Nama : Sisca Kencana Putri
NIM : 1414231105
Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam
Perbankan
Syariah C/Semester 4
Dibuat
guna memenuhi Tugas Mandiri mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi
Dosen
Pengampu :
Tafsir
Ibnu Katsir dan al-misbah
JUAL BELI
Surah Al-Baqarah Ayat 275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
|
Orang-orang yang makan/ mengambil Riba
|
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
|
peringatan dari Allah
|
لايَقُومُونَ
|
tidak dapat berdiri
|
فَانْتَهَى
|
Lalu ia berhenti
|
إِلَّاكَمَايَقُومُ
|
melainkan seperti berdirinya
|
فَلَهُ
|
maka baginya adalah
|
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ
|
orang yang kemasukan syaitan
|
مَا سَلَفَ
|
apa yang telah berlalu
|
مِنَالْمَسّ
|
lantaran (tekanan) penyakit gila
|
وَأَمْرُهُ
|
dan urusannya adalah
|
ذَلِكَ
|
Keadaan mereka yang demikian itu
|
إِلَى اللَّهِ
|
kepada Allah
|
بِأَنَّهُمْقَالُوا
|
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat)
|
وَمَنْ
|
barang siapa
|
إِنَّمَا الْبَيْعُ
|
sesungguhnya jual-beli itu
|
عَادَ
|
yang kembali lagi
|
مِثْلُ الرِّبَا
|
sama dengan riba
|
فَأُولَئِكَ
|
maka mereka adalah
|
وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
|
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
|
أَصْحَابُ النَّارِ
|
penghuni neraka
|
وَحَرَّمَالرِّبَا
|
dan mengharamkan riba
|
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
|
Mereka yang kekal di dalamnya
|
فَمَنْجَاءَهُ
|
Barang siapa yang datang kepadanya
|
Tatkala Allah menyebutkan tentang kondisi
orang-orang yang bersedekah dan apa yang mereka dapatkan disisi Allah dari
segala kebaikan dan digugurkannya kesalahan dan dosa-dosa mereka. Lalu Allah
menyebutkan tentang orang-orang yang zhalim para pemakan riba dan memiliki
muamalah yang licik, dan Allah mengabarkan bahwa mereka akan diberi balasan
menurut perbuatan mereka. Untuk itu, sebagaimana mereka saat masih di dunia
dalam mencari penghidupan yang keji seperti orang-orang gila, mereka disiksa di
alam barzakh dan pada Hari Kiamat, bahwa mereka tidak akan bangkit dari kubur
mereka hingga Hari Kebangkitan dan hari berkumpulnya makhluk,
إِلاَّ كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
"melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila".
Maksudnya, dari kegilaan dan kerasukan. Itu
adalah siksaan, penghinaan dan dipamerkannya segala dosanya, sebagai balasan
untuk mereka atas segala bentuk riba mereka dan kelancangan mereka dengan
berkata,
إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
"sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba".
Mereka menyatukan -dengan kelancangan mereka-
antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga
mereka membolehkan riba dengan hal itu.
Allah ta'ala kemudian
menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka
untuk bertaubat dalam firmanNya,
فَمَن جَآءَ هُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ
"Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Rabbnya"
Sebuah penjelasan yang disertai dengan janji
dan ancaman,
فَانتَهَى
"lalu terus berhenti (dari mengambil
riba)",
Dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba,
فَلَهُ مَا سَلَفَ
"maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan)"
Dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu
ia bertaubat darinya,
وَأَمْرُهُ
إِلَى اللهِ
"dan urusannya (terserah) kepada
Allah"
Pada masa yang akan datang jika dia masih terus
dalam taubatnya. Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat
kebajikan.
وَمَنْ عَادَ
"Orang yang mengulangi (mengambil
riba)"
Setelah penjelasan Allah dan peringatanNya
serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba,
فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya".
Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu
berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya,
selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara
sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari
penghalang. Ayat ini bukan hujjah bagi Khawarij atau lainnya
dari ayat-ayat ancaman. Yang wajib adalah menyakini semua nash-nash al-Qur'an
maupun as-Sunnah, maka seorang mukmin harus percaya dengan nash-nash yang
diriwayatkan secara mutawatir yaitu akan keluarnya orang yang ada dalam hatinya
keimanan walaupun seberat biji sawi dari neraka, dan dari hal yang merupakan
perkara yang membinasakan yang memasukkan ke dalam neraka apabila ia tidak
bertaubat darinya.
Setelah Allah menceritakan tentang
orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infak, membayar zakat, serta
mengutamakan kebaikan dan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan dan
kepada kaum kerabat, yang dilakukan di setiap keadaan dan waktu, kemudian dalam
ayat ini Allah Swt. memulai dengan menceritakan tentang orang orang yang
memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan,
serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah, mengibaratkan keadaan mereka pada
saat bangkit dan keluar dari kubur ada hari kebangkitan.
Allah Ta’ala berfirman: alladziina
ya’kuluunar ribaa laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumul ladzii yatakhabbathuHusy
syaithaanu minal massi (“Orang-orang yang makan [mengambil] riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan
penyakit gila.”) Artinya, mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada
hari kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan
kerasukan syaitan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.
Ibnu Abbas mengatakan: “Pemakan riba akan
dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadan gila yang tercekik.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin
Jundab, dalam hadits panjang tentang mimpi: “Maka tibalah kami di sebuah
sungai, aku menduga ia mengatakan, ‘Sungai itu merah semerah darah.’ Ternyata
di sungai tersebut terdapat seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya
terdapat seseorang yang telah mengumpulkan batu yang sangat banyak di
sampingnya. Orang itu pun berenang mendatangi orang yang mengumpulkan batu itu.
Kemudian orang yang berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan
batu.” (HR. Al-Bukhari).
Dan dalam menafsirkan peristiwa tersebut
dikatakan bahwa ia itulah pemakan riba.
Dan firman Allah berikutnya: dzaalika
biannaHum qaaluu innamal bai’ul mitslur ribaa wa ahallallaaHul bai’a wa
harramar ribaa (“Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
[berpendapat], sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”) Maksudnya, mereka membolehkan
riba dengan maksud untuk menentang hukum-hukum Allah Ta’ala yang terdapat dalam
syariat-Nya. Bukan karena mereka mengqiyaskan riba dengan jual beli, sebab
orang-orang musyrik tidak pernah mengakui penetapan jual beli yang telah ditetapkan
Allah swt. di dalam al-Qur’an. Seandainya hal itu termasuk masalah qiyas,
niscaya mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya riba itu sama seperti jual beli.”
Tetapi dalam hal ini mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba. “Artinya, keduanya serupa, lalu mengapa Dia mengharamkanyang ini dan
menghalalkan yang itu?
Yang demikian itu merupakan penentangan
mereka terhadap syariat. Artinya, yang ini sama dengan ini, dan Dia sendiri
telah menghalalkan ini danmengharamkan yang ini.
Dan firman Allah swt. berikutnya: wa
ahallallaaHul bai’a wa harramar ribaa (“Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.”) Hal itu mungkin merupakan bagian dari
kesempurnaan kalam sebagai penolakan terhadap mereka atau terhadap apa yang
mereka katakan, padahal mereka mengetahui perbedaan hukum yang ditetapkan Allah
Ta’ala antara keduanya.
Dia Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. Tidak
ada yang dapat menolak ketetapan-Nya dan Allah tidak dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang telah Ia kerjakan, justru merekalah yang akan
dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang Mahamengetahui segala hakikat dan
kemaslahatan persoalan. Apa yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, maka Dia akan
membolehkannya bagi mereka, dan apa yang membahayakan bagi mereka, maka Dia
akan melarangnya bagi mereka. Kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya lebih
besar daripada sayannya seorang ibu kepada anak bayinya.
Oleh karena itu, Dia berfirman: faman jaa-aHu
mau’idhatum mir rabbiHi fantaHaa falaHuu maa salafa wa amruHuu ilallaaHi (“Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti [dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [sebelum
datangnya larangan], dan urusannya terserah kepada Allah.”) Maksudnya,
barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan memakan riba, lalu ia
mengakhirinya ketika syariat sampai kepadanya, maka baginya hasil muamalah
terdahulu.
Yang demikian itu didasarkan pada firman-Nya:
‘afallaaHu ‘ammaa salaf (“Allah memaajkan apa yang telah berlalu. ” (QS. Al-Maa-idah:
95).
Dan sebagaimana sabda Rasulullah pada saat
pembebasan kota Makkah (Bahkan pada haji Wada’): “Segala bentuk riba pada masa
Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini, dan riba yang pertama kali aku
letakkan adalah riba ‘Abbas.” (Lihat kitab Taarikhul Kabir, karangan
al-Bukhari, juz I)
Rasulullah tidak menyuruh mereka
mengembalikan keuntungan yang mereka peroleh pada masa jahiliyah, tetapi Allah
Ta’ala telah memaafkan mereka atas apa yang telah berlalu. Sebagaimana yang
difirmankan-Nya: falaHuu maa salafa wa amruHuu ilallaaHi (“Maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu [sebelum datangnya larangan), dan urusannya
terserah kepada Allah.”
Said bin Jubair dan as-Suddi mengatakan:
“Baginya riba yang dahulu pernah ia makan sebelum diharamkan.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan: bahwa Aisyah
radiallahu anha, isteri Nabi saw. pernah bertutur: “la pernah ditanya oleh Ummu
Bahnah, yaitu ummu walad Zaid bin Arqam, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau
kenal Zaid bin Argam?’ ‘Ya, aku mengenalnya,’ jawab Aisyah. Ummu Bahnah
mengatakan: ‘Sesungguhnya aku telah menjualkannya (untuk Zaid) seorang budak
kepada Atha’ dengan harga 800 dirham (dengan tempo/utang). Lalu aku memerlukan
uang, maka aku membeli kembali (budak itu) (dengan tunai) sebelum sampai waktu
pembayaran (sebelum jatuh tempo) dengan harga 600 dirham (tunai).’ Aisyah pun
berkata: ‘Alangkah buruknya pembelianmu, alangkah buruknya pembelianmu itu.
Sampaikanlah kepada Zaid bahwa ia benar-benar telah menghapuskan pahala
jihadnya bersama Rasulullah, jika ia tidak segera bertaubat.’ Ummu Bahnah
melanjutkan pertanyaan: ‘Bagaimana menurut pendapatmu, jika aku meninggalkan
200 dirham dan mengambil yang 600. dirham (sebagai pembayaran hutang)?’ Aisyah
menjawab: ‘Ya, boleh.’ ‘Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya terserah kepada
Allah.” Atsar ini sudah sangat masyhur dan merupakan dalil bagi orang yang mengharamkan
jual beli a’inah (riba terselubung) serta beberapa Hadits lain yang berkaitan
dengan hal itu yang telah ditetapkan dalam masalah hukum. Segala puji bagi
Allah.
(Ummu walad adalah wanita yang melahirkan
anak majikannya.
Selanjutnya Allah berfirman: waman ‘aada (“Orang yang mengulangi
[mengambil riba]. Maksudnya kembali mengambil riba, dan ia mengerjakannya
setelah sampai kepadanya larangan tersebut, maka wajib baginya hukuman dan
penegasan hujjah atasnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: fa ulaa-ika
ash-haabun naari Hum fiiHaa khaaliduun (“Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”)
Abu Daud telah meriwayatkan dari Abu Zubair,
dari Jabir, ia menceritakan ketika turun ayat yang artinya: “Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.” Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka maklumatkanlah
perang kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani
dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (990)
Hadits terakhir di atas juga diriwayatkan
oleh al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak, dari Abu Khaitsam. Dan ia
mengatakan, bahwa derajat Hadits itu sahib dengan syarat Muslim, namun Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya.
Diharamkan mukhabarah, yaitu menyewakan tanah
dengan imbalan sebagian hasil buminya. Demikian juga muzabanah, yaitu membeli
kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan pembayaran kurma kering yang
sudah ada di tanah. Dan muhagalah, yaitu pembelian biji yang masih melekat pada
tangkainya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah. Semuanya itu dan
juga semua praktek yang sejenisnya diharamkan untuk merintangi jalan ke inti
riba, sebab belum diketahui kesamaan dua barang sebelum keduanya kering betul.
Oleh karena itu, para fuqaha mengemukakan: “Ketidaktahuan terhadap kesamaan,
sama seperti hakikat kelebihan.” Dan mereka juga mengharamkan segala sesuatu
yang mereka pahami, sebagai upaya untuk mempersempit jalan dan berbagai sarana
yang mengantarkan kepada riba. Adapun ketidaksamaan pandangan mereka tergantung
pada ilmu yang dikaruniakan Allah kepada mereka.
Dan Allah Ta’ala sendiri telah berfirman yang
artinya: “Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang
Mahamengetahui (Allah).” (QS. Yusuf: 76).
Masalah riba ini merupakan masalah yang
paling rumit menurut kebanyakan ulama. Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab
pernah mengatakan, tiga hal yang seandainya saja Rasulullah saw. mewasiatkan
kepada kami dengan suatu wasiat yang dapat memuaskan kami yaitu dalam masalah;
al-jaddu (bagian warisan kakek), al-kalalah (orang yang meninggal tidak
meninggalkan ayah dan anak), dan beberapa masalah riba.
Maksudnya adalah sebagian masalah yang di
dalamnya terdapat percampuran riba, sedangkan syariat telah menetapkan bahwa
sarana yang mengantarkan kepada yang haram itu pun haram hukumnya, karena
sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram adalah haram, sebagaimana tidak
sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, makanya itu menjadi wajib.
Di dalam kitab ash-Shahihain (al-Bukhari dan
Muslim) telah ditegaskan sebuah Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim
dari Nu’man bin Basyir, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang haram pun telah jelas,
dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (diragukan).
Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang diragukan, berarti ia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam
keraguan, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti
penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, lambat
laun ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)Dan di dalam kitab as-Sunan juga
diriwayatkan sebuah hadits dari al-Hasan bin Ali radiallahu anhuma, ia
menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Tinggalkan perkara
yang engkau ragukan, menuju kepada perkara yang tidak engkau ragukan.”
Dalam hadits yang lain Rasulullah juga
bersabda: “Dosa itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu, yang
padanya jiwa menjadi ragu, dan engkau tidak suka bila diketahui orang lain.”
Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan:
“Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun manusia telah memberikan fatwa
kepadamu.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam ad-Darimi dalam kitab Musnad milik
masing-masing dari keduanya dengan sanad shahih atau hasan; Dha’if, lihat kitab
alMajma’ (8/175).
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
mengatakan: “Ayat yang terakhir kali turun kepada Rasulullah adalah ayat
tentang riba.” Demikian yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Qabishah.
Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Umar
pernah mengatakan: “Ayat yang terakhir kali turun kepada Rasulullah saw adalah
ayat tentang riba, dan sesungguhnya beliau telah dipanggil ke hadirat-Nya
sebelum beliau sempat menafsirkannya kepada kami. Oleh karena itu, tinggalkan
riba dan keraguan.”
Ia mengatakan bahwa Hadits tersebut juga diriwayatkan
Ibnu Majah dan Ibnu Mardawih.
Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abdullah
bin Masud, dari Nabi beliau bersabda: “Riba itu ada 73 (tujuh puluh tiga)
macam.” (HR. Ibnu Majah).
Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim
dalam kitabnya, al Mustadrak, dari ‘Amr bin ‘Ali al-Falas, dengan isnad yang
sama, dengan tambahan lafazh: “Yang paling ringan dari riba itu seperti
seseorang menikahi ibunya sendiri dan sejahat-jahat riba adalah mengganggu
kehormatan seorang muslim.”
Al-Hakim mengatakan: “Hadits tersebut sahih
dengan syarat Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak
meriwayatkannya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra,
bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Akan datang suatu masa di mana manusia
banyak memakan riba.” Ditanyakan kepada Rasulullah: “Apakah manusia secara
keseluruhan?” Beliau menjawab: “Yang tidak memakannya pun akan terkena
debunya.” (HR. Ahmad; Dha’if, didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab
Dha’iiful Jaami’ (4864).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Nasa’i, dan Ibnu Majah. Oleh karena itu, diharamkan segala sarana yang dapat
menimbulkan setiap perkara yang haram.
Ahmad meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha: “Setelah ayat-ayat mengenai riba yang terdapat pada akhir surat
al-Baqarah turun, Rasulullah saw. berangkat ke masjid, lalu beliau membacakan
ayat-ayat tersebut. Selanjutnya beliau mengharamkan perdagangan khamer.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Jama’ah, kecuali at-Tirmidzi, melalui jalan al-A’masy.
Demikian pula redaksi dari riwayat al-Bukhari
ketika menafsirkan ayat ini, maka diharamkanlah perdagangan khamer.
Dalam lafazh al-Bukhari, yang diriwayatkan
dari Aisyah radiallahu anha, ia menceritakan: “Ketika ayat-ayat yang terdapat
pada akhir surat al-Baqarah mengenai riba, Rasulullah membacakannya kepada umat
manusia, lalu beliau mengharamkan perdagangan khamer.”
Beberapa imam yang membicarakan Hadits ini
berkata, “Setelah riba dan berbagai macam sarananya diharamkan, maka khamer dan
segala bentuk perdagangannya pun diharamkan,” sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah saw. dalam sebuah Hadits muttafaqun ‘alaih: “Allah melaknat orang
Yahudi yang telah diharamkan bagi mereka lemak, namun mereka mencairkannya,
lalu menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Telah dikemukakan sebelumnya pada Hadits Ali,
Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dalam pelaknatan terhadap muhallil pada
penafsiran firman Allah swt. berikut ini: hattaa tankiha azwaajan ghairaHu
(“Sehingga ia menikah dengan suami yang lain.”) (QS. Al-Baqarah: 230). Sabda
Rasulullah saw: “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakili
transaksi riba, dua orang saksinya, dan orang yang menuliskannya.”
Betway Casino NJ Review and Bonus Code - jtmhub.com
BalasHapusBetway 광주 출장안마 Casino NJ review and 여수 출장안마 bonus code - Betway 동해 출장샵 sportsbook 여주 출장마사지 review, sportsbook deposit bonus, 오산 출장마사지 deposit bonus, sportsbook welcome offer.