Kalau demikian makanlah yang masih tersisa dari dagingnya". HR Bukhari no: 1824. Muslim no: 1196.
Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, oleh karenanya, manusia rela untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya, Terkadang manusia berharap jika seluruh kegiatan konsumsinya dapat terpenuhi secara mewah dan berlebihan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan. Namun ternyata, kebahagiaan tidak muncul bersamaan dengan semakin bertambahnya kekanyaan. Penyebabnya karena sering kali manusia tidak menyadari kegiatan konsumsinya pada nilai-nilai syariat islam.
Dalam hal ini kegiatan konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisah dengan ibadah , konsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga sebagian dar ibadahnya manusia. Oleh karena nya, dalam berkonsumsi tidak bisa dilakukan sekehendak hati dengan tujuan untuk nafsu semta, sehingga tidak memperkirakan kadar nya.
Konsumsi berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu to consume yang berarti memakai atau menghabiskan. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Utility secara bahasa berarti berguna, membantu atau menguntungkan.
Dalam arti sempit, Konsumsi adalah kegiatan pemanfaatan atau penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Dalam arti luas, Konsumsi adalah kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus maupun berangsur-angsur untuk memenuhi kebutuhan.
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian? Hak ini dikarenakan etika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
Menurut (Misbahul Munir 2007: 65) Konsumsi  merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang  asasi dalam kehidupan manusia, dan dalam ilmu ekonomi konsumsi didefinisikan sebagai perilaku seseorang dalam mengunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti perilaku konsumsi dalam aktifitas makan, minum, membeli atau memakai barang.
Hadist Nabi yang menerangkan tentang konsumsi yang artinya:
“Dari Miqdam bin Makhdi Karib berkata;” saya mendengar Rosulullah saw bersabda “Tidak ada tempat yang paling jelek untuk dipenuhi isinya daripada perut anak Adam. Cukup bagi anak Adam beberapa suap makanan yang bisa meluruskan punggungnya, Apabila ia harus mengisi perutnya, maka sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafas.
Khusus dalam hal makan dan minum, Rosulullah SAW. Memberikan pentunjuk yang ideal bagi seseorang yang melakukan aktifitas konsumsi, yaitu: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk ronga bernafas . kenyataan ini disampaikan oleh Rosulullah SAW jauh sebelum adanya ilmi kedokteran  yang membuktikan bahwa pola makan ideal yang akan menjamin bagi kesehatan dan keseimbangan kebutuhan tubuh seseorang.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa beliau mengatakan demikian:
1.    Secara ekonomi orang yang berlebih-lebihan dalam pola konsumsi makananya dianggap sebagai tindakan pemborosan
2.     Secara social orang yang berlebih- lebihan dalam konsumsi cenderung kehilanggan kepekaan social. Ia tidak bisa merasakan betapa susahnya orang yang serba kekuranga
3.    Secara kesehatan, pola makan dan minum yang tidak seimbang terbukti telah menjadi sebab utama munculnya berbagai penyakit dan gangguan kesehatan.
4.    Secara psikologis, orang yang berlebihan  dalam konsumsi cenderung memiliki sifat menuruti hawa nafsunya dan lupa akan hakikat dan tujuan konsumsi itu sendiri. Orang yang demikian dijelaska dalam Al-Qur’an (QS Muhammad : 12) sebagai berikut:
“ Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenan-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.”
Dalam ilmu ekonomi, perilaku konsumsi dipahami sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia untuk mencapai kepuasan optimal. Ketidakseimbangan dalam pola konsumsi menyebaban hilangnya norma dan etika dalam ekonomi konvensional sehinga menjadikan kepuasan optimal sebagai tujuan utama yang selalu dibarengi sifat hedonism, matrealisme, konsumerisme. Sedangkan system ekonomi islam memaknai perilaku konsumsi sebagai berikut:
1.    Menganggap bahwa perilaku konsumsi  merupakan sarana dan bukan tujuan dari konsumsi itu sendiri.
2.     Terdapat dua unsur  yang dapat dipisahkan dalam perilaku konsumsi, yaitu unsure  materi dan inmateri. Unsur materi berupa barang–barang kebutuhan yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani kita, dan unsur inmateri berupa nilai keberkahan dan kebahagiaan yang bersifat abstrak namun bisa dirasakan manafaatnya.
                 Dari dua karakteristik perilaku konsumsi tersebut dikembangkan beberapa norma dan etika dalam konsumsi yang ada dalam ekonomi Islam. Etika ekonomi islam berusaha untuk mengurangi material yang luar biasa sekarang ini, untuk menghasilkan energy manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya (Tanjung, 2006).
Berdasarkan hal diatas Islam menciptakan manajemen konsumsi dalam 5 prinsip:
1.    Kehalalan (QS Al-Baqarah :169) “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi.
2.    Kualitas fisik, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan, gizi, dan mutu barang.
3.    Kesederhanaan, kesederhanaan ini bermakana tidak berlebih-lebihan.
4.    Kemurahan hati “Allah dengan  kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia.” (QS. Al-Maidah : 96)
5.    Moralitas, Allah SWT memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup manusia agar dapat meningkatkan leberlangsungan hidup umat.Rasionalitas, konsep rasionalitas dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep rasionalitas konvensional. Dalam konsep rasionalitas Islam berdasarkan atas nilai-nilai syariah dan berusaha untuk mengakomodasi kebutuhan materi dan spiritual demi tegaknya sebuah kemaslahatan
Setelah mengetahui dasar-dasar dalam berkonsumsi, diharapkan manusia bisa mengaplikasikannya dengan baik, dengan begitu kebutuhannya akan terpenuhi.
Dalam QS Al-Maidah ditutup dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadanya-Nyalah kamu akan dikumpulkan, untuk mengisyaratkan bahwa pakaian ihram yang dipakai seseorang saat melaksanakan haji atau umrah, setelah menanggalkan pakaian sehari-hari dan kesibukan duniawa guna menuju kepada Allah, serupa dengan keadaan pada hari Kiamat nanti saat seseorang meninggalkan segala sesuau dan hanya menghadapkan diri kepada Allah semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar