Nama : Sri
Wulanti Ningrum
NIM : 1414231115
Kelas : Perbankan
Syariah 3
Tugas Individu
Tafsir Ayat Ekonomi
“Larangan
Konsumsi Berlebihan dan Distribusi Pendapatan”
وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ
جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ
مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ
مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ
حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ١٤١
Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang
berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam rupanya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa.
Makanlah sebagian buahnya bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-An’am : 141)
Berdasarkan
kitab Tafsir Al-Mishbah yang disusun oleh M. Quraish Shihab pada halaman
313-317, menurut Al-Biqa’i ayat ini kembali kepada pokok masalah yang menjadi
tema surat ini, yaitu pembuktian tentang kekuasaan Allah SWT dan keniscayaan
hari kemudian, maka untuk itu melalui ayat ini Allah menguraikan kekuasaan-Nya
yang tak tertandingi.
Sayyid
Quthub juga menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dalam surat ini,
yakni ayat ke 136:
وَجَعَلُواْ
لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ نَصِيبٗا فَقَالُواْ هَٰذَا
لِلَّهِ بِزَعۡمِهِمۡ وَهَٰذَا لِشُرَكَآئِنَاۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمۡ
فَلَا يَصِلُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ
شُرَكَآئِهِمۡۗ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ١٣٦
Artinya : “Dan mereka menjadikan bagi Allah apa yang
telah Dia ciptakan satu bagian dari tanaman dan ternak.”
Ayat ini menurutnya
kembali ke sana untuk mengingatkan mereka kepada sumber yang menciptakan
tanaman dan ternak yang mereka bagi dan perlakukan secara tidak benar itu.
Mereka dikecam karena melakukan pembagian demikian, yakni sebagian buat Allah
dan sebagian buat berhala, bahkan tidak hanya sampai di sana, mereka mengambil
lagi apa yang tadinya mereka jadikan milik Allah, padahal sesungguhnya semua
ternak dan tanaman, bahkan semua wujud adalah milik Allah. Demikian lebih
kurang menurut Sayyid Quthub.
Thahir Ibn ‘Asyur
menilai bahwa kata dan pada awal ayat di atas yang berfungsi menggabung dan
menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu, berhubungan dengan firman-Nya: wa harramu ma razaqahum Allah yang
artinya dan mereka mengharamkan apa yang Telah Allah rezekikan kepada mereka.
Menurutnya, ayat ini mengingatkan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah SWT
kepada manusia melalui apa yang diciptakan–Nya di bumi untuk kemaslahatan
mereka. Sesudah kecaman terhadap aneka tindakan kaum musyrikin atas
nikmat-nikmat Allah serta kritik pedas akibat kepicikan mereka yang telah
mengharamkan atas diri mereka sebagian dari nikmat itu, maka ayat ini
menggabung dan menghubungkan uraian yang lalu, dengan menyebut nikmat-Nya,
kiranya mereka sadar dan insyaf atas kesesatan mereka. Karena itu diulangi
dalam ayat ini sebagian besar apa yang telah disebutkan pada ayat lalu, yakni
ayat 99 surat ini yang menyatakan:
وَهُوَٱلَّذِيٓ
أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَيۡءٖ
فَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهُ خَضِرٗا نُّخۡرِجُ مِنۡهُ حَبّٗا مُّتَرَاكِبٗا وَمِنَ ٱلنَّخۡلِ
مِن طَلۡعِهَا قِنۡوَانٞ دَانِيَةٞ وَجَنَّٰتٖ مِّنۡ أَعۡنَابٖ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ
مُشۡتَبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٍۗ ٱنظُرُوٓاْ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ
وَيَنۡعِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكُمۡ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ٩٩
Artinya : “Dan Dia yang telah menurunkan air dari
langit, lalu Kami mengeluarkan disebabkan olehnya segala macam tumbuh-tumbuhan,
lalu Kami keluarkan darinya tanaman yang menghijau, Kami keluarkan darinya
butir yang saling bertumpuk; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai
yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan
delima yang serupa dan tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohon
berbuah, dan kematangannya.”
Karena tujuan ayat 99
ini adalah untuk membuktikan bahwa Allah adalah penciptanya, tanpa sekutu
bagi-Nya, maka ia ditutup dengan: “Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman.”
Adapun tujuan dari ayat
141 ini adalah untuk menggambarkan bertapa besar nikmat Allah serta untuk
melarang segala yang mengantar kepada melupakan nikmat-nikmat-Nya. Karena itu
ayat lalu (ayat 99) ditutup dengan menyatakan: “Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan perhatikan juga
kematangannya”, sedang di ayat 141 menyatakan: “Makanlah dari buahnya bila ia berbuah”.
Sangat jelas hubungan
erat ayat ini dengan ayat-ayat lalu, sehingga pendapat mana pun yang kita pilih
atau temukan, ayat ini berpesan bahwa Dan
Dialah tidak ada selain-Nya yang menjadikan dari tiada, kebun-kebun angguratau lainnya
yang berjunjung. Hanya Allah juga yang menciptakan pohon kurma, dan
tanaman-tanaman dalam keadaan yang
bermacam-macam rasa bentuk dan aromanya.
Allah jugalah yang
menciptakan buah-buahan seperti zaitun
dan delimayang serupa dalam beberapa segi seperti bentuk dan warnanya, dan tidak serupa dalam beberapa segi yang
lain seperti rasanya, padahal semuanya tumbuh di atas tanah yang sama dan
disiram dengan air yang sama.
Makanlah
sebagian buahnya yang bermacam-macam itu bila ia berbuah,
dan tunaikanlah dari sebagian yang lain haknya di hari memetik hasilnya dengan
bersedekah kepada yang butuh dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam segala
hal, yakni jangan menggunakan sesuatu, atau memberi maupun menerima sesuatu
yang bukan pada tempatnya. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai, yakni tidak merestui dan melimpahkan anugerah kepada orang-orang yang berlebih-lebihan dalam
segala hal, karena tidak ada kebajikan dalam pemborosan, apa pun pemborosan
itu, tidak juga dibenarkan pemborosan walau dalam kebajikan.
Untuk memahami sebagian
kandungan ayat di atas rujuklah ke tafsir ayat 99 surat ini.Perintah makan
dalam firman-Nya: Makanlah sebagian
buahnya bila ia berbuah, bermakna izin memakannya, bukan anjuran apalagi
kewajiban. Sedangkan kata idza/bila
yang mengandung makna waktu, di samping menunjukkan bahwa buah tersebut tidak
selalu ada sepanjang tahun, juga mengisyaratkan untuk bolehnya memakan buah itu
sebelum ditunaikan haknya.
Ayat ini menunjukkan
adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Hak itu merupakan
kewajiban bagi pemilik harta. Ini menunjukkan keniscayaan fungsi sosial bagi
harta benda. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas
menunjukkan kewajiban menunaikan zakat.
Pendapat ini disanggah
oleh ulama lain dengan alasan bahwa ayat, bahkan surat ini turun di Mekah
sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, sedang zakat baru diwajibkan setelah Nabi
berhijrah. Thahir Ibn Asyur berpendapat bahwa zakat telah diwajibkan pada awal
masa Islam, berdekatan masanya dengan kewajiban shalat, karena itu zakat sering
kali dirangkaikan penyebutannya dengan shalat.
Disamping itu sekian
banyak ayat yang diturunkan di mekah –sebelum Nabi SAW berhijrah- yang menyebut
zakat, seperti QS. Al-Muzzamil dan Al-Bayyinah, yang keduanya merupakan
wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi SAW. Di sisi lain –masih menurut Ibn
Asyur- kewajiban menyisihkan sebagian harta untuk fakir miskin merupakan satu
hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung fakir miskin dari kalangan
kaum muslimin yang ketika itu cukup banyak, karena yang memeluk Islam sering
kali diusir oleh keluarganya atau tuan-tuan mereka, tanpa diberi hak-haknya.
Bahwa perintah memungut zakat dalam friman-Nya:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ
صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ
سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah :
103)
Perintah ini boleh jadi
dalam konteks menyebut kadarnya, atau berfungsi menguatkan perintah-perintah
sebelumnya, ketika kaum muslimin telah berada di Madinah dan bebas dari
gangguan masyarakat Mekah, atau boleh jadi juga ia merupakan perintah untuk
mengambilnya dari orang-orang munafik. Demikian kata Ibn ‘Asyur.
Secara singkat,
perbedaan pendapat itu tidak harus dipertentangkan, apalagi bila dikatakan
bahwa ayat At-Taubah di atas berkaitan dengan penentuan kadar zakat. Karena
para ulama fiqh ketika menyebut kata zakat, memahaminya dalam arti kewajiban
mengeluarkan harta tertentu dengan syarat-syarat tertentu, termasuk menyangkut
waktu, jenis, dan kadar yang wajiib dikeluarkan. Adapun adanya anjuran atau
kewajiban mengeluarkan sebagian harta untuk yang membutuhkan, tetapi tanpa
menetapkan kadar atau waktunya maka ulama-ulama fiqh tidak menamainya sebagai
zakat, walau pun hal tersebut tidak mereka tolak sebagai perintah dari Allah
SWT sejak dini ketika Nabi Muhammad SAW masih berada dan tinggal di kota Mekah.
Kata hashad/memetik
dijadikan sebagai patokan waktu penuaian kewajiban atau tuntutan memberi kepada
orang lain, karena biasanya memetik hasil tanaman, bertujuan untuk menghimpun
dan menyisihkannya untuk masa yang akan datang atau untuk menjualnya. Alhasil,
pemetikan bukan bertujuan memenuhi kepentingan mendesak untuk dimakan oleh
pemilik dan keluarganya pada hari-hari terjadinya pemetikan itu.
Penyisihan tersebut
adalah indikator adanya kelebihan pemilik, dan dari sini lah lahir kewajiban
atau anjuran menyisihkan sebagian harta untuk orang lain. Di sisi lain, panen
tersebut merupakan bukti konkret adanya kelebihan bagi pemilik.
Dahulu, mayoritas ulama
membatasi jenis-jenis tertentu dari tumbuhan dan buah-buahan yang wajib
dizakati. Imam Malik berpendapat bahwa yang waji dizakati hanya yang dapat
disimpan dan merupakan bahan makanan pokok. Imam Syafi’i dalam hal ini
berpendapat serupa dan menambah satu syarat, yaitu kering, karena itu buah
zaitun –menurutnya- tidak wajib dizakati. “Sayur-mayur tidak wajib dizakati.”
Demikian menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini.
Pendapat tersebut tidak
lagi relevan sekarang ini, karena sekian banyak jenis tumbuhan yang tidak
dikenal oleh masyarakat Nabi Muhammad SAW ketika turunnya Al-Quran, atau tidak
produktif ketika itu, tetapi kini sudah merupakan komoditi yang sangat
potensial serta menghasilkan keuntungan yang tidak hanya sedikit tetapi kadang
berlimpah.
Jika yang demikian itu
tidak dizakati, maka akan kabur bahkan sirna unsur keadilan yang
didamba-dambakan oleh Islam. Dalam hal ini, jika kita berkata bahwa ayat di
atas merupakan perintah berzakat, maka itu berarti paling tidak jenis
tumbuh-tumbuhan yang disebutnya termasuk wajib dizakati. Pendapat ini dianut
oleh Abu Hanifah, bahkan menurut beliau segala hasil bumi apapun jenisnya harus
dizakati, setelah memenuhi syarat-syaratnya.
Berdasarkan penafsiran
yang dilakukan oleh beberapa ulama di atas maka dapat diambil poin-poin
pentingnya dari ayat ini. Menurut saya, secara khusus para ulama di atas
cenderung lebih menafsirkan ayat ini kepada anjuran untuk berzakat. Namun, mari
kita lihat pada penggalan ayat berikut ini:
كُلُواْ
مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا
تُسۡرِفُوٓاْۚ
Artinya : “Makanlah sebagian buahnya bila ia berbuah,
dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya dan janganlah kamu berlebih-lebihan.”
Dari penggalan ayat
tersebut, dalam tafsir Al-Mishbah ini dikatakan bahwa itu adalah hanya
merupakan perizinan dari Allah, bukan suatu kewajiban. Lalu bisa dilihat dari
penggalan terakhir ayat tersebut yang memiliki terjemah “janganlah kamu berlebih-lebihan”, hal itu merupakan suatu anjuran
kepada manusia agar tidak menggunakan sesuatu, memberi, maupun menerima sesuatu
yang bukan pada tempatnya. Allah sungguh tidak menyukai hal tersebut, yakni
tidak merestui dan melimpahkan anugerah padanya.
Tidak ada rahmat
apalagi keberkahan dalam perilaku yang berlebih-lebihan menurut tafsir ini,
karena berlebih-lebihan merupakan sifatnya syaitan. Ayat ini menurut buku Etika
Bisnis Islam yang disusun oleh bapak Dr. Abdul Aziz merupakan ayat tentang
konsumsi dalam Islam. Konsumsi dalam ekonomi ditafsirkan sebagai kegiatan mengurangi
nilai suatu produk atau jasa bukan hanya dalam hal makan dan minum. Konsumsi
juga dapat diterapkan dalam memakai dan menggunakan suatu barang atau jasa.
Sifat manusia pada dasarnya adalah tidak pernah puas, setelah memiliki sepeda
nanti ingin memiliki motor, setelah memiliki motor nanti ingin membeli mobil,
begitu seterusnya tak ada habisnya keinginan manusia.
Jika terus mengikuti
nafsu, maka manusia akan semakin tersesat, untuk itu diturunkanlah ayat ini
yang dapat dijadikan filter manusia dalam melakukan suatu tindakan. Tidak hanya
itu, dalam tafsir ini disebutkan, bahwa Allah juga tidak menyukai orang-orang
yang berlebihan meskipun itu dalam hal kebaikan. Apa contohnya? Contohnya
adalah seseorang itu sampai menjual rumah tempat tinggal satu-satunya untuk
bersedekah sehingga ia harus tidur di jalanan atau di mesjid-mesjid.
Walaupun niatnya untuk
suatu niatan yang baik, namun tetap saja yang ia lakukan adalah salah, karena
jelas dalam ayat dan tafsir ayat ini bahwa Allah tidak menyukai yang
berlebihan, hal yang dilakukan oleh muslim yang menjual rumahnya tadi untuk
bersedekah adalah berlebihan, karena Islam sungguh tidak pernah membebani
umatnya dalam melakukan suatu hal kebaikan.
Ayat ini dikaitkan juga
dengan ayat sebelumnya yakni ayat ke 99 yang berbunyi:
وَهُوَٱلَّذِيٓ
أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَيۡءٖ
فَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهُ خَضِرٗا نُّخۡرِجُ مِنۡهُ حَبّٗا مُّتَرَاكِبٗا وَمِنَ ٱلنَّخۡلِ
مِن طَلۡعِهَا قِنۡوَانٞ دَانِيَةٞ وَجَنَّٰتٖ مِّنۡ أَعۡنَابٖ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ
مُشۡتَبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٍۗ ٱنظُرُوٓاْ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ
وَيَنۡعِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكُمۡ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ٩٩
Artinya : “Dan Dia yang telah menurunkan air dari
langit, lalu Kami mengeluarkan disebabkan olehnya segala macam tumbuh-tumbuhan,
lalu Kami keluarkan darinya tanaman yang menghijau, Kami keluarkan darinya
butir yang saling bertumpuk; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai
yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan
delima yang serupa dan tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohon
berbuah, dan kematangannya.”
Ayat ini menunjukkan
adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Hak itu merupakan
kewajiban bagi pemilik harta. Ini menunjukkan keniscayaan fungsi sosial bagi
harta benda. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas
menunjukkan kewajiban menunaikan zakat.
Dalam
tafsir ini disebutkan bahwa ada hak orang lain pada harta yang dimiliki kita,
dan merupakan suatu kewajiban bagi si pemilik harta untuk berzakat. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam benar-benar mengatur dengan baik hingga ke
sosial-sosialnya. Zakat dimaksudkan agar pendapatan terdistribusi dengan baik
di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar