Senin, 14 Maret 2016

TAFSIR AYAT EKONOMI TENTANG PRODUKSI AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL AYAT (5-9)



Nama              : Fathurrojie
Nim                 : 1414232146
Smt/Jurusan  : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata Kuliah  : Tafsir Ayat Ekonomi




pembahasan 
Surat ini terdiri atas 128 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Surat ini dinamakan “An-Nahl” yang berarti “lebah” karena di dalamnya terdapat firman Allah Swt. Ayat 68 yang artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.
Lebah adalah makhluk Allah yang banyak memberi manfaat dan keni’matan kepada manusia. Ada persamaan antara madu yang dihasilkan oleh lebah dengan Al-Qur’anul Karim. Madu berasal dari bermacam-macam sari bunga dan dia menjadi obat bagi bermacam-macam penyakit manusia (lihat ayat 69). Sedang Al-Qur’an mengandung inti sari dari kitab-kitab yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan oleh semua bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (lihat surat [10] Yunus ayat 57 dan surat [17] Al-Isra’ ayat 82). Surat ini dinamakan pula “An Ni’am” artinya ni’mat-ni’mat, karena di dalamnya Allah menyebutkan perbagai macam ni’mat untuk hamba-hamba-Nya.
Salah satu ni’mat tersebut adalah diciptakannya hewan ternak yang mempunyai berbagai manfaat dan kegunaan. Selain dagingnya yang dapat dimakan, ternak-ternak tersebut dapat diambil susunya untuk dikonsumsi. Tidak hanya untuk konsumsi makanan, ternak-ternak juga dapat dimanfaatkan untuk fungsi yang lain yaitu sebagai alat transfortasi. Ternak-ternak juga dapat diambil kulitnya untuk dijadikan bahan pakaian dan benda-benda lainnya. Manfaat dari ternak tersebut dijelaskan dalam ayat 5-9 surat An Nahl.


1.      Asbabunuzul Ayat[1][1]
An-Nahl merupakan surat ke-16 pada juz ke-14 serta merupakan kelompok surat Makkiyah kecuali tiga ayat terakhir yang Madaniyyah. Mengenai ayat 5 sampai dengan ayat 9 dari surat An-Nahl tidak terdapat  petunjuk dari Al-Hadits yang menjelaskan latar belakang (asbabunuzul) ayat-ayat tersebut. Adapun dalam ayat-ayat dalam surat ini yang terdapat asbabunnuzulnya adalah ayat 1, 38, 41, 42, 75, 76, 80, 81, 82, 83, 91, 92, 103, 106, 110, 126, 127, dan 128). Ayat-ayat yang terdapat asbabunnuzulnya tersebut kebanyakan membicarakan tentang nikmat Allah dan mengenai orang-orang musyrikin.
Kandungan surat An-Nahl secara keseluruhan meliputi tema-tema tauhid dan sarana-sarananya, ayat-ayat kekuasaan Allah, ciptaan Allah yang ditundukkan untuk manusia, orang-orang yang mengingkari keesaan Allah, balasan Allah terhadap mereka yang menyekutukan-Nya, balasan Allah untuk orang-orang yang bertaqwa, pertanyaan orang-orang musyrik, sebab-sebab orang musyrik, kesombongan kaum musyrikin, larangan mempersekutukan Allah, perlakukan kaum musyrikin terhadap wanita, pandangan Islam terhadap wanita dan pandangan hukum Allah, tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkannya Al-Qur’an, pengingkaran atas nikmat Allah, peristiwa hari berbangkit, kebencian abadi Setan terhadap risalah Al-Qur’an, dan hukum orang-orang yang murtad[2][2].


2.      Terjemah Umum[3][3]

وَٱلۡأَنۡعَٰمَ خَلَقَهَاۖ لَكُمۡ فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَافِعُ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٥  وَلَكُمۡ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسۡرَحُونَ ٦ وَتَحۡمِلُ أَثۡقَالَكُمۡ إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُونُواْ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِۚ إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ٧ وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ وَيَخۡلُقُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٨ وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ وَمِنۡهَا جَآئِرٞۚ وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ ٩
                     Artinya    :    5. Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa’at, dan sebahagiannya kamu makan.
                                      6. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
                                      7. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
                                      8. dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal[4][4] dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
                                      9. Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).


3.      Makna Mufradat Tafsir jalalain

وَالْاَنْعَامَ (Dan binatang ternak) yakni unta, sapi, dan kambing. Lafaz al-an’ama dibaca nasab karena dinasabkan oleh fi’il yang diperkirakan keberadaannya, lalu fi’il tersebut ditafsirkan atau dijelaskan oleh lafaz berikut ini, yaitu خَلَقَهَالَكُمْ (Dia telah menciptakannya untuk kalian) sebagian dari manusia فِيْهَادِفْءٌ (padanya ada kehangatan) yaitu bulu dan kulitnya dapat dibuat pakaian dan selimut untuk penghangat tubuh kalian وَمَنَافِعُ (dan berbagai manfaat) yaitu dari anak-anaknya, air susunya, dan dapat dijadikan sebagai kendaraan وَمِنْهَاتَأْكُلُوْنَ (dan sebagainya kalian makan) zaraf didahulukan karena untuk tujuan fasilah.
وَلَكُمْ فِيْهَاجَمَالٌ (Dan kalian memperoleh pandangan yang indah padanya) yakni sebagai perhiasan kalian حِيْنَ تُرِيْحُوْنَ (ketika kalian membawanya kembali ke kandang) ketika kalian menggiringnya kembali ke kandangnya di waktu sore hari وَحِيْنَ تَسْرَحُوْنَ (dan ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan) kalian mengeluarkannya dari kandangnya menuju ke tempat penggembalaan di waktu pagi hari.
وَتَحْمِلُ اَثْقَالَكُمْ (Dan ia dapat memikul beban-beban kalian) barang-barang kalian إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُوْنُواْ بَٰلِغِيهِ (ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya) kalian tidak sanggup mencapainya tanpa memakai kendaraan unta إِلَّا بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِ (melainkan dengan kesukaran-kesukaran yang memayahkan diri) yang membuat payah diri kalian إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوْفٞ رَّحِيْمٞ (Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) terhadap kalian, Dia telah menciptakannya untuk kalian manfaatkan.
وَ (dan) Dia telah menciptakan الْحَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَلِتَرْكَبُوْهَاوَزِيْنَةً (kuda, bigal, dan keledai agar kalian menungganginya dan menjadikannya sebagai perhiasan) lafaz zinatan menjadi maful lah disebutkannya kedua ‘illat itu, yaitu untuk ditunggangi dan dianggap sebagai perhiasan; hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan manfaat lain yang ada padanya. Seperti halnya pada kuda, selain dapat ditunggangi dan dijadikan perhiasan, dagingnya dapat dimakan. Hal ini telah ditetapkan berdasarkan hadis sahihain. وَيَخۡلُقُ مَا لَا تَعۡلَمُوْنَ (Dan Allah menciptakan apa yang kalian tidak mengetahuinya) berupa hal-hal yang aneh dan menakjubkan.
وَعَلَى اللَّهِ قَصۡدُ السَّبِيْلِ (Dan hak bagi Allah menerangkan jalan yang lurus) hak bagi Allah menjelaskannya وَمِنْهَا (dan diantara jalan-jalan) tersebut جَآئِرٞ (ada yang bengkok) menyimpang dari jalan yang lurus وَلَوۡ شَآءَ (Dan jikalau Dia menghendaki) untuk memberi petunjuk kepada kalian لَهَدَىٰكُمۡ (niscaya Dia memberi petunjuk kepada kalian) ke jalan yang lurus أَجۡمَعِيْنَ (semuanya) sehingga kalian semua mendapat petunjuk ke jalan yang lurus itu atas kehendak kalian sendiri.

Tafsir Hidayatul Insan[5][6]
Dan hewan ternak (yaitu unta, sapi, dan kambing) telah diciptakan-Nya untuk kamu (untuk manfaat dan maslahat kamu, di antaranya kamu memperoleh kehangatan dari bulunya, dan memperoleh manfaat lainnya), padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat (bisa diternakkan, diambil susunya, dan ditunggangi), dan sebagiannya kamu makan.
Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang (disore hari) dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat penggembalaan) (dipagi hari).
Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya (jika tidak menggunakan unta, lebih dari itu, ia pun mengangkut kamu), kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (oleh karena itu, Dia menciptakan hewan tersebut untuk kamu serta menyiapkan segala yang kamu butuhkan dan kamu perlukan, maka segala puji bagi Allah sesuai dengan keagungan wajah-Nya, besarnya kekuasaan-Nya dan luasnya kepemurahan-Nya).
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal (bagal yaitu anak dari perkawinan kuda dengan keledai), dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan (tidak disebutkan “untuk dimakan” karena bagal dan keledai negeri haram dimakan, adapun kuda diizinkan oleh Nabi shallalahu’alaihi wa sallam untuk dimakan). Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (berupa menciptakan sesuatu yang menarik dan ajaib. Tidak disebutkan contohnya oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala, karena Dia tidaklah menyebutkan di dalam kitab-Nya selain sesuatu yang diketahui hamba-hamba-Nya atau yang serupa dengannya, karena jika tidak begitu hamba-hamba-Nya tidak akan tahu dan tidak akan memahami maksudnya. Dia menyebutkan asal (dasar) yang mencakup apa yang mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Misalnya menyebutkan kenikmatan surga, disebutkan di antaranya yang kita ketahui dan yang kita saksikan persamaannya, seperti pohon kurma, anggur dan delima, sedangkan yang tidak kita ketahui, Dia menyebutkan secara garis besar, seperti dalam firman-Nya, “Di dalam kedua surga itu terdapat aneka buah-buahan yang berpasang-pasangan”[terj. Ar-Rum:52]).
Dan hal Allah (menerangkan) jalan yang lurus (yaitu jalan yang menyampaikan kepada Allah dan kepada surga-Nya), dan di antaranya ada (jalan) yang menyimpang. Jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi petunjuk kamu semua (ke jalan yang benar) (Dia menunjukkan sebagian kamu karena kepemurahan dan karunia-Nya, dan tidak menunjuki yang lain karena hikmah dan keadilan-Nya).

4.      Munasabah[6][7]
Allah Swt. menyebutkan nikmat yang Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya, antara lain Dia menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu unta, sapi, dan kambing, seperti yang telah dirinci di dalam surat Al-An’am sampai dengan friman-Nya, “Samaniyata azwaj” (delapan ekor ternak yang berpasang-pasangan). Allah pun telah menjadikan pada binatang-binatang ternak itu berbagai manfaat dan kegunaan buat mereka, yaitu bulunya mereka jadikan pakaian dan hamparan, air susunya mereka minum, dan anak-anaknya mereka makan, serta pandangan yang indak pada ternak mereka sebagai perhiasan buat mereka. Untuk itulah disebutkan dalam firman-Nya:
وَلَكُمۡ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ...
Dan kalian memperoleh pandangan yang indah ketika kalian membawanya kembali ke kandang, (An-Nahl:6).

Artinya, disaat ternak kembali dari tempat pengembalaannya di petang hari, maka ternak unta kelihatan sebagai ternak yang memiliki pinggang paling panjang, tetek paling besar, dan punuk yang paling tinggi.
...وَحِينَ تَسۡرَحُونَ.
Dan ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan, (An-Nahl:6).
Yakni di pagi hari ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan.
وَتَحۡمِلُ أَثۡقَالَكُمۡ...
Dan ia memikul beban-beban kalian, (An-Nahl:7).
Maksudnya, bawaahn kalian yang berat-berat yang kalian tidak mampu mengangkat dan bembawanya.
...إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُونُواْ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ...
Ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri, (An-Nahl:7).
Yakni dalam perjalanan kalian menuju ibadah haji dan umrah, berperang dan berniaga serta tujuan-tujuan lainnya; kalian dapat menggunakannya untuk berbagai keperluan, yaitu sebagai kendaraan dan pembawa muatan barang-barang kalian. Ayat ini semakna denga firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
وَإِنَّ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهَا وَلَكُمۡ فِيهَا مَنَٰفِعُ كَثِيرَةٞ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٢١ وَعَلَيۡهَا وَعَلَى ٱلۡفُلۡكِ تُحۡمَلُونَ ٢٢
Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu maka
dan di atas punggung binatang-binatang ternak itu dan (juga) di atas perahu-perahu kamu diangkut, (Al-Muminun:21-22).

Karena itulah setelah menyebutkan berbagai macam nikmat melalui firman-Nya, dalam ayat berikut ini disebutkan:
...إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ
Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (An-Nahl:7).

Yakni Tuhanlah yang telah menyediakan hewan-hewan ternak itu buat kalian dan yang menundukkannya buat kalian, sama halnya dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّا خَلَقۡنَا لَهُم مِّمَّا عَمِلَتۡ أَيۡدِينَآ أَنۡعَٰمٗا فَهُمۡ لَهَا مَٰلِكُونَ ٧١ وَذَلَّلۡنَٰهَا لَهُمۡ فَمِنۡهَا رَكُوبُهُمۡ وَمِنۡهَا يَأۡكُلُونَ ٧٢
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya
Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan.

Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
فِيهَا دِفۡءٞ
Padanya ada (bulu) yang menghangatkan, (An-Nahl:5).

Yang dapat mereka jadikan sebagai pakaian
وَمَنَٰفِعُ
Dan berbagai manfaat, (An-Nahl:5)

Yakni manfaat lainnya, yaitu dagingnya dapat kalian makan dan susunya dapat kalian minum.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan dif’un dan manafi’ ialah keturunan dari semua hewan ternak.
Mujahid mengatakan bahwa makna firman-Nya:
...فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ...
Padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, (An-Nahl:5)
Artinya pakaian dari hasil tenunan bulunya; dan berbagai manfaat lainnya dari hewan ternak, yaitu sebagai kendaraan, dimakan dagingnya, dan diminum air susunya.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
...دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ...
…(bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat…, (An-Nahl:5)
Yakni pada binatang ternak terdapat bahan pakaian, makanan dan minuman, serta sarana transportasi. Hal yang sama telah dikatakan oleh banyak kalangan ulama tafsir dengan ungkapan yang berdekatan.
وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ وَيَخۡلُقُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.

Jenis hewan lain yang diciptakan oleh Allah Swt. buat hamba-hamba-Nya sebagai anugerah-Nya buat mereka ialah kuda, begal, dan keledai yang dapat dipergunakan untuk kendaraan dan perhiasan. Itulah kegunaan hewan-hewan tersebut yang paling menonjol.
Mengingat ketiga jenis hewan ini dipisahkan penyebutannya dari hewan ternak, maka ada sebagian ulama yang dengan berdalilkan ayat ini mengatakan bahwa daging kuda hukumnya haram. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Imam Abu Hanifah dan ulama fiqih lainnya yang sependapat dengannya, dengan alasan bahwa Allah Swt. menyebutkan kuda bersama dengan penyebutan begal dan keledai; karena itulah maka kuda haram, seperti yang disebutkan juga di dalam sunnah nabawi dan pendapat sebagian besar ulama.
Imam Abu Ja’far ibnu Jaris mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwa-I, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari maula Nafi’ ibnu Alqamah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas tidak menyukai (memakruhkan) daging kuda, bagal, dan keledai. Ia mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَٱلۡأَنۡعَٰمَ خَلَقَهَاۖ لَكُمۡ فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan, (An-Nahl:5)

Yang disebutkan dalam ayat ini adalah hewan ternak yang dapat dimakan dagingnya. Sedangkan firman berikutnya:
وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا...
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai agar kalian menungganginya…, (An-Nahl:8)
Menerangkan jenis hewan yang digunakan untuk dikendarai. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui jalur Sa’id ibnu Jubair dan lain-lainnya, dari Ibnu Abbas, dengan lafaz yang semisal. Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama telah dikatakan pula oleh Al-Hakam ibnu Utaibah r.a.
Mereka mengatakan demikian dengan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitan Musnad-nya; disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbihi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam ibnu Ma’dikariba, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Khalid ibnul Walid yang mengatakan bahwa:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكَلَ لُحُوْمَ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحِمَيْرِ.
Rasulullah Saw. Melarang memakan daging kuda, bagal, dan keledai.

Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam ibnu Majah mengetengahkannya melalui hadis Saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam, tetapi predikat siqah-nya masih disangsikan.
Imam Ahmad meriwayatkan pula melalui jalur lain secara lebih panjang daripada riwayat yang pertama. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Salim, dari Saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam, dari kakeknya (yaity Al-Miqdam ibnu Ma’dikariba) yang mengatakan, “Kami bersama Khalid ibnu Walid memerangi As-Sa-ifah, kemudian teman-teman kami memberikan daging kepada kami, dan sebagai imbalannya mereka meminta seekor kuda, maka saya berikan kuda itu kepada mereka dan mereka mengikatnya. Maka saya katakan kepada mereka, “Kalian tunggu dahulu, hingga aku datang kepada Khalid untuk bertanya kepadanya”.
Maka saya datang kepada Khalid dan menanyakan masalah itu kepadanya, maka Khalid menjawab, “Kami berperang bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Khaibar”. Maka pasukan kaum muslim bersegera menyerbu kandang ternak milik orang-orang Yahudi, dan Rasulullah Saw. memerintahkan kepadaku untuk menyerukan bahwa salat didirikan dengan berjamaan dan tidak akan masuk surga kecuali hanya seorang muslim.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
اَيُّهَاالنَّاسُ: اِنَّكُمْ قَدْاَسْرَعْتُمْ فِيْ حَظَائِرِيَهُوْدَ، اَلَالَايَحِلُّ اَمْوَالُ الْمُعَاهَدِيْنَ اِلَّابِحَقِّهَا وَحَرَامٌ عَلَيْكُمْ لَحُوْمُ الْحُمُرِالْأَهْلِيَّةِوَخَيْلِهَا وَبِغَالِهَا، وَكُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.
Hai manusia, sesungguhnya kalian telah bersegera menuju tempat kandang ternak orang-orang Yahudi. Ingatlah, tidaklah halal harta benda orang-orang mu’ahad kecuali dengan alasan yang hak, dan diharamkan kepada kalian daging keledai kampung, kuda, dan bagalnya; juga (diharamkan kepada kalian) setiap hewan pemangsa yang bertaring dan setiap burung yang berkuku tajam (burung pemangsa).

Seakan-akan peristiwa ini terjadi sesudah orang-orang Yahudi mau mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum muslimin dan mereka kepada kaum muslim. Seandainya hadis ini sahih, tentulah ia menjadi nash yang mengharamkan daging kuda, tetapi hadis ini tidak dapat melawan hadis sahih yang terdapat di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، وَأَذِنَ فِيْ لُحُوْمِ الْخَيْلِ.
Rasulullah Saw. telah melarang (memakan) daging keledai kampung dan membolehkan daging kuda.

Imam Ahmad dan Imam Abu Daud telah meriwayatkannya berikut kedua sanad yang ada pada masing-masing dengan syarat Muslim melalui Jabir yang telah mengatakan:
ذَبَحْنَايَوْمَ خَيْبَرَالْخَيْلَ وَالْبِغَاَل وَالْحِمَيْرَ، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِغَالِ وَالْحِمَيْرِ وَلَمْ يَنْهَنَا عَنِ الْخَيْلِ.
Pada Perang Khaibar kami menyembelih kuda dan bagal serta keledai, maka Rasulullah Saw. melarang kami (memakan) bagal dan keledai, tetapi tidak melarang kami (memakan) kuda.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui Asma binti Abu Bakar r.a. yang mengatakan:
نَحَرْنَاعَلَى عَهْدِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًافَأَكَلْنَاهُ وَنَحْنُ بِالْمَدِيْنَةِ.
Di masa Rasulullah Saw. kami pernah menyembelih kuda, lalu kami memakannya, sedangkan kami berada di Madinah.

Dalil ini lebih kuat dan lebih teguh, dan hadis inilah yang dijadikan pegangan oleh Jumhur ulama, antara lain Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad serta semua murid masing-masing; dan kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kuda itu pada asal mulanya adalah hewan liar, lalu Allah menjinakkannya buat Ismail ibnu Ibrahim a.s.
Wabb ibnu Munabbih menyebutkan di dalam hadis Israiliyatnya, bahwa Allah menciptakan kuda dari angin selatan.
Nas hadis menunjukkan boleh mengendarai binatang-binatang ini, antara lain bagal. Rasulullah Saw. pernah menerima hadiah seekor bagal, lalu dijadikannya sebagai hewan kendaraannya, padahal beliau sendiri melarang menginseminasikan (mengawinsilangkan) antara keledai dan kuda, agar keturunan keledai tidak terputus (punah).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Umar, dari keluarga Huzaifah, dari Huzaifah, dari Asy-Sya’bi, dari Dahiyyah Al-Kalabi yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, maukah engkau bila aku mengawinsilangkan keledai dan kuda, maka anaknya nanti (bagal) untukmu buat kendaraanmu?”.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang melakukan demikian hanyalah orang-orang yang tidak mengetahui”.
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ وَمِنۡهَا جَآئِرٞۚ وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ٩
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).

Setelah Allah Swt. menyebutkan berbagai hewan dan manfaat serta kegunaannya di jalan yang bersifat kongkret, maka Allah Swt. mengingatkan kepada jalan agama yang bersifat abstrak. Di dalam Al-Qur’an sering sekali terjadi peralihan ungkapan dari hal-hal yang kongkret kepada hal-hal yang maknawi (abstrak), seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt.:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰ
…berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…, (Al-Baqarah:197)

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ.
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik, (Al-A’raf:26)

Setelah menyebutkan berbagai jenis hewan yang mereka kendarai sehingga dapat mengantarkan mereka kepada keperluan yang ada di dalam hati mereka, hewan-hewan itulah yang mengangkut barang-barang berat mereka ke berbagai negeri, tempat yang jauh, dan perjalanan yang melelahkan. Allah menyebutkan jalan-jalan yang ditempuh oleh manusia untuk menuju kepada Allah. Maka dijelaskan bahwa hanya jalan yang hal sajalah yang dapat mengantarkan seseorang kepada Allah. Untuk itu disebutkan dalam firman-Nya:

وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hah bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, (An-Nahl:9)

Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِ.
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya, (Al-An’am:153)
هَٰذَا صِرَٰطٌ عَلَيَّ مُسۡتَقِيمٌ.
Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya), (Al-Hijr:41)

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, (An-Nahl:9)

Maksudnya, jalan yang benar ialah jalan menuju kepada Allah. As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, (An-Nahl:9)

Yakni agama Islam.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, (An-Nahl:9)

Artinya, Allah-lah yang menjelaskannya, yakni menjelaskan jalan petunjuk dan jalan yang sesat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas; telah dikatakan pula oleh Qatadah dan Ad-Dahhak.
Tetapi pendapat Mujahid lebih kuat, sebab lebih serasi dengan konteks kalimat sebelumnya. Allah Swt. memberitahukan bahwa banyak jalan yang ditempuh untuk menuju kepada-Nya, tetapi tidak dapat mengantarkan kepada-Nya kecuali hanya jalan yang hak (benar), yaitu jalan yang disyariatkan dan diridai-nya. Sedangkan selain dari jalan itu tertutup (buntu) dan semua amal perbuatan yang dilakukan padanya ditolak. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
وَمِنۡهَا جَآئِرٞ.
Dan di antara jalan-jalan itu ada yang bengkok, (An-Nahl:9)

Yakni menyimpang dari jalan yang benar. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, yang dimaksud dengan jalan yang bengkok ialah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Ibnu Mas’ud membaca ayat ini dengan bacaan berikut, “Dan di antara kalian ada yang menyimpang dari jalan yang benar”.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa hal itu semuanya terjadi karena kekuasaan-Nya dan atas kehendak-Nya. Maka Allah Swt. berfirman:
وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ.
Dan jikalau dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar), (An-Nahl:9)

Sama seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًا.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, (Yunus:99)


وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ ١١٨ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمۡۗ وَتَمَّتۡ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ ١١٩
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya, (Hud:118-119)

5.      Signifikansi
Kandungan ayat 5-9 surat An Nahl mengandung arti bahwa Allah telah memberikan berbagai nikmat untuk manusia dari hasil ciptaan-Nya diantaranya diciptakannya hewan ternak yang mempunyai berbagai manfaat dan fungsi bagi kehidupan manusia[7][8]. Binatang ternak yang dimaksudkan diatas ditundukan Allah bagi manusia untuk dimakan, ditunggangi, dan dijadikan perhiasan[8][9].
Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut merupakan ayat yang berhubungan dengan ekonomi terutama masalah produksi. Dalam pandangan Islam produksi merupakan hal yang sangat penting, karena dengan produksi kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Al-Ghazali menyebutkan bahwa produksi adalah pengerahan secara maksimal sumber daya alam (raw material) oleh sumber daya manusia, agar menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia[9][10].
Segala yang diciptakan Allah untuk manusia merupakan sumber daya yang harus dimanfaatkan dan dimakmurkan untuk kemaslahatan hidup manusia. Sumber daya tersebut merupakan sumber ekonomi yang harus dijaga dan dilestarikan. Ismail Nawawi membagi sumber daya ekonomi menjadi beberapa bidang yaitu: 1) bidang perdagangan, 2) bidang pertanian dan pengolahan tambang, 3) bidang peternakan, 4) bidang industri dan teknologi, 5) bidang kelautan, 6) bidang perikanan, 7) bidang pengairan, 8) bidang kesehatan, dan 9) bidang dirgantara[10][11].
Afzalur Rahman memandang bahwa sumber daya merupakan faktor-faktor produksi, dimana faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tanah, tenaga kerja, modal, dan organisasi[11][12]. Adapun menurut Fauzia dan Riyadi bahwa yang termasuk faktor produksi adalah tanah, tenaga kerja, modal, manajemen produksi, dan teknologi[12][13].
Menurut Afzalur Rahman pengertian tanah mengandung arti yang luas termasuk semua sumber yang kita peroleh dari udara, laut, gunung, dan sebagainya, sampai dengan keadaan geografi, angin, dan iklim terkandung dalam tanah. Maka yang termasuk pada faktor produksi tanah adalah bumi (tanah), mineral, gunung, hutan, hewan, iklim dan hujan. Keseluruhan sumber daya yang diciptakan tuhan tersebut semuanya diperuntukkan untuk manusia, oleh karena itu terdapat sebuah premis dalam ekonomi  Islam yaitu “bahwa manusia dapat mencukupi keseluruhan hidupnya karena Allah telah menciptakan seluruh alam ini untuk kepentingan manusia”[13][14].
Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting keberadaannya. Landasan hukum yang digunakan untuk menjadikan tanah sebagai faktor-faktor produksi adalah bumi (Al-Baqarah:36), mineral (Al-Hadiid:25), gunung (Al-Hijr:19-20, An-Nazi’at:32-33), hutan (An-Nur:35, Al-Mu’minun:20), hewan (Thahaa:54, An-Nahl:5-8, Yaasiin:71-73, Al-Mu’min:79-80, Al-Mu’minun:21-22, An-Nahl:66), iklim dan hujan (An-Nahl:10-11, Al-Waaqi’ah:68-69)[14][15].
Walaupun segala sesuatu yang diciptakan Allah diperuntukkan bagi manusia, tetapi manusia tidak serta merta dengan bebasnya dapat menggunakan atau mengeksploitasinya. Sebagai khalifah dimuka bumi manusia harus tunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah melalui Al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya, termasuk dalam produksi. Menurut konsep Islam produksi harus dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut AM Saefuddin bahwa manusia sebagai khalifah diberikan tugas untuk memakmurkan bumi dengan berbagai syarat atau perjanjian diantaranya; manusia haruslah mengadakan ta’awun (saling menolong), takaful (kerjasama), kewajiban berlaku sederhana yaitu menghindari bentuk pemborosan atau pengmaburan harta dan penggunaan yang tidak semestinya dalam mendayagunakan rezeki Allah, selain itu manusia didalam usaha disyaratkan menumbuhkan dan memperbanyak harta namun tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dan dilakukan dengan cara yang baik dan halal[15][16].
Muhammad Al-Mubarak menjelaskan prinsip-prinsip produksi yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain[16][17]:
1.   Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan dengan syari’ah (haram).
2.   Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah kezaliman, seperti riba di mana kezaliman menjadi illat hukum bagi haramnya riba.
3.   Segala bentuk penimbunan (ikhtikar) terhadap barang-barang kebutuhan bagi masyarakat, adalah dilarang sebagai perlindungan syari’ah terhadap konsumen dan masyarakat.
4.   Memelihara lingkungan.

Sedangkan menurut Muhammad Hidayat bahwa prinsip produksi dalam ekonomi Islam berkaitan dengan maqashid al-syari’ah antara lain[17][18]:
1.   Kegiatan produksi harus dilandasi nilai-nilai Islam dan sesuai dengan maqashid al-Syari’ah. Tidak memproduksi barang/ jasa yang bertentangan dengan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.   Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan, yaitu dlaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
3.   Kegiatan produksi harus memerhatikan aspek keadilan, sosial, zakat, sedekah, infak, dan wakaf.
4.   Mengelola sumber daya alam secara optimal, tidak boros, berlebihan, dan merusak lingkungan.
5.   Distribusi keuntungan yang adil antara pemilik dan pengelola, manajemen dan buruh.

Tentunya kegiatan produksi dalam Islam tidak sebebas menurut kapitalisme yang membebaskan memproduksi apapun asal dibutuhkan manusia. Kebutuhan produksi dalam Islam tidak hanya didasarkan atas kebutuhan manusia saja melainkan harus didasarkan atas petunjuk syara’. Jadi produk-produk yang dihasilkan haruslah barang-barang yang halal menurut syari’ah.
Rasulullah Saw juga melarang untuk memproduksi barang-barang yang diharamkan oleh syara. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قَالَ: لَا. اَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِىُّ وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata: Rasul Allah SAW pernah ditanya tentang khomer yang dijadikan cuka. Nabi menjawab: Tidak boleh. Dikeluarkan oleh Muslim dan Tirmidzi, dia berkata: Hadis Hasan shohih[18][19].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ حَرَّمَ الْخَمْرَوَتَمَنَهَاوَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَتَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيْرَوَتَمَنَهَ.
Dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamer dan harganya, bangkai dan harganya, serta babi dan harganya[19][20] .

Dari hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah diatas jelas bahwa khamer, bangkai, dan babi merupakan barang haram untuk diperjualbelikan, dengan begitu tentunya memproduksinya juga merupakan haram. Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang Hukum Alkohol dalam Minuman pada tahun 1993 yang mengharamkan masuknya alkohol dalam berbagai minuman[20][21].
Kembali pada pendapat AM Saefuddin tentang syarat manusia dalam memakmurkan bumi. Selain memproduksi barang yang bermanfaat dan halal, manusia juga harus mengadakan ta’awun (saling menolong). Saling tolong menolong disini dapat diartikan dalam hal kemampuan memproduksi (kepemilikan faktor produksi). Seseorang yang memiliki kemampuan produksi lebih haruslah menolong orang yang kemampuan produksinya rendah. Jadi menurut konsep Islam tujuan dari produksi tidak untuk mengejar keuntungan semata. Dalam hadist disebutkan bahwa kegiatan seperti itu merupakan sedekah.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرً، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْبَهِيْمَةٌ، إِلَّاكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. [رواه البخاري]
Diriwayatkan dari Anas r.a., Dia berkata: Rasulullah Saw. pernah bersabda:”Siapapun dari salah seorang muslim menanam pohon atau menabuh benih, kemudian (tumbuh dan berbuah) lalu buahnya dimakan oleh manusia atau hewan, maka itu bernilai sebagai sedekah yang diberikannya”, (HR. Bukhari)[21][22].

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم: لَا تَمْنَعُوْا فَضْلَ الْمَاءِ لَتَمْنَعُوْابِهِ الْكَلأَ. [أخرجه البخاري]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Ia berkata: Rasulullah Saw. Pernah bersabda” “Janganlah kalian mencegah (menghalangi) orang mengambil kelebihan air untuk menyirami rerumputan (tanaman)”, (HR. Muslim)[22][23].

Syarat lain yang diharuskan Allah kepada manusia sebagai khalifah adalah manusia harus bertindak sederhana dan tidak berlebihan. Dalam konteks produksi, proses produksi harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia bukan untuk memenuhi keinginan manusia sebagaimana ekonomi kapitalis yang selalu mengejar pemenuhan keinginan manusia, dampaknya manusia menjadi hedonis. Maka dari itu produksi harus ditujukan untuk menghasilkan barang-barang sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu dlaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Selain itu produksi juga harus dilakukan seefisien mungkin sehingga tidak terjadi pemborosan. Perilaku efisien dan tidak boros tersebut dianjurkan oleh nabi sebagaimana dalam hadits dari Maimunah.
عَنْ مَيْمُوْنَةَ قَالَتْ أُهْدِيَ لِمَوْلَاةٍ لَنَاشَاةٌ مِنْ الصَّدَقَةِ فَمَانَتْ فَمَرَّ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا دَبَغْتُمْ إِهَابَهَاوَاسْتَنْفَعْتُمْ بِهِ قَالُوْايَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهَامَيْتَهٌ قَالَ إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا.
Dari Maimunah, dia berkata: Budak kami diberi hadiah sedekah berupa seekor kambing, tetapi kambing itu lalu mati pada saat itu, Rasulullah SAW lewat, kemudian beliau berkata, “Mengapa Kalian tidak menyamak kulitnya, agar kalian dapat memanfaatkannya? Mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, kambing ini telah mati?”Beliau pun bersabda, “Yang diharamkan (dari bangkai kambing) hanya memakannya”. {Shahih: Muttafaq ‘Alaih}[23][24].


D.      DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyq, Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir Juz 14, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000.
Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin, Tafsir Jalalain Jilid 1, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.
Al Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Al-Mundziri,  Imam, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Bin Musa, Abu Yahya Marwan, Tafsir Hidayatul Insan (Digital), Tanpa tahun.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Al-Hidayah, 2002.
Effendi, Rustam, Produksi  dalam Islam, Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2003.
Fauzia, Ika Yunita dan Riyadi, Abdul Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif Maqashid al-Syari’ah, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Hidayat, Muhammad, The Sharia Economic, Pengantar Ekonomi Islam, Jakarta: Zikrul Hakim, 2010.
Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahril, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2015.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Nawawi, Ismail, Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS Press, 2009.
Pradja, Juhaya S, Ekonomi Syariah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, Bandung: CV Diponegoro, 1989.
Qutb, Asy-Syahid Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Rahman, Abdur, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulumuddin, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2010.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,1995.
Saefuddin, AM., Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: PT PPA Consultants, 2011.
Shahih Sunan Abu Dawud [digital], 2008.








[1][1] Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1989), 287-294.
[2][2] Asy-Syahid Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), 159-225.
[3][3] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Al-Hidayah, 2002), 403.
[4][4] Dalam kamus Al-Munawir اَلْبَغْلُ (Bagal) yaitu peranakan kuda dengan keledai.
[5][6] Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan (Digital), Jilid 2, 323-324
[6][7] Ibnu Kasir Ad-Dimasyq, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), Juz 14, 105-116.
[7][8] Ahmad Izzan dan Syahril Tanjung dalam bukunya yang berjudul Referensi Ekonomi Syariah (Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berdimensi Ekonomi) memberikan bukti-bukti ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan manfaat dan fungsi hewan ternak yaitu; Al-An’am: 142-144, Az-Zumar:6, Asy-Syura:11, Al-Hajj:28,30,34, An-Nahl:5,80, Al-Mukminuun:21,79,80, Yaasin:71-73, Al-Mukmin:79, Yunus:24, As-Sajdah:27, An-Naazi’aat:31-33, Abasa:32, Ali-Imran:14, Al-Maidah:1, Thaa:54, Az-Zukhruf:12-14, Al-Furqan:49, Asy-Syu’ara:132-133, Muhammad:12.
[8][9] Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran, 165
[9][10] Abdur Rahman, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulumuddi,  (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2010), 102-103.
[10][11] Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2009), 175-179.
[11][12] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,1995), Jilid 1, 225-314.
[12][13] Ika Yunita Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif Maqashid al-Syari’ah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 119-121.
[13][14]Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012) , 61.
[14][15] Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, 226-241.
[15][16] AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, (Jakarta: PT PPA Consultants, 2011), 34-35.
[16][17] Rustam Effendi, Produksi  dalam Islam, (Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2003), 14-21.
[17][18] Muhammad Hidayat, The Sharia Economic, Pengantar Ekonomi Islam, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2010), 129.
[18][19] Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), 19.
[19][20] Shahih Sunan Abu Dawud [digital], hadits nomor 3485.
[20][21] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), 723.
[21][22] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 494.
[22][23] Imam Al-Mundziri,  Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 537.
[23][24] Shahih Sunan Abu Dawud [digital], (2008), hadits nomor 4120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar