Nama
: Fathurrojie
Nim : 1414232146
Smt/Jurusan : 4/Perbankan Syariah (PS 3)
Mata
Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
Surat ini terdiri atas 128 ayat, termasuk golongan surat-surat
Makkiyah. Surat ini dinamakan “An-Nahl” yang berarti “lebah” karena di
dalamnya terdapat firman Allah Swt. Ayat 68 yang artinya: “Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah”.
Lebah adalah makhluk Allah yang banyak memberi manfaat dan
keni’matan kepada manusia. Ada persamaan antara madu yang dihasilkan oleh lebah
dengan Al-Qur’anul Karim. Madu berasal dari bermacam-macam sari bunga dan dia
menjadi obat bagi bermacam-macam penyakit manusia (lihat ayat 69). Sedang
Al-Qur’an mengandung inti sari dari kitab-kitab yang telah diturunkan kepada
Nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan oleh semua
bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (lihat
surat [10] Yunus ayat 57 dan surat [17] Al-Isra’ ayat 82). Surat ini
dinamakan pula “An Ni’am” artinya ni’mat-ni’mat, karena di dalamnya
Allah menyebutkan perbagai macam ni’mat untuk hamba-hamba-Nya.
Salah satu ni’mat tersebut adalah diciptakannya hewan ternak
yang mempunyai berbagai manfaat dan kegunaan. Selain dagingnya yang dapat
dimakan, ternak-ternak tersebut dapat diambil susunya untuk dikonsumsi. Tidak
hanya untuk konsumsi makanan, ternak-ternak juga dapat dimanfaatkan untuk
fungsi yang lain yaitu sebagai alat transfortasi. Ternak-ternak juga dapat
diambil kulitnya untuk dijadikan bahan pakaian dan benda-benda lainnya. Manfaat
dari ternak tersebut dijelaskan dalam ayat 5-9 surat An Nahl.
An-Nahl
merupakan surat ke-16 pada juz ke-14 serta merupakan kelompok surat Makkiyah
kecuali tiga ayat terakhir yang Madaniyyah. Mengenai ayat 5 sampai dengan ayat
9 dari surat An-Nahl tidak terdapat
petunjuk dari Al-Hadits yang menjelaskan latar belakang (asbabunuzul)
ayat-ayat tersebut. Adapun dalam ayat-ayat dalam surat ini yang terdapat
asbabunnuzulnya adalah ayat 1, 38, 41, 42, 75, 76, 80, 81, 82, 83, 91, 92, 103,
106, 110, 126, 127, dan 128). Ayat-ayat yang terdapat asbabunnuzulnya tersebut
kebanyakan membicarakan tentang nikmat Allah dan mengenai orang-orang
musyrikin.
Kandungan surat An-Nahl secara keseluruhan meliputi
tema-tema tauhid dan sarana-sarananya, ayat-ayat kekuasaan Allah, ciptaan Allah
yang ditundukkan untuk manusia, orang-orang yang mengingkari keesaan Allah,
balasan Allah terhadap mereka yang menyekutukan-Nya, balasan Allah untuk
orang-orang yang bertaqwa, pertanyaan orang-orang musyrik, sebab-sebab orang
musyrik, kesombongan kaum musyrikin, larangan mempersekutukan Allah, perlakukan
kaum musyrikin terhadap wanita, pandangan Islam terhadap wanita dan pandangan
hukum Allah, tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkannya Al-Qur’an,
pengingkaran atas nikmat Allah, peristiwa hari berbangkit, kebencian abadi Setan
terhadap risalah Al-Qur’an, dan hukum orang-orang yang murtad[2][2].
وَٱلۡأَنۡعَٰمَ خَلَقَهَاۖ لَكُمۡ
فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَافِعُ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٥ وَلَكُمۡ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ
وَحِينَ تَسۡرَحُونَ ٦ وَتَحۡمِلُ أَثۡقَالَكُمۡ إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُونُواْ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِۚ
إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ٧
وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ وَيَخۡلُقُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٨ وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ
ٱلسَّبِيلِ وَمِنۡهَا جَآئِرٞۚ وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ
أَجۡمَعِينَ ٩
Artinya : 5.
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfa’at, dan sebahagiannya kamu makan.
6.
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya
kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
7.
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai
kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
8.
dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal[4][4] dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya)
perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
9.
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan
ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu
semuanya (kepada jalan yang benar).
3.
Makna Mufradat Tafsir jalalain
وَالْاَنْعَامَ
(Dan binatang ternak) yakni unta, sapi, dan kambing. Lafaz al-an’ama
dibaca nasab karena dinasabkan oleh fi’il yang diperkirakan keberadaannya, lalu
fi’il tersebut ditafsirkan atau dijelaskan oleh lafaz berikut ini, yaitu خَلَقَهَالَكُمْ (Dia telah menciptakannya untuk kalian)
sebagian dari manusia فِيْهَادِفْءٌ
(padanya ada kehangatan) yaitu bulu dan kulitnya dapat dibuat pakaian
dan selimut untuk penghangat tubuh kalian وَمَنَافِعُ
(dan berbagai manfaat) yaitu dari anak-anaknya, air susunya, dan dapat
dijadikan sebagai kendaraan وَمِنْهَاتَأْكُلُوْنَ
(dan sebagainya kalian makan) zaraf didahulukan karena untuk tujuan
fasilah.
وَلَكُمْ فِيْهَاجَمَالٌ (Dan kalian memperoleh pandangan yang
indah padanya) yakni sebagai perhiasan kalian حِيْنَ
تُرِيْحُوْنَ (ketika kalian membawanya kembali ke kandang) ketika
kalian menggiringnya kembali ke kandangnya di waktu sore hari وَحِيْنَ تَسْرَحُوْنَ (dan ketika kalian melepaskannya ke
tempat penggembalaan) kalian mengeluarkannya dari kandangnya menuju ke
tempat penggembalaan di waktu pagi hari.
وَتَحْمِلُ اَثْقَالَكُمْ (Dan ia dapat memikul beban-beban
kalian) barang-barang kalian إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُوْنُواْ بَٰلِغِيهِ (ke suatu negeri yang kalian tidak
sanggup sampai kepadanya) kalian tidak sanggup mencapainya tanpa memakai
kendaraan unta إِلَّا بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِ
(melainkan dengan kesukaran-kesukaran yang memayahkan diri) yang membuat
payah diri kalian إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوْفٞ رَّحِيْمٞ
(Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
terhadap kalian, Dia telah menciptakannya untuk kalian manfaatkan.
وَ
(dan) Dia telah menciptakan الْحَيْلَ وَالْبِغَالَ
وَالْحَمِيْرَلِتَرْكَبُوْهَاوَزِيْنَةً (kuda, bigal, dan
keledai agar kalian menungganginya dan menjadikannya sebagai perhiasan)
lafaz zinatan menjadi maful lah disebutkannya kedua ‘illat itu, yaitu untuk
ditunggangi dan dianggap sebagai perhiasan; hal ini sama sekali tidak
bertentangan dengan manfaat lain yang ada padanya. Seperti halnya pada kuda,
selain dapat ditunggangi dan dijadikan perhiasan, dagingnya dapat dimakan. Hal
ini telah ditetapkan berdasarkan hadis sahihain. وَيَخۡلُقُ
مَا لَا تَعۡلَمُوْنَ (Dan Allah menciptakan apa yang kalian
tidak mengetahuinya) berupa hal-hal yang aneh dan menakjubkan.
وَعَلَى اللَّهِ قَصۡدُ السَّبِيْلِ (Dan hak bagi Allah menerangkan jalan
yang lurus) hak bagi Allah menjelaskannya وَمِنْهَا
(dan diantara jalan-jalan) tersebut جَآئِرٞ
(ada yang bengkok) menyimpang dari jalan yang lurus وَلَوۡ شَآءَ (Dan jikalau Dia menghendaki) untuk
memberi petunjuk kepada kalian لَهَدَىٰكُمۡ
(niscaya Dia memberi petunjuk kepada kalian) ke jalan yang lurus أَجۡمَعِيْنَ (semuanya) sehingga kalian semua
mendapat petunjuk ke jalan yang lurus itu atas kehendak kalian sendiri.
Tafsir Hidayatul Insan[5][6]
Dan hewan ternak (yaitu unta, sapi, dan kambing)
telah diciptakan-Nya untuk kamu (untuk manfaat dan maslahat kamu, di
antaranya kamu memperoleh kehangatan dari bulunya, dan memperoleh manfaat
lainnya), padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat (bisa
diternakkan, diambil susunya, dan ditunggangi), dan sebagiannya kamu makan.
Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang (disore hari) dan ketika kamu
melepaskannya (ke tempat penggembalaan) (dipagi hari).
Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu
tidak sanggup mencapainya (jika tidak menggunakan unta, lebih dari itu, ia
pun mengangkut kamu), kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang (oleh karena itu, Dia menciptakan hewan
tersebut untuk kamu serta menyiapkan segala yang kamu butuhkan dan kamu
perlukan, maka segala puji bagi Allah sesuai dengan keagungan wajah-Nya,
besarnya kekuasaan-Nya dan luasnya kepemurahan-Nya).
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal (bagal yaitu anak
dari perkawinan kuda dengan keledai), dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan (tidak disebutkan “untuk dimakan” karena bagal dan
keledai negeri haram dimakan, adapun kuda diizinkan oleh Nabi shallalahu’alaihi
wa sallam untuk dimakan). Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (berupa
menciptakan sesuatu yang menarik dan ajaib. Tidak disebutkan contohnya oleh
Allah Subhaanahu wa Ta’aala, karena Dia tidaklah menyebutkan di dalam kitab-Nya
selain sesuatu yang diketahui hamba-hamba-Nya atau yang serupa dengannya,
karena jika tidak begitu hamba-hamba-Nya tidak akan tahu dan tidak akan
memahami maksudnya. Dia menyebutkan asal (dasar) yang mencakup apa yang mereka
ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Misalnya menyebutkan kenikmatan surga,
disebutkan di antaranya yang kita ketahui dan yang kita saksikan persamaannya,
seperti pohon kurma, anggur dan delima, sedangkan yang tidak kita ketahui, Dia
menyebutkan secara garis besar, seperti dalam firman-Nya, “Di dalam kedua surga
itu terdapat aneka buah-buahan yang berpasang-pasangan”[terj. Ar-Rum:52]).
Dan hal Allah (menerangkan) jalan yang lurus (yaitu jalan
yang menyampaikan kepada Allah dan kepada surga-Nya), dan di antaranya ada
(jalan) yang menyimpang. Jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi petunjuk kamu
semua (ke jalan yang benar) (Dia menunjukkan sebagian kamu karena
kepemurahan dan karunia-Nya, dan tidak menunjuki yang lain karena hikmah dan
keadilan-Nya).
Allah Swt. menyebutkan nikmat yang Dia limpahkan kepada
hamba-hamba-Nya, antara lain Dia menciptakan binatang ternak untuk mereka,
yaitu unta, sapi, dan kambing, seperti yang telah dirinci di dalam surat
Al-An’am sampai dengan friman-Nya, “Samaniyata azwaj” (delapan ekor ternak
yang berpasang-pasangan). Allah pun telah menjadikan pada binatang-binatang
ternak itu berbagai manfaat dan kegunaan buat mereka, yaitu bulunya mereka
jadikan pakaian dan hamparan, air susunya mereka minum, dan anak-anaknya mereka
makan, serta pandangan yang indak pada ternak mereka sebagai perhiasan buat
mereka. Untuk itulah disebutkan dalam firman-Nya:
وَلَكُمۡ
فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ...
Dan
kalian memperoleh pandangan yang indah ketika kalian membawanya kembali ke
kandang,
(An-Nahl:6).
Artinya, disaat ternak kembali dari tempat pengembalaannya
di petang hari, maka ternak unta kelihatan sebagai ternak yang memiliki
pinggang paling panjang, tetek paling besar, dan punuk yang paling tinggi.
...وَحِينَ تَسۡرَحُونَ.
Dan ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan, (An-Nahl:6).
Yakni di pagi hari ketika kalian melepaskannya ke tempat
penggembalaan.
وَتَحۡمِلُ أَثۡقَالَكُمۡ...
Dan ia memikul beban-beban kalian, (An-Nahl:7).
Maksudnya, bawaahn kalian yang berat-berat yang kalian tidak
mampu mengangkat dan bembawanya.
...إِلَىٰ بَلَدٖ
لَّمۡ تَكُونُواْ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ...
Ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri, (An-Nahl:7).
Yakni dalam perjalanan kalian menuju ibadah haji dan umrah,
berperang dan berniaga serta tujuan-tujuan lainnya; kalian dapat menggunakannya
untuk berbagai keperluan, yaitu sebagai kendaraan dan pembawa muatan
barang-barang kalian. Ayat ini semakna denga firman-Nya dalam ayat yang lain,
yaitu:
وَإِنَّ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ
لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهَا وَلَكُمۡ فِيهَا
مَنَٰفِعُ كَثِيرَةٞ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٢١
وَعَلَيۡهَا وَعَلَى ٱلۡفُلۡكِ تُحۡمَلُونَ ٢٢
Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak,
benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu
dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak
itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu maka
dan di atas punggung binatang-binatang ternak itu
dan (juga) di atas perahu-perahu kamu diangkut, (Al-Muminun:21-22).
Karena itulah setelah menyebutkan berbagai macam nikmat
melalui firman-Nya, dalam ayat berikut ini disebutkan:
...إِنَّ
رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ
Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang,
(An-Nahl:7).
Yakni Tuhanlah yang telah
menyediakan hewan-hewan ternak itu buat kalian dan yang menundukkannya buat
kalian, sama halnya dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّا خَلَقۡنَا
لَهُم مِّمَّا عَمِلَتۡ أَيۡدِينَآ أَنۡعَٰمٗا فَهُمۡ
لَهَا مَٰلِكُونَ ٧١ وَذَلَّلۡنَٰهَا لَهُمۡ فَمِنۡهَا رَكُوبُهُمۡ وَمِنۡهَا
يَأۡكُلُونَ ٧٢
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya
Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa
yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka
menguasainya
Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk
mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka
makan.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya:
فِيهَا
دِفۡءٞ
Padanya ada (bulu) yang menghangatkan, (An-Nahl:5).
Yang dapat mereka jadikan sebagai pakaian
وَمَنَٰفِعُ
Dan berbagai manfaat, (An-Nahl:5)
Yakni manfaat lainnya, yaitu dagingnya
dapat kalian makan dan susunya dapat kalian minum.
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
bahwa yang dimaksud dengan dif’un dan manafi’ ialah keturunan
dari semua hewan ternak.
Mujahid mengatakan bahwa makna
firman-Nya:
...فِيهَا
دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ...
Padanya
ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, (An-Nahl:5)
Artinya pakaian dari hasil tenunan
bulunya; dan berbagai manfaat lainnya dari hewan ternak, yaitu sebagai kendaraan,
dimakan dagingnya, dan diminum air susunya.
Qatadah mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya:
...دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ...
…(bulu) yang menghangatkan dan berbagai
manfaat…, (An-Nahl:5)
Yakni pada binatang ternak terdapat bahan
pakaian, makanan dan minuman, serta sarana transportasi. Hal yang sama telah
dikatakan oleh banyak kalangan ulama tafsir dengan ungkapan yang berdekatan.
وَٱلۡخَيۡلَ
وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ
وَيَخۡلُقُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
dan
(Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya.
Jenis hewan lain yang diciptakan oleh Allah Swt. buat
hamba-hamba-Nya sebagai anugerah-Nya buat mereka ialah kuda, begal, dan keledai
yang dapat dipergunakan untuk kendaraan dan perhiasan. Itulah kegunaan
hewan-hewan tersebut yang paling menonjol.
Mengingat ketiga jenis hewan ini dipisahkan penyebutannya
dari hewan ternak, maka ada sebagian ulama yang dengan berdalilkan ayat ini
mengatakan bahwa daging kuda hukumnya haram. Di antara mereka yang berpendapat
demikian ialah Imam Abu Hanifah dan ulama fiqih lainnya yang sependapat
dengannya, dengan alasan bahwa Allah Swt. menyebutkan kuda bersama dengan
penyebutan begal dan keledai; karena itulah maka kuda haram, seperti yang
disebutkan juga di dalam sunnah nabawi dan pendapat sebagian besar ulama.
Imam Abu Ja’far ibnu Jaris mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan
kepada kami Hisyam Ad-Dustuwa-I, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu
Kasir, dari maula Nafi’ ibnu Alqamah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas tidak
menyukai (memakruhkan) daging kuda, bagal, dan keledai. Ia mengatakan pula
sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَٱلۡأَنۡعَٰمَ
خَلَقَهَاۖ لَكُمۡ فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang
ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai
manfaat, dan sebahagiannya kamu makan,
(An-Nahl:5)
Yang disebutkan dalam ayat ini adalah hewan ternak yang
dapat dimakan dagingnya. Sedangkan firman berikutnya:
وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ
وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا...
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai agar
kalian menungganginya…,
(An-Nahl:8)
Menerangkan jenis hewan yang digunakan untuk dikendarai. Hal
yang sama telah diriwayatkan melalui jalur Sa’id ibnu Jubair dan lain-lainnya,
dari Ibnu Abbas, dengan lafaz yang semisal. Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan
bahwa hal yang sama telah dikatakan pula oleh Al-Hakam ibnu Utaibah r.a.
Mereka mengatakan demikian dengan berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitan Musnad-nya; disebutkan bahwa
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbihi, telah menceritakan
kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu
Yazid, dari saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam ibnu Ma’dikariba, dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Khalid ibnul Walid yang mengatakan bahwa:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
أَكَلَ لُحُوْمَ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحِمَيْرِ.
Rasulullah Saw. Melarang memakan daging
kuda, bagal, dan keledai.
Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam ibnu
Majah mengetengahkannya melalui hadis Saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam, tetapi
predikat siqah-nya masih disangsikan.
Imam Ahmad meriwayatkan pula melalui jalur
lain secara lebih panjang daripada riwayat yang pertama. Untuk itu ia
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Salim, dari Saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam, dari kakeknya (yaity
Al-Miqdam ibnu Ma’dikariba) yang mengatakan, “Kami bersama Khalid ibnu Walid
memerangi As-Sa-ifah, kemudian teman-teman kami memberikan daging kepada kami,
dan sebagai imbalannya mereka meminta seekor kuda, maka saya berikan kuda itu
kepada mereka dan mereka mengikatnya. Maka saya katakan kepada mereka, “Kalian
tunggu dahulu, hingga aku datang kepada Khalid untuk bertanya kepadanya”.
Maka saya datang kepada Khalid dan
menanyakan masalah itu kepadanya, maka Khalid menjawab, “Kami berperang bersama
Rasulullah Saw. dalam Perang Khaibar”. Maka pasukan kaum muslim bersegera
menyerbu kandang ternak milik orang-orang Yahudi, dan Rasulullah Saw.
memerintahkan kepadaku untuk menyerukan bahwa salat didirikan dengan berjamaan
dan tidak akan masuk surga kecuali hanya seorang muslim.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
اَيُّهَاالنَّاسُ: اِنَّكُمْ قَدْاَسْرَعْتُمْ فِيْ
حَظَائِرِيَهُوْدَ، اَلَالَايَحِلُّ اَمْوَالُ الْمُعَاهَدِيْنَ اِلَّابِحَقِّهَا
وَحَرَامٌ عَلَيْكُمْ لَحُوْمُ الْحُمُرِالْأَهْلِيَّةِوَخَيْلِهَا وَبِغَالِهَا،
وَكُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.
Hai manusia, sesungguhnya kalian
telah bersegera menuju tempat kandang ternak orang-orang Yahudi. Ingatlah,
tidaklah halal harta benda orang-orang mu’ahad kecuali dengan alasan yang hak,
dan diharamkan kepada kalian daging keledai kampung, kuda, dan bagalnya; juga
(diharamkan kepada kalian) setiap hewan pemangsa yang bertaring dan setiap
burung yang berkuku tajam (burung pemangsa).
Seakan-akan peristiwa ini terjadi sesudah orang-orang Yahudi
mau mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum muslimin dan mereka kepada
kaum muslim. Seandainya hadis ini sahih, tentulah ia menjadi nash yang
mengharamkan daging kuda, tetapi hadis ini tidak dapat melawan hadis sahih yang
terdapat di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Jabir ibnu Abdullah
yang mengatakan:
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ
الْأَهْلِيَّةِ، وَأَذِنَ فِيْ لُحُوْمِ الْخَيْلِ.
Rasulullah
Saw. telah melarang (memakan) daging keledai kampung dan membolehkan daging
kuda.
Imam Ahmad dan Imam Abu Daud telah meriwayatkannya berikut
kedua sanad yang ada pada masing-masing dengan syarat Muslim melalui Jabir yang
telah mengatakan:
ذَبَحْنَايَوْمَ
خَيْبَرَالْخَيْلَ وَالْبِغَاَل وَالْحِمَيْرَ، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِغَالِ وَالْحِمَيْرِ وَلَمْ يَنْهَنَا عَنِ
الْخَيْلِ.
Pada
Perang Khaibar kami menyembelih kuda dan bagal serta keledai, maka Rasulullah
Saw. melarang kami (memakan) bagal dan keledai, tetapi tidak melarang kami
(memakan) kuda.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui
Asma binti Abu Bakar r.a. yang mengatakan:
نَحَرْنَاعَلَى
عَهْدِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًافَأَكَلْنَاهُ
وَنَحْنُ بِالْمَدِيْنَةِ.
Di
masa Rasulullah Saw. kami pernah menyembelih kuda, lalu kami memakannya,
sedangkan kami berada di Madinah.
Dalil ini lebih kuat dan lebih teguh, dan hadis inilah yang
dijadikan pegangan oleh Jumhur ulama, antara lain Imam Malik, Imam Syafi’I dan
Imam Ahmad serta semua murid masing-masing; dan kebanyakan ulama Salaf dan
Khalaf.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kuda itu
pada asal mulanya adalah hewan liar, lalu Allah menjinakkannya buat Ismail ibnu
Ibrahim a.s.
Wabb ibnu Munabbih menyebutkan di dalam hadis Israiliyatnya,
bahwa Allah menciptakan kuda dari angin selatan.
Nas hadis menunjukkan boleh mengendarai binatang-binatang
ini, antara lain bagal. Rasulullah Saw. pernah menerima hadiah seekor bagal,
lalu dijadikannya sebagai hewan kendaraannya, padahal beliau sendiri melarang
menginseminasikan (mengawinsilangkan) antara keledai dan kuda, agar keturunan
keledai tidak terputus (punah).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad
ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Umar, dari keluarga Huzaifah, dari
Huzaifah, dari Asy-Sya’bi, dari Dahiyyah Al-Kalabi yang mengatakan bahwa ia
pernah berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, maukah engkau bila
aku mengawinsilangkan keledai dan kuda, maka anaknya nanti (bagal) untukmu buat
kendaraanmu?”.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang melakukan
demikian hanyalah orang-orang yang tidak mengetahui”.
وَعَلَى
ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ وَمِنۡهَا جَآئِرٞۚ
وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ٩
Dan
hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada
yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya
(kepada jalan yang benar).
Setelah Allah Swt. menyebutkan berbagai hewan dan manfaat
serta kegunaannya di jalan yang bersifat kongkret, maka Allah Swt. mengingatkan
kepada jalan agama yang bersifat abstrak. Di dalam Al-Qur’an sering sekali
terjadi peralihan ungkapan dari hal-hal yang kongkret kepada hal-hal yang
maknawi (abstrak), seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt.:
…
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰ…
…berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…, (Al-Baqarah:197)
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا
عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ.
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik, (Al-A’raf:26)
Setelah menyebutkan berbagai jenis hewan yang mereka
kendarai sehingga dapat mengantarkan mereka kepada keperluan yang ada di dalam
hati mereka, hewan-hewan itulah yang mengangkut barang-barang berat mereka ke
berbagai negeri, tempat yang jauh, dan perjalanan yang melelahkan. Allah
menyebutkan jalan-jalan yang ditempuh oleh manusia untuk menuju kepada Allah.
Maka dijelaskan bahwa hanya jalan yang hal sajalah yang dapat mengantarkan
seseorang kepada Allah. Untuk itu disebutkan dalam firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hah bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, (An-Nahl:9)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِ.
Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya, (Al-An’am:153)
هَٰذَا صِرَٰطٌ عَلَيَّ مُسۡتَقِيمٌ.
Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya), (Al-Hijr:41)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya:
وَعَلَى
ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan
hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus,
(An-Nahl:9)
Maksudnya, jalan yang benar ialah jalan menuju kepada Allah.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَعَلَى
ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan
hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus,
(An-Nahl:9)
Yakni agama Islam.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya:
وَعَلَى
ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan
hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus,
(An-Nahl:9)
Artinya, Allah-lah yang menjelaskannya, yakni menjelaskan
jalan petunjuk dan jalan yang sesat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ali
ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas; telah dikatakan pula oleh Qatadah dan
Ad-Dahhak.
Tetapi pendapat Mujahid lebih kuat, sebab lebih serasi
dengan konteks kalimat sebelumnya. Allah Swt. memberitahukan bahwa banyak jalan
yang ditempuh untuk menuju kepada-Nya, tetapi tidak dapat mengantarkan
kepada-Nya kecuali hanya jalan yang hak (benar), yaitu jalan yang disyariatkan
dan diridai-nya. Sedangkan selain dari jalan itu tertutup (buntu) dan semua
amal perbuatan yang dilakukan padanya ditolak. Karena itulah dalam firman
berikutnya disebutkan:
وَمِنۡهَا
جَآئِرٞ.
Dan
di antara jalan-jalan itu ada yang bengkok,
(An-Nahl:9)
Yakni menyimpang dari jalan yang benar. Menurut Ibnu Abbas
dan lain-lainnya, yang dimaksud dengan jalan yang bengkok ialah jalan yang
ditempuh oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Ibnu Mas’ud membaca ayat ini dengan bacaan berikut, “Dan di
antara kalian ada yang menyimpang dari jalan yang benar”.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa hal itu semuanya
terjadi karena kekuasaan-Nya dan atas kehendak-Nya. Maka Allah Swt. berfirman:
وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ.
Dan
jikalau dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang
benar), (An-Nahl:9)
Sama seperti yang disebutkan dalam
ayat lain melalui firman-Nya:
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي
ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًا.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, (Yunus:99)
وَلَوۡ
شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا
يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ ١١٨ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٰلِكَ
خَلَقَهُمۡۗ وَتَمَّتۡ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ
وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ ١١٩
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan
untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah
ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
(yang durhaka) semuanya, (Hud:118-119)
5.
Signifikansi
Kandungan ayat 5-9 surat An Nahl mengandung arti bahwa Allah
telah memberikan berbagai nikmat untuk manusia dari hasil ciptaan-Nya
diantaranya diciptakannya hewan ternak yang mempunyai berbagai manfaat dan
fungsi bagi kehidupan manusia[7][8]. Binatang ternak yang dimaksudkan
diatas ditundukan Allah bagi manusia untuk dimakan, ditunggangi, dan dijadikan
perhiasan[8][9].
Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut merupakan ayat yang berhubungan
dengan ekonomi terutama masalah produksi. Dalam pandangan Islam produksi
merupakan hal yang sangat penting, karena dengan produksi kebutuhan manusia
dapat terpenuhi. Al-Ghazali menyebutkan bahwa produksi adalah pengerahan secara
maksimal sumber daya alam (raw material) oleh sumber daya manusia, agar
menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia[9][10].
Segala yang diciptakan Allah untuk manusia merupakan sumber
daya yang harus dimanfaatkan dan dimakmurkan untuk kemaslahatan hidup manusia.
Sumber daya tersebut merupakan sumber ekonomi yang harus dijaga dan
dilestarikan. Ismail Nawawi membagi sumber daya ekonomi menjadi beberapa bidang
yaitu: 1) bidang perdagangan, 2) bidang pertanian dan pengolahan tambang, 3)
bidang peternakan, 4) bidang industri dan teknologi, 5) bidang kelautan, 6)
bidang perikanan, 7) bidang pengairan, 8) bidang kesehatan, dan 9) bidang
dirgantara[10][11].
Afzalur Rahman memandang bahwa sumber daya merupakan
faktor-faktor produksi, dimana faktor-faktor produksi tersebut antara lain:
tanah, tenaga kerja, modal, dan organisasi[11][12]. Adapun menurut Fauzia dan Riyadi
bahwa yang termasuk faktor produksi adalah tanah, tenaga kerja, modal,
manajemen produksi, dan teknologi[12][13].
Menurut Afzalur Rahman pengertian tanah mengandung arti yang
luas termasuk semua sumber yang kita peroleh dari udara, laut, gunung, dan
sebagainya, sampai dengan keadaan geografi, angin, dan iklim terkandung dalam
tanah. Maka yang termasuk pada faktor produksi tanah adalah bumi (tanah),
mineral, gunung, hutan, hewan, iklim dan hujan. Keseluruhan sumber daya yang
diciptakan tuhan tersebut semuanya diperuntukkan untuk manusia, oleh karena itu
terdapat sebuah premis dalam ekonomi
Islam yaitu “bahwa manusia dapat mencukupi keseluruhan hidupnya karena
Allah telah menciptakan seluruh alam ini untuk kepentingan manusia”[13][14].
Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
penting keberadaannya. Landasan hukum yang digunakan untuk menjadikan tanah
sebagai faktor-faktor produksi adalah bumi (Al-Baqarah:36), mineral (Al-Hadiid:25),
gunung (Al-Hijr:19-20, An-Nazi’at:32-33), hutan (An-Nur:35,
Al-Mu’minun:20), hewan (Thahaa:54, An-Nahl:5-8, Yaasiin:71-73,
Al-Mu’min:79-80, Al-Mu’minun:21-22, An-Nahl:66), iklim dan hujan (An-Nahl:10-11,
Al-Waaqi’ah:68-69)[14][15].
Walaupun segala sesuatu yang diciptakan Allah diperuntukkan
bagi manusia, tetapi manusia tidak serta merta dengan bebasnya dapat
menggunakan atau mengeksploitasinya. Sebagai khalifah dimuka bumi manusia harus
tunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah melalui Al-Qur’an dan
petunjuk Rasul-Nya, termasuk dalam produksi. Menurut konsep Islam produksi
harus dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut AM Saefuddin bahwa manusia sebagai khalifah
diberikan tugas untuk memakmurkan bumi dengan berbagai syarat atau perjanjian
diantaranya; manusia haruslah mengadakan ta’awun (saling menolong), takaful
(kerjasama), kewajiban berlaku sederhana yaitu menghindari bentuk pemborosan
atau pengmaburan harta dan penggunaan yang tidak semestinya dalam
mendayagunakan rezeki Allah, selain itu manusia didalam usaha disyaratkan
menumbuhkan dan memperbanyak harta namun tidak menimbulkan kerugian bagi pihak
lain, dan dilakukan dengan cara yang baik dan halal[15][16].
Muhammad Al-Mubarak menjelaskan prinsip-prinsip produksi
yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain[16][17]:
1. Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang
tercela karena bertentangan dengan syari’ah (haram).
2. Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah
kezaliman, seperti riba di mana kezaliman menjadi illat hukum bagi
haramnya riba.
3. Segala bentuk penimbunan (ikhtikar) terhadap barang-barang
kebutuhan bagi masyarakat, adalah dilarang sebagai perlindungan syari’ah
terhadap konsumen dan masyarakat.
4. Memelihara lingkungan.
Sedangkan menurut Muhammad Hidayat bahwa prinsip produksi
dalam ekonomi Islam berkaitan dengan maqashid al-syari’ah antara lain[17][18]:
1. Kegiatan produksi harus dilandasi nilai-nilai Islam dan
sesuai dengan maqashid al-Syari’ah. Tidak memproduksi barang/ jasa yang
bertentangan dengan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan,
yaitu dlaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
3. Kegiatan produksi harus memerhatikan aspek keadilan, sosial,
zakat, sedekah, infak, dan wakaf.
4. Mengelola sumber daya alam secara optimal, tidak boros,
berlebihan, dan merusak lingkungan.
5. Distribusi keuntungan yang adil antara pemilik dan
pengelola, manajemen dan buruh.
Tentunya kegiatan produksi dalam Islam tidak sebebas menurut
kapitalisme yang membebaskan memproduksi apapun asal dibutuhkan manusia.
Kebutuhan produksi dalam Islam tidak hanya didasarkan atas kebutuhan manusia
saja melainkan harus didasarkan atas petunjuk syara’. Jadi produk-produk yang
dihasilkan haruslah barang-barang yang halal menurut syari’ah.
Rasulullah Saw juga melarang untuk memproduksi barang-barang
yang diharamkan oleh syara. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سُئِلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟
قَالَ: لَا. اَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِىُّ وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari
Anas bin Malik ra. ia berkata: Rasul Allah SAW pernah ditanya tentang khomer
yang dijadikan cuka. Nabi menjawab: Tidak boleh. Dikeluarkan oleh Muslim dan
Tirmidzi, dia berkata: Hadis Hasan shohih[18][19].
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ الْخَمْرَوَتَمَنَهَاوَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَتَمَنَهَا
وَحَرَّمَ الْخِنْزِيْرَوَتَمَنَهَ.
Dari
Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamer
dan harganya, bangkai dan harganya, serta babi dan harganya”[19][20] .
Dari hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah diatas jelas
bahwa khamer, bangkai, dan babi merupakan barang haram untuk diperjualbelikan,
dengan begitu tentunya memproduksinya juga merupakan haram. Maka Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang Hukum Alkohol dalam Minuman
pada tahun 1993 yang mengharamkan masuknya alkohol dalam berbagai minuman[20][21].
Kembali pada pendapat AM Saefuddin tentang syarat manusia
dalam memakmurkan bumi. Selain memproduksi barang yang bermanfaat dan halal,
manusia juga harus mengadakan ta’awun (saling menolong). Saling tolong
menolong disini dapat diartikan dalam hal kemampuan memproduksi (kepemilikan
faktor produksi). Seseorang yang memiliki kemampuan produksi lebih haruslah
menolong orang yang kemampuan produksinya rendah. Jadi menurut konsep Islam
tujuan dari produksi tidak untuk mengejar keuntungan semata. Dalam hadist
disebutkan bahwa kegiatan seperti itu merupakan sedekah.
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ
مِنْهُ طَيْرً، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْبَهِيْمَةٌ، إِلَّاكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ.
[رواه البخاري]
Diriwayatkan
dari Anas r.a., Dia berkata: Rasulullah Saw. pernah bersabda:”Siapapun dari
salah seorang muslim menanam pohon atau menabuh benih, kemudian (tumbuh dan
berbuah) lalu buahnya dimakan oleh manusia atau hewan, maka itu bernilai
sebagai sedekah yang diberikannya”, (HR. Bukhari)[21][22].
Dalam hadits lain dari Abu Hurairah:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّم: لَا تَمْنَعُوْا فَضْلَ الْمَاءِ لَتَمْنَعُوْابِهِ الْكَلأَ.
[أخرجه البخاري]
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a., Ia berkata: Rasulullah Saw. Pernah bersabda” “Janganlah
kalian mencegah (menghalangi) orang mengambil kelebihan air untuk menyirami
rerumputan (tanaman)”, (HR. Muslim)[22][23].
Syarat lain yang diharuskan Allah kepada manusia sebagai
khalifah adalah manusia harus bertindak sederhana dan tidak berlebihan. Dalam
konteks produksi, proses produksi harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
manusia bukan untuk memenuhi keinginan manusia sebagaimana ekonomi kapitalis
yang selalu mengejar pemenuhan keinginan manusia, dampaknya manusia menjadi
hedonis. Maka dari itu produksi harus ditujukan untuk menghasilkan
barang-barang sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu dlaruriyat, hajiyat,
dan tahsiniyat. Selain itu produksi juga harus dilakukan seefisien
mungkin sehingga tidak terjadi pemborosan. Perilaku efisien dan tidak boros
tersebut dianjurkan oleh nabi sebagaimana dalam hadits dari Maimunah.
عَنْ
مَيْمُوْنَةَ قَالَتْ أُهْدِيَ لِمَوْلَاةٍ لَنَاشَاةٌ مِنْ الصَّدَقَةِ فَمَانَتْ
فَمَرَّ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا دَبَغْتُمْ
إِهَابَهَاوَاسْتَنْفَعْتُمْ بِهِ قَالُوْايَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهَامَيْتَهٌ
قَالَ إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا.
Dari Maimunah, dia berkata: Budak kami
diberi hadiah sedekah berupa seekor kambing, tetapi kambing itu lalu mati pada
saat itu, Rasulullah SAW lewat, kemudian beliau berkata, “Mengapa Kalian tidak
menyamak kulitnya, agar kalian dapat memanfaatkannya? Mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, kambing ini telah
mati?”Beliau pun bersabda, “Yang diharamkan (dari bangkai kambing) hanya
memakannya”. {Shahih: Muttafaq ‘Alaih}[23][24].
D.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyq,
Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir Juz 14, Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000.
Al-Mahalli,
Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin, Tafsir Jalalain Jilid 1, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2004.
Al
Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995.
Al-Mundziri, Imam, Ringkasan Shahih Muslim,
Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Az-Zabidi,
Imam, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Bin Musa,
Abu Yahya Marwan, Tafsir Hidayatul Insan (Digital), Tanpa tahun.
Departemen
Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
Al-Hidayah, 2002.
Effendi,
Rustam, Produksi dalam Islam,
Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2003.
Fauzia,
Ika Yunita dan Riyadi, Abdul Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif
Maqashid al-Syari’ah, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Hidayat,
Muhammad, The Sharia Economic, Pengantar Ekonomi Islam, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2010.
Izzan,
Ahmad dan Tanjung, Syahril, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an
yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Majelis
Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2015.
Munawwir,
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Nawawi,
Ismail, Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya:
ITS Press, 2009.
Pradja,
Juhaya S, Ekonomi Syariah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Qamaruddin
Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, Bandung: CV Diponegoro, 1989.
Qutb,
Asy-Syahid Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran,
Jakarta: Gema Insani, 2008.
Rahman,
Abdur, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’
Ulumuddin, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2010.
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf,1995.
Saefuddin,
AM., Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: PT PPA Consultants, 2011.
Shahih
Sunan Abu Dawud [digital], 2008.
[1][1]
Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1989),
287-294.
[2][2]
Asy-Syahid Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran,
(Jakarta: Gema Insani, 2008), 159-225.
[3][3]
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya,
(Surabaya: Al-Hidayah, 2002), 403.
[5][6]
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan (Digital), Jilid 2,
323-324
[6][7]
Ibnu Kasir Ad-Dimasyq, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000), Juz 14, 105-116.
[7][8]
Ahmad Izzan dan Syahril Tanjung dalam bukunya yang berjudul Referensi
Ekonomi Syariah (Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berdimensi Ekonomi) memberikan
bukti-bukti ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan manfaat dan fungsi hewan
ternak yaitu; Al-An’am: 142-144, Az-Zumar:6, Asy-Syura:11, Al-Hajj:28,30,34,
An-Nahl:5,80, Al-Mukminuun:21,79,80, Yaasin:71-73, Al-Mukmin:79, Yunus:24,
As-Sajdah:27, An-Naazi’aat:31-33, Abasa:32, Ali-Imran:14, Al-Maidah:1, Thaa:54,
Az-Zukhruf:12-14, Al-Furqan:49, Asy-Syu’ara:132-133, Muhammad:12.
[8][9]
Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran, 165
[9][10]
Abdur Rahman, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam
Ihya’ Ulumuddi, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2010), 102-103.
[10][11]
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek
Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2009), 175-179.
[11][12]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf,1995), Jilid 1, 225-314.
[12][13]
Ika Yunita Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam:
Perspektif Maqashid al-Syari’ah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), 119-121.
[13][14]Juhaya
S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012) , 61.
[14][15]
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, 226-241.
[15][16]
AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, (Jakarta: PT PPA Consultants, 2011),
34-35.
[17][18]
Muhammad Hidayat, The Sharia Economic, Pengantar Ekonomi Islam,
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2010), 129.
[18][19]
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995), 19.
[19][20]
Shahih Sunan Abu Dawud [digital], hadits nomor 3485.
[20][21]
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta:
Erlangga, 2015), 723.
[21][22]
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2002), 494.
[23][24]
Shahih Sunan Abu Dawud [digital], (2008), hadits nomor 4120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar