Senin, 14 Maret 2016

Tafsir Ayat Rizki (al-hadid: 25)

NAMA                : Resytatul Hikmah
NIM                    : 1414231099
SMT/JURUSAN  : 4/Perbankan Syarah 3
TAFSIR AYAT EKONOMI

Ayat tentang produksi
RIZKI
1.      Surat al-Hadid ayat 25
a.       Teks Ayat  
 
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(25)
      Artinya:                                                           
Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat berlaku adil. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS.Al Hadid :23).
Mufrodat :

Arab
Indnesaia
بِالْبَيِّنَاتِ
Dengan membawa bukti yang nyanta
َأَنْزَلْنَا مَعَهُم
Telah kami turunkan kepada mereka
وَالْمِيزَانَ
Neraca (keadilan)
بِالْقِسْطِ
Dapat berlaku adil
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ
Dan kami telah ciptakan besi
فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
Terdapat kekuatan yang hebat
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
Dan manfaat bagi mansia

b.      Penafsiran
Dalam tafsir al-Mishbah ia menafsirkan surat al-hadid ayat 25 ini ialah tentang tujuan Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab suci dan neraca adalah agar manusia hidup dalam satu masyarakat adil. Allah juga menciptakan besi antara lain untuk dijadikan alat penegakan keadilan, berdampingan dengan infak dalam melaksanakan jihad di jalan Allah swt. Ayat di atas juga dapat dipahami sebagai nasehat kepada mereka yang selama ini bersungguh-sungguh menggunakan anugerah Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Allah membari mereka kemampuan untuk berinfak, maka seharusnya mereka berinfak. Allah mengutus Nabi-nabi untuk ditaati , maka sepatutnya mereka menyambut baik tuntunannya dan Allah menciptakan besi agar digunakan untuk menghadapi para pembangkang. Maka Allah menciptakan besi agar dibuat menjadi pedang, tombak, baju-baju perang, kapal-kapal dan lain sebagainnya. Yang semua iu membuat kekuatan yang dapat menundukan orang yang menganiaya dan mengayomi orang yang teraniaya. Dan besi itu membuat manfaat-manfaat lain bagi manusia untuk keperluan-keperluan hidup mereka, seperti alat-alat industry, keperluan rumah tangga, kereta api dan lain sebagainya.
2.      Surat al-Anbiya’ ayat 80
a.       Teks Ayat

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ (80)

Artinya:
 “Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)”.(QS.al_Anbiya’).

Mufrdat :

Arab    
Indonesia
لَبُوسٍ لَكُمْ
Membuat baju besi untuk kamu
مِنْ بَأْسِكُمْ
Dalam peperanganmu
شَاكِرُونَ
Bersyukur

b.      Penafsiran
Dalam tafsir al-Misbah berkata bahwa Allah telah menganugerhkan kepada daud as. Yaitu “wahai gunung-gunung, ulang-ulangi bersama dia tasbihnya dan juga (engkau wahai) burung-burung lakukan hal yang serupa bersamannya), dan kamipun telah melakukan untuknya besi.” Maka kita harus menjadi orang yang bersyukur secara mantap dan bersinambung kepada Allah Swt. Atas anugerah yang demikian besar itu. Dan ingat serta ingatkan juga tentang kisah Daud, Nabi dan Taja Bani Isra’il serta Puteranya Sulaiman yaitu sewaktu keduanya menetapkan keputusan mengenai tanaman. Dan dari kisah tersebut dapat kita ambil hikmahnya bagi seorang hakim, sekedar keinginan berlaku adil dan pengetahuan hukum saja belum cukup, tetapi semua itu harus disertai pula dengan apa yang diistiahkan oleh al-qur’an dengan hikmah yaitu kemampuan penerapan sehingga kemaslahatan dapat diraih dan atau kemudharatan dapat di tampik.
c.       Penafsiran
Dalam al-Qur’an dan tafsirannya menjelaskan diantara karunia Allah yang dianugerahkan kepada Daud ialah suaranya yang sangat merdu. Dan nikmat yang lain yang dikaruniakan Allah kepada Daud ialah dia dapat menjadikan besi yang keras menjadi lunak seperti lilin sehingga dibentuk menjadi alat-alat, terutama alat-alat peperangan. Dengan mukzizat yang dikaruniakan Allah, Daud melakukan tanpa dengan dipanaskan dengan api sebagaiman yang biasa dilakukann orang.
Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi Daud supaya membuat baju besi istimewa dari bahan besi yang lunak bukan seperti baju yang dikenal pada masa itu. Biasanya baju besi pada masa itu dibuat dari kepingan-kepingan besi dan disusun menyerupai baja, tetapi baju besi itu sangat menggangu pemaikanya selain menimbulkan panas dan membatasi gerak.
Kemudian untuk mensyukuri karunia yang telah diberikan-Nya, Allah memerintahkan pula supaya Daud dan kaumnya selalu mengerjakan amal saleh dan mempergunakan segala nikmat yang dikaruniakan Allah itu untuk mencapai keridhahannya. Dia selalu melihat dan mengetahui apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya.
Dalam tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa Hasan al-Bashri dan Qataadah dan al-A’masi dan beberapa ahli yang menjelaskan bahwa bagi nabi daud melunakan besi itu tidak usah memakai hapar, tidak perlu memukul palu godam, cukup dipicik-piciknya saja dengan tangannya. Hal seperti ini adalah suatu kemungkinan bagi Nabi. Kalau pada orang-orang biasa yang telah putus ma’rifatnya dapat kejadian demikian mengapa tidak akan mungkin seorang Nabi, maka baju-baju itu telah beliau buat dengan tangan beliau sendiri.

Ø   Yang saya simpulkan dari ayat dan tafsir tentang produksi ini yang sudah tertera atau yang sudah jelaskan bahwa kita sebagai manusia (pelaku ekonomi) harus bisa mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada di sekitar kita, seperti dalam surat al-hadid yang menerangkan bahwa besi itu bisa dijadikan sebagai senjata, alat perkebunan, dan sebagainya tergantung sebagaimana manusia itu memproduksinya, binatang ternak seperti sapi yang biasa diambil susunya, ayam yang biasa diambil telurnya, pegunungan, perkebunan, lautan dan lain sebagainya dalam melakukan kegiatan produksi harus secara berkesinambungan tenpa melakukan kerusakan.
Begitu pula dalam memproduksi rizki yang diberikan Allah kepada kita, kita dilarang berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun.

Tafsir Al-Misbah Mengenai Ayat-Ayat Sikap Dan Perilaku Konsumen
1.      Al-Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
                                                                                      
Mufrodat :
Arab
Indonesia
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ
Makanlah apa yang terdapat di bumi
حَلَالًا طَيِّبًا
Halal bagi baik
َلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
Janganlah mengkuti langkah-langkah syaitan
عَدُوٌّ مُبِينٌ
Musuh yang nyata (bagimu)

Tidak semua yang ada didunia ini otomatis halal untuk dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan biasanya sebagai obat, ada burung burung yang diciptakan Nya untuk memakan serangga yang merusak tanaman ,dengan demikian tidak semua yang diciptakannya untuk dimakan manusia, walau semua yg diciptakannya untuk kepentingan mausia, karena itu allah memerintahkan untuk memakan yang halal saja.
Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, pada ayat ini menjelaskan bahwa perintah kepada seluruh manusia untuk tidak memakan makanan yang haram. Namun demikian tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena yang dinamakan halal ada 4 macam wajib, sunah, mubah, dan makruh.
Ada halal yang baik menurut yang sesuai dengan kondisi tertentunya. Ada yang kurang baik untuknya dan baik buat orang lain,. Ada makanan yang halal tetapi tidak bergizi. Yang diperintahkan adalah yang halal lagi baik.
2.      Al-Maidah 87

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Mufrodat :
Arab        
Indonesia 
لَا تُحَرِّمُوا
Janganlah kamu haramkan
طَيِّبَاتِ
Yang baik (yang telah Allah halalkan)
وَلَا تَعْتَدُوا
Dan anganlah kamu melampaui batas
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Sesungguhnya Allah tdak menyukai orang-orang yang melampaui batas

Ulama tidak melihat adanya hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Tetapi al-Biqa’I yang menekuni bahasan hubungan antar ayat menulis bahwa setelah dalam ayat yang lalu Allah memuji rahbah atau rasa takut kepada Allah  yang mendorong upaya menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi, karena memang hal ini baik, tetapi lanjut Al-Biqa’I dalam prakteknya sering kali pelakunya terlalu ketat sampai-sampai meninggalkan yang mubah (dibolehkan) padahal manusia adalah makhluk lemah, sehingga sering kali kelemahan menghadapi keketatan itu mengantar kepada kegagalan bersama. Itu sebabnya Islam datang , melarang pengetatan beragama seperti itu, dengan menganjurkan moderasi – tidak melebihkan tidak juga mengurangi. Dalam konteks itulah setelah menyinggung para ruhban yang meninggalkan gemerlapan duniawi, bahkan mengharamkan atas diri meraka sekian banyak hal yang mubah atau halal, ayat ini datang berpesan kepada orang-orang beriman : hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan, menghalangi diri kamu dengan jalan bernadzar, atau sumpah, atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu memaksakan diri melampaui batas kewajaran, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran-Nya kepada orang-orang yang melampaui batas, walaupun pelampauan batas itu berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepada-Nya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang melakukan rahbaniyah dengan mengharamkan apa yang halal.
Ath-Thabari dan al-Wahidi meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seseorang kepada Nabi SAW. Sambil berkata : “kalau saya makan daging, lalu saya terus akan ‘mendatangi’ wanita-wanita, maka saya mengharamkan atas diri saya daging”. Ayat ini turun meluruskan pandangannya itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam sunan at-Tirmidzi. Riwayat lain yang sejalan dengan makna riwayat diatas menyatakan bahwa sejumlah sahabat Nabi SAW berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan amal-amal Nabi SAW., dan akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan amalan-amalan yang berat. Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak akan menggauli wanita, dan ada juga yang akan berpuasa terus menerus. Mendengar rencana itu Nabi SAW menegur mereka sambil bersabda : “sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa diantara kalian, tapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa tetapi juga berbuka, dan aku kawin. Barang siapa yang enggan mengikuti sunnahku (cara hidupku), maka bukanlah ia dari kelompok (umat)ku” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Malik).
Firman-Nya la ta’tadu / jangan melampaui batas dengan bentuk kata yang menggunakan huruf ta’ bermakna keterpaksaan, yakni diluar batas yang lumrah. Ini menunjukkan bahwa fitrah manusia mengarah kepada moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar tidak berlebih dan tidak juga berkurang. Setiap pelampauan batas adalah semacam pemaksaan terhadap fitrah dan pada dasarnya berat, atau risih melakukannya. Inilah yang di isyaratkan oleh ta’tadu.
Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti bahwa menghalalkan yang haram, atau sebaliknya, merupakan pelampauan batas kewenangan, karena hanya Allah SWT yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan. Pada masa jahiliyah kaum musyrikin mengatasnamakan Allah mengharamkan sekian banyak hal yang halal, sebagaimana akan terbaca dalam surah al-an’am. Itu agaknya yang menjadi alasan sehingga ayat in dimulai dengan panggilan ya ayyuhaalladzinan amanu karena penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan keimanan. Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang Masih berkaitan erat dengan ayat ini memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT karena orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepada-Nya, dengan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya,menjauhi larangan-Nya, menghalalkan apa yang halal dan mengharamkan yang haram.
3.       Al-isra’ : 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”

Dan janganlah engkau enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan seakan akan engkau jadikan tanganmu terbelenggu dengan belenggu kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat menhulurkannya dan janganlah juga engkau terlalu mengulurkannya sehingga berlebih lebihan karena itu  menjadikanmu duduk tidak dapat berbuat apa apa lagi tercela oleh dirimu sendiri atau orang lain karena boros, berlebih lebihan dan menyesal tidak memiliki kemampuan karena telah kehabisan harta.
Kata mashuran terambil dari kata hasara yang berarti tidak berbusana, telanjang atau tidak tertutup. Seseorang yang tidak memakai tutup kepala dinamai hasiru ar ras. seseorang yang keadaannya tertutup dari segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga  ia tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan menampakkan diri untuk meminta, karena itu berarti ia membuka kekurangan aibnya.
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata hasir yang digunakan untuk binatang yang tidak mampu berjalan, sehingga mandek tinggal ditempat. Demikian juga pemboros, pada akhirnya akan mandek dan tidak mampu melakukan aktivitas, baik untuk dirinya sendiri apalgi orang lain sehingga terpaksa hidup tercela.
Ayat ini menjelaskan salah satu hikmah yang sangat luhur , yakni kebajikan yang merupakan pertengahan antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut. Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
Sementara ulama menjadikan kata maluman/tercela merupakan dampak dari kekikiran, sedang mahsuran/tidak memiliki kemampuan adalah dampak dari pemborosan.

Ø  Pada sikap dan perilaku konsumen menurut saya yang harus kita lakukan sesuai ajaran islam kitab kita Al qur’an adalah:
·         Memakan yang halal lagi baik untuk kesehatannya.
·         Konsumen tidak konsumsi berlebih-lebhan.
·          Larangan berlaku bakhil (curang).
·         Kita dapat membedakan mana yang halal dan yang haram (tidak baik).
·         Tidak mengharamkan apa yang dihalalkanya.
·         Dilarang menghalangi diri dengan jalan bernazar, atau sumpah.
·         Tidak berlaku boros menalankan harta.
·          Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut.
·         Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
·         Mengharuskan makanan yang baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor atau pun menjijikan sehingga merusak selera. Makan dan minumlah dari semua yang bersih dan bermanfaat. Baik bersih dari segi hukumnya yaitu yang halal, dari segi makanannya harus higienis dan bergizi, maupun bersih dalam mendapatkannya.
·          Seorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan jasa, tetapi juga kepuasan yang diperintahkan oleh Allah SWT juga harus kita penuhi sebagai seorang muslim yang bertaqwa. Hal ini berarti kepuasan seorang muslim tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah.
·         eorang muslim dilarang mengkonsumsi barang yang diharamkan oleh islam seperti alkohol, daging babi, berjudi dan lain sebagainya.
·          Seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman.
·          Seorang konsumen muslim harus juga memperhitungkan konsumsinya



DAFTAR USTAKA


  M. Quraish Shihab, 2006, Tafsir Al Misbah, (tangerang: Lentera Hati)
  Bahreisy Salim, 2004, Tafsir Ibnu Katsier 5, (Surabaya, Bina Ilmu)
  Kementerian Agama RI, 2010, Al-Qur’an dan Tafsirannya, (Jakarta: Lentera Hati Abadi)
  Hamka, 1988, Tafsir al-Azhar, (Jakarta, Pustaka Panjimas)



  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar