Senin, 14 Maret 2016

Memberi Makanan Kepada Orang yang Membutuhkan (al-insan ayat 8)

Nur Afni / 1414231090
Perbankan Syariah 3/ Semester IV
Tugas Mandiri Tafsir Ayat Ekonomi

Tema: Distribusi
Memberi Makanan Kepada Orang yang Membutuhkan
A.      Teks Al-Quran
ويطعمون الطعام على حبه مسكينا ويتيما واسيرا (الانسان :8)
B.       Terjemah
“Dan mereka memberi makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan.” (QS. Al-Insaan: 8).
C.       Kosa Kata
ويطعمونDan mereka memberikan =  
الطعامMakanan =       
على حبه(Atas) yang dicintainya =    
مسكينا (Kepada) orang miskin =       
ويتيماDan anak yatim =        
واسيراDan orang tawanan =       
D.      Tafsir QS. Al-Insaan ayat 8 menurut Prof. Dr. Hamka dalam tafsir Al-Azhar Juz XXIX
“Dan mereka memberi makan makanan dalam hal cinta kepadanya (terjemah dari pangkal ayat 8), bermaksud bahwa ketika mereka sangat memerlukan makanan, di saat itu pula dengan rasa penuh keikhlasan mereka memberikan makanan tersebut.
“Kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan” (terjemah dari ujung ayat 8). Makanan yang mereka perlukan tersebut diberikan kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa yang disebut “mereka” dalam ayat adalah hamba-hamba Allah yang pemurah. Sehingga meskipun mereka tengah memerlukan makanan, mereka tetap memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan dengan kerelaan. Sifat pemurah ini timbul karena hati yang terbuka, yang meyakini bahwa Allah akan menggantinya dengan yang baru.
Dalam jiwanya, ada pula rasa kasih terhadap orang-orang lemah, juga terdapat rasa syukur kepada Allah atas aoa yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Mengenai fakir miskin dan anak yatim, tidak dijelaskan dalam penjelasan di ayat tersebut dengan alasan sudah banyaknya ayat-ayat yang membahas tentang fakir miskin dan anak yatim sebelumnya. [1]
Namun dalam Tafsir Al-Azhar juz X ditemukan pengertian miskin dalam tafsir dari surat At-Taubah ayat 60. Orang-orang miskin merupakan salah satu dari delapan golongan penerima zakat. Adapun pengertiannya, orang miskin adalah orang yang tidak mampu, tidak berkecukupan, melarat, dan sengsara. Ada beberapa pendapat ulama mengenai keterkaitan miskin dengan fakir, menurut sebagian dari mereka, orang fakir dan miskin sama saja keadaannya. Namun sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka tidaklah sama, fakir lebih melarat dari miskin. Ada pula yang mengatakan bahwa miskin lebih melarat dari fakir.
Al-Quran memberikan pedoman kepada kita bahwa orang miskin pun ada yang mempunyai perusahaan. Ayat 79 dari surat Al-Kahfi jawaban hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu oleh Allah, yang menurut sebagian ahli tafsir bernama Nabi Khidhir. Ketika dia menjawab apa sebab perahu itu dilubanginya, dia mengatakan bahwa perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang-orang yang dipandangnya bagus. Ayat ini memberi petunjuk bahwa orang yang berusaha sebagai nelayan sang pemilik perahu itu adalah orang-orang miskin.
Sebuah hadits Rasulullah SAW juga menjelaskan tentang orang-orang miskin, Rasulullah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ليس المسكين بهذا الطواف الذي يطوف على الناس فتردوه اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان قالوا : فما المسكين يا رسول الله؟ قال : الذي لا يجد غنيا يغنيه ولا يفطن له فيتصدق عليه ولا يسال الناس شيئا . (رواه البخارى ومسلم)
Terjemah:
“Berkata Rasulullah SAW: “Bukanlah orang miskin itu dengan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma.” Lalu orang bertanya: “Kalau begitu, apa orang miskin itu ya Rasulallah?” Beliau menjawab: ”Ialah orang yang tidak mempunyai orang kaya untuk membantunya, dan orang yang tidak mengerti akan nasibnya, supaya orang bersedekah kepadanya; dan dia pun tidak pernah meminta-minta kepada orang lain.”” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari kedua dalil yang tersebut, dapat kita simpulkan bahwa fakir dan miskin adalah sama. Terkadang orang miskin itulah yang lebih susah, sebab dia malu meminta.
Sedangkan jika dilihat dari makna katanya, miskin berasal dari kata sukuun yang artinya hanya berdiam diri, menahan penderitaan hidup. Dan fakir berasal dari kata yang artinya “membungkuk tulang punggung”. Diambil dari nama sebutan untuk orang yang telah bungkuk memikul berat beban kehidupan.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan orang tawanan adalah orang yang menyerah ketika perang, yang tunduk, terdesak, dan tidak bisa melawan lagi. Menurut peraturan peperangan, orang tawanan tidak boleh diperangi lagi, senjatanya dilucuti, dan dia ditahan sampai keadaan kembali damai. Pada waktu tersebut, akan terjadi pertukaran tawanan, namun jika negeri yang pasukannya tertawan mengalami kekalahan terus menerus sehingga tidak bisa menebus diri, maka orang tawanan akan menjadi budak.  Selama dalam tawanan, wajib hukumnya bagi orang yang menawan untuk memelihara dan menjaga kesehatan tawanannya, yakni dengan memberinya pelayanan yang baik, makanan yang patut, dan pengobatan yang layak.
Rasulullah sendiri pernah melakukan ini dalam peperangan Badr. Kaum muslimin dalam peperangan tersebut telah berhasil menawan 70 orang musyrikin yang selama ini sangat memusuhi Islam, sampai mengusir Nabi dari kampung halamannya. Dan mereka telah berperang sangat hebat dalam peperangan di padang Badr itu. Tetapi setelah kaum musyrikin kalah, banyak yang tertawan dan banyak pula yang meninggal. Rasulullah menyuruh untuk memberi makanan kepada mereka selama dalam tawanan dengan sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang tawanan itu didahulukan makan dari pada kaum muslimin ketika makan siang (ghadaa’).
Menurut Ikrimah dan Sa’id bin Jubair, yang dimaksud dengan orang tawanan adalah bukan semata-mata orang tawanan (hasil peperangan), tetapi budak-budak atau hamba-hamba sahaya pun harus diperlakukan dengan baik. Memerdekakan budak dipandang sebagai suatu amalan yang utama. Sehingga pesan Rasulullah sehari sebelum beliau wafat adalah:
الصلاة,  وما ملكت أيمانكم .
Terjemah:
“(Peliharalah) shalat, dan pelihara pula hamba sahayamu.”[3]
Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas menjawab:
وكتبت تسألنى عن اليتيم متى ينقطع عنه اسم اليتم ,  وإنه لا ينقطع عنه اسم اليتم حتى يبلغ ويؤنس منه رشد .
 ( رواه مسلم).
Terjemah:
“Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa”. (HR. Muslim).
Di dalam ajaran Islam, anak yatim mendapat perhatian khusus melebihi anak-anak yang wajar yang masih memiliki kedua orang tua. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada mereka, mengurus, dan mengasuh mereka sampai dewasa.  Islam juga memberi nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar-benar menjalankan perintah ini.
Betapa agungnya ajaran Islam, ajaran yang universal ini menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi, Islam mengajarkan untuk menyayangi mereka dan  melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang hal ini. Dalam surat Al-Ma’un misalnya, Allah swt berfirman:
أرأيت الذي يكذب بالدين . فذلك الذي يدع اليتيم . ولا يحض على طعام المسكين .
Terjemah:
 “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak  yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.” (QS. Al-ma’un: 1-3).
Orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin, dicap sebagai pendusta agama yang ancamannya berupa api neraka
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
فأما اليتيم فلا تقهر . وأما السا ئـل فلا تنهر .
Terjemah:
“Maka terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap pengemis janganlah menghardik.” (QS.  Ad-Dhuha: 9 – 10)
Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan tentang keutamaan mengurus anak yatim diantaranya sabda beliau:
أنا وكافل اليتيم فى الجنة هكذا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا (رواه البخاري)
Terjemah:
“Aku dan pengasuh anak yatim berada di Surga seperti ini, Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan beliau sedikit merengganggangkan kedua jarinya.” (HR. Bukhari)
Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda :
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " من قبض يتيما من بين المسلمين إلى طعامه وشرابه أدخله الله الجنة إلا أن يعمل ذنبا لا يغفر له ( سنن الترمذي )
Terjemah:
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda : barang siapa yang memberi makan dan minum seorang anak yatim diantara kaum muslimin, maka Allah akan memasukkannya kedalam surga, kecuali dia melakukan satu dosa yang tidak diampuni. (At-Tirmidzi)
Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a. hadits yang berbunyi :
عن أبي هريرة أن رجلا شكا إلى النبي صلى الله عليه وسلم قسوة قلبه فقال إمسح رأس اليتيم وأطعم المسكين.  (رواه أحمد ).
Terjemah:
Dari Abu Hurairoh, bahwa seorang laki-laki mengadu kepada Nabi saw akan hatinya yang keras, lalu Nabi berkata: usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin. (Hr. Ahmad).
Dan hadits dari Abu Umamah yang berbunyi:
عن أبى أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنا ت ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو فى الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه (رواه أحمد ) .
Terjemah:
“Dari Abu Umamah dari Nabi saw berkata: barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan  tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barang siapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah aku bersama dia disurga seperti ini, beliau mensejajarkan dua jari-nya.” (HR. Ahmad).
Demikianlah, ajaran Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada anak yatim dengan memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik dan memuliakan mereka. . Kemudian memberi balasan pahala yang besar bagi yang benar-benar menjalankannya, disamping mengancam orang-orang yang apatis akan nasib meraka apalagi semena-mena terhadap harta mereka.[4]
Dalam ayat yang tersebut di atas (QS. Al-Insaan ayat 8), memberikan makanan yang disukai adalah termasuk perangai baik bagi seorang hamba Allah.
Dengan kata lain, pemberian tersebut disebut sebagai shadaqah, yang merupakan salah satu sarana distribusi dalam pemerataan ekonomi.
E.       Shadaqah Sebagai Salah Satu Sarana Distribusi untuk Pemerataan
Untuk mengetahui lebih lanjut terkait shadaqah sebagai sarana distribusi, berikut penjelasan yang dikutip dari buku Hadits-hadits Ekonomi, karangan Ilfi Nur Diana.
Distribusi pendapatan adalah suatu proses pembagian (sebagai hasil penjualan produk total) kepada faktor-faktor yang ikut menentukan pendapatan, yakni tanah, tanaga kerja, modal, dan manajemen.
Distribusi pendapatan merupakan permasalahan yang rumit, dan sering dijadikan perdebatan di antara para ahli ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis, memandang seorang individu dapat secara bebas mengumpulkan dan menghasilkan kekayaan dengan menggnuakan kemampuan yang dimiliki tanpa batasan. Sementara sistem ekonomi sosialis berpandangan bahwa kebebasan secara mutlak dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, hak individu atas harta harus dihapuskan dan wewenang dialihkan kepada negara sehingga pemerataan dapat terwujud.
Kedua sistem itu ternyata belum dapat memberikan solusi yang adil dan merata terhadap masalah pendistribusian pendapatan dalam masyarakat. Pada kenyataannya, Islam telah mengatur dan memberikan prinsip dasar distribusi kekayaan dan pendapatan, di antaranya adalah dengan perintah (kewajiban) zakat, anjuran shadaqah dan infak, pembagian warisan, larangan penimbunan, dan larangan monopoli.
Salah satu prinsip yang menjadi fakus dalam pembahasan ini adalah anjuran shadaqah yang peranannya cukup penting dalam pemerataan pendapatan untuk semua masyarakat.
Karena salah satu pokok perhatian ilmu ekonomi Islam adalah mewujudkan keadilan distributif, maka semua keadaan ekonomi yang didasarkan pada ketidakseimbangan (zhulm) harus diganti dengan keadaan-keadaan yang memenuhi tuntutan keseimbangan (al-adl dan al-ihsan). Dengan kata lain, ekonomi Islam akan berusaha memaksimalkan kesejahteraan total dan bukan hanya kesejahteraan marginal. Tindakan sosial harus digerakkan secara langsung untuk perbaikan kesejahteraan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat melalui zakat, infak, dan shadaqah.
Selain pentingnya shadaqah dalam pemerataan ekonomi, shadaqah pun memiliki keutamaan tersendiri dalam Islam, seperti sabda Nabi:
حدثنا اسحاق بن منصور قال حدثنا عبد الرزاق قال أخبرنا معمر عن همام بن منبة عن أبي هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا أحسن أحدكم اسلامه فكل حسنة يعملها تكتب له بعشر أمثالها الى سبع مائة ضعف وكل سيئة يعملها تكتب له بمثلها .
Terjemah:
Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian baik Islamnya, maka setiap kebaikan yang dilakukan ditulis sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat, setiap kejelekan yang dilakukan maka akan ditulis yang sama dengan yang dilakukananya.”
Allah menjamin orang-orang yang membelanjakan hartanya dengan ikhlas, dan mereka akan mendapat pahala sesuai yang dikeluarkannya. Dengan shadaqah, dijamin bahwa harta tidak akan berkurang, tetapi akan bertambah di mata Allah[5]. Sebagaimana telah terfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 261:
مثل الذين ينفقون اموالهم في سبيل الله كمثل حبة انبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم . (البقرة : 261).
Terjemah:
“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).


[1] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz XXIX. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985) Hlm. 283.
[2] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz X. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985) Hlm. 247-249.
[3] Prof. Dr. Hamka. Opcit. Hlm. 283.
[4] Anonim. Pengertian Anak Yatim dan Kedudukannya dalam Islam. Terdapat di http://www.almuzakki.com/pengertian-anak-yatim-dan-kedudukannya-dalam-islam.html (Diakses pada 23 Februari 2016)
[5] Ilfi Nur Diana. Hadits-hadits Ekonomi (Malang: UIN Maliki Press. 2012) Hlm. 90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar