Senin, 14 Maret 2016

Larangan Konsumsi Berlebihan dan Distribusi Pendapatan

Nama       :    Sri Wulanti Ningrum
NIM         :    1414231115
Kelas        :    Perbankan Syariah 3



Tugas Individu Tafsir Ayat Ekonomi
“Larangan Konsumsi Berlebihan dan Distribusi Pendapatan”

وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ١٤١

Artinya  : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam rupanya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa. Makanlah sebagian buahnya bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-An’am : 141)

Berdasarkan kitab Tafsir Al-Mishbah yang disusun oleh M. Quraish Shihab pada halaman 313-317, menurut Al-Biqa’i ayat ini kembali kepada pokok masalah yang menjadi tema surat ini, yaitu pembuktian tentang kekuasaan Allah SWT dan keniscayaan hari kemudian, maka untuk itu melalui ayat ini Allah menguraikan kekuasaan-Nya yang tak tertandingi.


Sayyid Quthub juga menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dalam surat ini, yakni ayat ke 136:
وَجَعَلُواْ لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ نَصِيبٗا فَقَالُواْ هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعۡمِهِمۡ وَهَٰذَا لِشُرَكَآئِنَاۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمۡ فَلَا يَصِلُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَآئِهِمۡۗ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ١٣٦
Artinya  : “Dan mereka menjadikan bagi Allah apa yang telah Dia ciptakan satu bagian dari tanaman dan ternak.

Ayat ini menurutnya kembali ke sana untuk mengingatkan mereka kepada sumber yang menciptakan tanaman dan ternak yang mereka bagi dan perlakukan secara tidak benar itu. Mereka dikecam karena melakukan pembagian demikian, yakni sebagian buat Allah dan sebagian buat berhala, bahkan tidak hanya sampai di sana, mereka mengambil lagi apa yang tadinya mereka jadikan milik Allah, padahal sesungguhnya semua ternak dan tanaman, bahkan semua wujud adalah milik Allah. Demikian lebih kurang menurut Sayyid Quthub.
Thahir Ibn ‘Asyur menilai bahwa kata dan pada awal ayat di atas yang berfungsi menggabung dan menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu, berhubungan dengan firman-Nya: wa harramu ma razaqahum Allah yang artinya dan mereka mengharamkan apa yang Telah Allah rezekikan kepada mereka. Menurutnya, ayat ini mengingatkan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia melalui apa yang diciptakan–Nya di bumi untuk kemaslahatan mereka. Sesudah kecaman terhadap aneka tindakan kaum musyrikin atas nikmat-nikmat Allah serta kritik pedas akibat kepicikan mereka yang telah mengharamkan atas diri mereka sebagian dari nikmat itu, maka ayat ini menggabung dan menghubungkan uraian yang lalu, dengan menyebut nikmat-Nya, kiranya mereka sadar dan insyaf atas kesesatan mereka. Karena itu diulangi dalam ayat ini sebagian besar apa yang telah disebutkan pada ayat lalu, yakni ayat 99 surat ini yang menyatakan:
وَهُوَٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَيۡءٖ فَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهُ خَضِرٗا نُّخۡرِجُ مِنۡهُ حَبّٗا مُّتَرَاكِبٗا وَمِنَ ٱلنَّخۡلِ مِن طَلۡعِهَا قِنۡوَانٞ دَانِيَةٞ وَجَنَّٰتٖ مِّنۡ أَعۡنَابٖ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُشۡتَبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٍۗ ٱنظُرُوٓاْ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَيَنۡعِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكُمۡ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ٩٩
Artinya  : “Dan Dia yang telah menurunkan air dari langit, lalu Kami mengeluarkan disebabkan olehnya segala macam tumbuh-tumbuhan, lalu Kami keluarkan darinya tanaman yang menghijau, Kami keluarkan darinya butir yang saling bertumpuk; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohon berbuah, dan kematangannya.
Karena tujuan ayat 99 ini adalah untuk membuktikan bahwa Allah adalah penciptanya, tanpa sekutu bagi-Nya, maka ia ditutup dengan: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman.
Adapun tujuan dari ayat 141 ini adalah untuk menggambarkan bertapa besar nikmat Allah serta untuk melarang segala yang mengantar kepada melupakan nikmat-nikmat-Nya. Karena itu ayat lalu (ayat 99) ditutup dengan menyatakan: “Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan perhatikan juga kematangannya”, sedang di ayat 141 menyatakan: “Makanlah dari buahnya bila ia berbuah”.
Sangat jelas hubungan erat ayat ini dengan ayat-ayat lalu, sehingga pendapat mana pun yang kita pilih atau temukan, ayat ini berpesan bahwa Dan Dialah tidak ada selain-Nya yang menjadikan dari tiada, kebun-kebun angguratau lainnya yang berjunjung. Hanya Allah juga yang menciptakan pohon kurma, dan tanaman-tanaman dalam keadaan yang bermacam-macam rasa bentuk dan aromanya.
Allah jugalah yang menciptakan buah-buahan seperti zaitun dan delimayang serupa dalam beberapa segi seperti bentuk dan warnanya, dan tidak serupa dalam beberapa segi yang lain seperti rasanya, padahal semuanya tumbuh di atas tanah yang sama dan disiram dengan air yang sama.
Makanlah sebagian buahnya yang bermacam-macam itu bila ia berbuah, dan tunaikanlah dari sebagian yang lain haknya di hari memetik hasilnya dengan bersedekah kepada yang butuh dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam segala hal, yakni jangan menggunakan sesuatu, atau memberi maupun menerima sesuatu yang bukan pada tempatnya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai, yakni tidak merestui dan melimpahkan anugerah kepada orang-orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, karena tidak ada kebajikan dalam pemborosan, apa pun pemborosan itu, tidak juga dibenarkan pemborosan walau dalam kebajikan.
Untuk memahami sebagian kandungan ayat di atas rujuklah ke tafsir ayat 99 surat ini.Perintah makan dalam firman-Nya: Makanlah sebagian buahnya bila ia berbuah, bermakna izin memakannya, bukan anjuran apalagi kewajiban. Sedangkan kata idza/bila yang mengandung makna waktu, di samping menunjukkan bahwa buah tersebut tidak selalu ada sepanjang tahun, juga mengisyaratkan untuk bolehnya memakan buah itu sebelum ditunaikan haknya.
Ayat ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Hak itu merupakan kewajiban bagi pemilik harta. Ini menunjukkan keniscayaan fungsi sosial bagi harta benda. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan kewajiban menunaikan zakat.
Pendapat ini disanggah oleh ulama lain dengan alasan bahwa ayat, bahkan surat ini turun di Mekah sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, sedang zakat baru diwajibkan setelah Nabi berhijrah. Thahir Ibn Asyur berpendapat bahwa zakat telah diwajibkan pada awal masa Islam, berdekatan masanya dengan kewajiban shalat, karena itu zakat sering kali dirangkaikan penyebutannya dengan shalat.
Disamping itu sekian banyak ayat yang diturunkan di mekah –sebelum Nabi SAW berhijrah- yang menyebut zakat, seperti QS. Al-Muzzamil dan Al-Bayyinah, yang keduanya merupakan wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi SAW. Di sisi lain –masih menurut Ibn Asyur- kewajiban menyisihkan sebagian harta untuk fakir miskin merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung fakir miskin dari kalangan kaum muslimin yang ketika itu cukup banyak, karena yang memeluk Islam sering kali diusir oleh keluarganya atau tuan-tuan mereka, tanpa diberi hak-haknya. Bahwa perintah memungut zakat dalam friman-Nya:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣
Artinya  : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah : 103)
Perintah ini boleh jadi dalam konteks menyebut kadarnya, atau berfungsi menguatkan perintah-perintah sebelumnya, ketika kaum muslimin telah berada di Madinah dan bebas dari gangguan masyarakat Mekah, atau boleh jadi juga ia merupakan perintah untuk mengambilnya dari orang-orang munafik. Demikian kata Ibn ‘Asyur.
Secara singkat, perbedaan pendapat itu tidak harus dipertentangkan, apalagi bila dikatakan bahwa ayat At-Taubah di atas berkaitan dengan penentuan kadar zakat. Karena para ulama fiqh ketika menyebut kata zakat, memahaminya dalam arti kewajiban mengeluarkan harta tertentu dengan syarat-syarat tertentu, termasuk menyangkut waktu, jenis, dan kadar yang wajiib dikeluarkan. Adapun adanya anjuran atau kewajiban mengeluarkan sebagian harta untuk yang membutuhkan, tetapi tanpa menetapkan kadar atau waktunya maka ulama-ulama fiqh tidak menamainya sebagai zakat, walau pun hal tersebut tidak mereka tolak sebagai perintah dari Allah SWT sejak dini ketika Nabi Muhammad SAW masih berada dan tinggal di kota Mekah.
Kata hashad/memetik dijadikan sebagai patokan waktu penuaian kewajiban atau tuntutan memberi kepada orang lain, karena biasanya memetik hasil tanaman, bertujuan untuk menghimpun dan menyisihkannya untuk masa yang akan datang atau untuk menjualnya. Alhasil, pemetikan bukan bertujuan memenuhi kepentingan mendesak untuk dimakan oleh pemilik dan keluarganya pada hari-hari terjadinya pemetikan itu.
Penyisihan tersebut adalah indikator adanya kelebihan pemilik, dan dari sini lah lahir kewajiban atau anjuran menyisihkan sebagian harta untuk orang lain. Di sisi lain, panen tersebut merupakan bukti konkret adanya kelebihan bagi pemilik.
Dahulu, mayoritas ulama membatasi jenis-jenis tertentu dari tumbuhan dan buah-buahan yang wajib dizakati. Imam Malik berpendapat bahwa yang waji dizakati hanya yang dapat disimpan dan merupakan bahan makanan pokok. Imam Syafi’i dalam hal ini berpendapat serupa dan menambah satu syarat, yaitu kering, karena itu buah zaitun –menurutnya- tidak wajib dizakati. “Sayur-mayur tidak wajib dizakati.” Demikian menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini.
Pendapat tersebut tidak lagi relevan sekarang ini, karena sekian banyak jenis tumbuhan yang tidak dikenal oleh masyarakat Nabi Muhammad SAW ketika turunnya Al-Quran, atau tidak produktif ketika itu, tetapi kini sudah merupakan komoditi yang sangat potensial serta menghasilkan keuntungan yang tidak hanya sedikit tetapi kadang berlimpah.
Jika yang demikian itu tidak dizakati, maka akan kabur bahkan sirna unsur keadilan yang didamba-dambakan oleh Islam. Dalam hal ini, jika kita berkata bahwa ayat di atas merupakan perintah berzakat, maka itu berarti paling tidak jenis tumbuh-tumbuhan yang disebutnya termasuk wajib dizakati. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, bahkan menurut beliau segala hasil bumi apapun jenisnya harus dizakati, setelah memenuhi syarat-syaratnya.
Berdasarkan penafsiran yang dilakukan oleh beberapa ulama di atas maka dapat diambil poin-poin pentingnya dari ayat ini. Menurut saya, secara khusus para ulama di atas cenderung lebih menafsirkan ayat ini kepada anjuran untuk berzakat. Namun, mari kita lihat pada penggalan ayat berikut ini:
كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ
Artinya  : “Makanlah sebagian buahnya bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya dan janganlah kamu berlebih-lebihan.”
Dari penggalan ayat tersebut, dalam tafsir Al-Mishbah ini dikatakan bahwa itu adalah hanya merupakan perizinan dari Allah, bukan suatu kewajiban. Lalu bisa dilihat dari penggalan terakhir ayat tersebut yang memiliki terjemah “janganlah kamu berlebih-lebihan”, hal itu merupakan suatu anjuran kepada manusia agar tidak menggunakan sesuatu, memberi, maupun menerima sesuatu yang bukan pada tempatnya. Allah sungguh tidak menyukai hal tersebut, yakni tidak merestui dan melimpahkan anugerah padanya.
Tidak ada rahmat apalagi keberkahan dalam perilaku yang berlebih-lebihan menurut tafsir ini, karena berlebih-lebihan merupakan sifatnya syaitan. Ayat ini menurut buku Etika Bisnis Islam yang disusun oleh bapak Dr. Abdul Aziz merupakan ayat tentang konsumsi dalam Islam. Konsumsi dalam ekonomi ditafsirkan sebagai kegiatan mengurangi nilai suatu produk atau jasa bukan hanya dalam hal makan dan minum. Konsumsi juga dapat diterapkan dalam memakai dan menggunakan suatu barang atau jasa. Sifat manusia pada dasarnya adalah tidak pernah puas, setelah memiliki sepeda nanti ingin memiliki motor, setelah memiliki motor nanti ingin membeli mobil, begitu seterusnya tak ada habisnya keinginan manusia.
Jika terus mengikuti nafsu, maka manusia akan semakin tersesat, untuk itu diturunkanlah ayat ini yang dapat dijadikan filter manusia dalam melakukan suatu tindakan. Tidak hanya itu, dalam tafsir ini disebutkan, bahwa Allah juga tidak menyukai orang-orang yang berlebihan meskipun itu dalam hal kebaikan. Apa contohnya? Contohnya adalah seseorang itu sampai menjual rumah tempat tinggal satu-satunya untuk bersedekah sehingga ia harus tidur di jalanan atau di mesjid-mesjid.
Walaupun niatnya untuk suatu niatan yang baik, namun tetap saja yang ia lakukan adalah salah, karena jelas dalam ayat dan tafsir ayat ini bahwa Allah tidak menyukai yang berlebihan, hal yang dilakukan oleh muslim yang menjual rumahnya tadi untuk bersedekah adalah berlebihan, karena Islam sungguh tidak pernah membebani umatnya dalam melakukan suatu hal kebaikan.
Ayat ini dikaitkan juga dengan ayat sebelumnya yakni ayat ke 99 yang berbunyi:
وَهُوَٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَيۡءٖ فَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهُ خَضِرٗا نُّخۡرِجُ مِنۡهُ حَبّٗا مُّتَرَاكِبٗا وَمِنَ ٱلنَّخۡلِ مِن طَلۡعِهَا قِنۡوَانٞ دَانِيَةٞ وَجَنَّٰتٖ مِّنۡ أَعۡنَابٖ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُشۡتَبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٍۗ ٱنظُرُوٓاْ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَيَنۡعِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكُمۡ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ٩٩
Artinya       : “Dan Dia yang telah menurunkan air dari langit, lalu Kami mengeluarkan disebabkan olehnya segala macam tumbuh-tumbuhan, lalu Kami keluarkan darinya tanaman yang menghijau, Kami keluarkan darinya butir yang saling bertumpuk; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohon berbuah, dan kematangannya.”
Ayat ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Hak itu merupakan kewajiban bagi pemilik harta. Ini menunjukkan keniscayaan fungsi sosial bagi harta benda. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan kewajiban menunaikan zakat.
Dalam tafsir ini disebutkan bahwa ada hak orang lain pada harta yang dimiliki kita, dan merupakan suatu kewajiban bagi si pemilik harta untuk berzakat. Hal ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar mengatur dengan baik hingga ke sosial-sosialnya. Zakat dimaksudkan agar pendapatan terdistribusi dengan baik di masyarakat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar